Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Dekat Semakin Dibenci
Bab 3
Rina mengerutkan kening, merasa geram dan malu. Bagaimana mungkin seorang gadis dari kampung bisa begitu mudah memikat Andre? Rina tahu bahwa dia harus mengambil tindakan cepat untuk memastikan Alya tidak menjadi ancaman lebih besar.
Di ruang klub sekolah, Rina mengumpulkan anggota gengnya: Siska, Sari, dan beberapa gadis lainnya. Mereka duduk melingkar, wajah-wajah mereka menunjukkan keseriusan.
“Kita harus melakukan sesuatu tentang Alya,” kata Rina dengan suara tegas. “Aku tidak akan membiarkan gadis kampung itu merebut perhatian di sekolah ini, terutama dari Andre.”
Siska mengangguk setuju. “Kita harus membuatnya mengerti bahwa dia tidak bisa begitu saja datang dan mengambil tempat kita.”
Sari, dengan ekspresi penuh rencana, menyarankan, “Bagaimana kalau kita menyebarkan gosip tentang dia? Buat dia terlihat buruk di mata Andre dan teman-teman lainnya.”
Rina tersenyum licik. “Itu bisa jadi awal yang baik. Kita juga bisa membuatnya merasa tidak nyaman dan tertekan. Kalau dia merasa tidak diterima, mungkin dia akan mundur sendiri.”
Mereka mulai merencanakan berbagai cara untuk menjatuhkan Alya. Salah satu ide mereka adalah menyebarkan gosip bahwa Alya hanya berpura-pura baik dan pintar untuk mendapatkan perhatian. Mereka juga berencana untuk mengisolasi Alya, membuatnya merasa tidak punya teman.
Hari berikutnya, gosip mulai beredar di sekolah. Bisik-bisik mulai terdengar di koridor, mengarah pada Alya yang sedang berjalan menuju kelas. Beberapa siswa mulai memandangnya dengan curiga, sementara yang lain berbisik-bisik di belakangnya. Alya merasakan perubahan ini, namun berusaha tetap tenang dan tidak memedulikannya.
Saat istirahat, Rina dan gengnya mendekati Alya di kantin. Mereka berpura-pura bersikap ramah, tetapi ada nada sinis dalam setiap kata yang mereka ucapkan.
“Hai, Alya,” sapa Rina dengan senyum yang dibuat-buat. “Dengar-dengar kamu pandai sekali ya? Bahkan Andre pun tertarik padamu.”
Alya merasakan ketidaknyamanan dalam cara Rina berbicara. “Terima kasih, Rina. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik.”
Rina tertawa kecil. “Ya, tentu saja. Tapi ingat, sekolah ini punya aturan tidak tertulis. Tidak semua orang bisa menjadi pusat perhatian.”
Alya tersenyum tipis, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Aku hanya ingin belajar dan beradaptasi di sini. Tidak ada niat lain.”
Rina menatapnya tajam. “Semoga begitu.”
Sementara itu, Andre yang memperhatikan dari jauh mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Dia mendekati Alya setelah Rina dan gengnya pergi.
“Hei, Alya. Apakah mereka mengganggumu?” tanya Andre dengan perhatian.
Alya menggeleng. “Tidak, mereka hanya... memperingatkan. Tapi tidak apa-apa.”
Andre menatap Alya dengan penuh simpati. “Jika ada masalah, jangan ragu untuk memberitahuku. Aku di sini untuk membantu.”
Di sisi lain, Bimo juga menyaksikan semuanya dengan hati yang cemas. Dia tahu bahwa Alya sedang menghadapi tekanan besar dan ingin membantu, tetapi rasa mindernya membuatnya ragu untuk bertindak.
Hari-hari berikutnya menjadi semakin sulit bagi Alya. Gosip dan perlakuan dingin dari beberapa siswa membuatnya merasa terisolasi. Namun, Alya tetap bertahan dengan kepala tegak, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak mudah goyah.
Dengan dukungan dari teman-teman seperti Lita, dan perhatian dari Andre serta Bimo, Alya merasa sedikit lebih kuat. Dia tahu bahwa tantangan ini hanya akan membuatnya lebih tangguh dan siap menghadapi apapun yang datang di masa depan. Bagaimanapun, Alya bertekad untuk menunjukkan bahwa ketulusan dan kerja keras akan selalu mengalahkan tipu daya dan kebencian.
Bagi para pria di sekolah Gemilang, tidak begitu peduli dengan adanya geng syantik. Mereka juga tidak begitu tahu kelakuan geng populer tersebut. Sebab bagi mereka merasa geng syantik itu seperti geng biasa saja, kebiasaan cewek-cewek yang suka geng-gengan pada umumnya.
Maka, Andre, Bimo dan Arga menganggap sikap Alya yang terkadang terlihat murung atau mendapatkan masalah di sekolah, adalah karena apes. Tidak sedikit pun mereka pikir itu karena ulah teman mereka sendiri yang iri pada kehadiran Alya.
**#
Suatu sore, setelah sekolah selesai, Bimo menawarkan tumpangan kepada Alya karena rumah mereka searah. Alya awalnya ragu, sebab belum begitu mengenal dengan baik pribadi Bimo. Akan tetapi mengingat kebaikan Ibu Bimo di kantin, ia akhirnya setuju. Alya yakin, Bimo orangnya baik.
"Terima kasih, Bimo. Aku sangat menghargai ini," kata Alya saat mereka berdua menaiki sepeda motor.
"Jangan khawatir, Alya. Aku senang bisa membantu," balas Bimo sambil tersenyum malu-malu.
Sesampainya di rumah bibinya, Alya disambut dengan hangat oleh Bu Siti dan Pak Ahmad. Bu Siti adalah seorang wanita pekerja keras. Ia bekerja sebagai pedagang kelontongan di pasar. Sementara Pak Ahmad adalah seorang petani yang tekun.
Saat makan malam.
"Alya, bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bu Siti sambil menyiapkan makan malam.
"Baik, Bi. Aku mulai bisa menyesuaikan diri," jawab Alya sambil membantu merapikan meja.
Pak Ahmad menimpali dari ruang tamu. "Kamu sudah punya banyak teman, Alya?"
Alya tersenyum. "Iya, Paman. Teman-temanku baik-baik."
Bu Siti selalu memberikan nasihat dan dukungan. "Ingat, Alya. Kalau ada masalah, ceritakan pada Bibi dan Paman. Kami selalu ada untukmu."
Alya mengangguk dengan tatapan rasa syukur pada bibinya. Bersyukur memiliki saudara yang baik seperti Paman Ahmad dan Bi Siti. Sehingga Alya tidak merasa sedih meskipun kurang beruntung di sekolah.
Alya juga tahu, hasil panen pamannya menurun karena cuaca buruk, dengan sabar bibinya menyemangati. Alya tak sengaja mendengar percakapan itu tempo hari.
"Jangan khawatir, Mas. Kita pasti bisa melewati ini. Yang penting, kita tetap bersama dan saling mendukung," kata Bu Siti dengan tegas namun lembut.
Alya yang mendengar percakapan itu merasa terinspirasi oleh keteguhan hati bibinya. Ia belajar banyak tentang kekuatan dan ketulusan dari keluarganya.
**#
Keesokan harinya Alya kembali sekolah seperti biasa. Arga, ketua kelas yang baru sembuh dari sakit panjang, kembali ke sekolah. Arga adalah sosok karismatik, cerdas, dan sangat disukai di sekolah. Ketika Arga masuk kelas, ia langsung menarik perhatian semua orang, termasuk Alya yang belum pernah bertemu dengannya.
"Hai, aku Arga, ketua kelas di sini. Kamu pasti Alya, murid baru dari desa, kan?" sapanya dengan senyum hangat.
Alya merasa sedikit canggung, tapi ia tetap tersenyum. "Iya, aku Alya. Senang bertemu denganmu, Arga."
Arga mengangguk ramah. "Kalau ada yang kamu butuhkan atau jika kamu ada pertanyaan, jangan ragu untuk bertanya padaku."
Percakapan singkat itu segera membuat Alya merasa lebih nyaman, dan kedekatan mereka pun mulai tumbuh. Arga sering membantu Alya menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, memberikan panduan tentang pelajaran, dan mengajaknya bergabung dalam berbagai kegiatan kelas.
Geng Syantik yang melihat kedekatan Alya dengan orang-orang atau cowok-cowok populer di SMA Gemilang merasa semakin terancam. Rina, Siska, dan Gea merasa perlu bertindak lebih jauh untuk menyingkirkan Alya. Mereka memutuskan untuk merencanakan sebuah jebakan saat ujian matematika yang akan datang.
Bersambung...