Cerita ini benar karya orisinil Author.
✅️ Bijak dalam membaca
✅️ Mohon saran dan kritik yang membangun
❌️ Tidak boomlike dan lompat bab
Uswa wanita yang penuh luka, menemukan secercah cahaya dalam sorot mata Hanz, seorang nahkoda yang ia temui di dermaga.
Gayung pun bersambut, bukan hanya Uswa yang jatuh hati, namun Hanz juga merasakan getaran kecil di hatinya.
Seiring berjalannya waktu, rasa di antara keduanya semakin besar. Namun, Uswa selalu menemukan ketidakpastian dari kegelisahan Hanz.
Uswa pun terjebak dalam penantian yang menyakitkan. Hingga akhirnya, ia dipertemukan oleh sosok Ardian, pria yang berjuang untuk Uswa.
Lantas, kisah mana yang akan dipilih Uswa?
Tetap menanti Hanz yang perlahan memulihkan luka, namun selalu berakhir dengan ketidakpastian?
Atau membuka lembaran baru bersama Ardian yang jelas memiliki jawaban yang sudah pasti?
Ikuti kisah dan temukan jawaban Uswa pada cerita Senandung Penantian.
Cover by Ig : @desainnyachika
Ig : @oksigentw
TT : @oksigentw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksigen TW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Sudah satu jam lebih Uswa bercengkerama kecil dengan Hanz. Ia pun sudah merasa tenang. Wanita itu sudah kembali segar, karena Uswa membersihkan wajahnya dengan tisu basah. Tidak lupa Uswa memoles tipis wajahnya dengan bedak, begitu pun dengan bibirnya, ia mengenakan lipbalm spf, kemudian menambahkan sedikit liptint.
"Bagaimana, Mas?" Spontan Uswa menoleh menatap Hanz, ia bermaksud meminta pendapat Hanz, apakah wajahnya sudah kembali segar.
"Apanya yang bagaimana?" heran Hanz.
"Wajah saya sudah terlihat lebih segar, kan?" tutur Uswa, memperjelas pertanyaannya. Uswa sedikit memajukan wajahnya, karena jarak mereka duduk sekitar setengah meter.
"Cantik!" Tanpa sadar Hanz malah menjawab lain dari apa yang ditanyakan Uswa.
"Saya tanya segar, bukan cantik." tutur Uswa, mendengus kesal, membuat Hanz menyengir kikuk.
"Iya, maksudnya itu." imbuh Hanz, yang memang sudah salah tingkah karena tidak fokus.
"Syukurlah ..." gumam Uswa, sembari menyandarkan tubuh di sandaran, ia pun menatap lautan yang terasa panas, seakan airnya mendidih menguap ke udara.
Kedua insan itu saling berdiam, berkutat pada pikiran masing-masing. Sorot mata keduanya memancarkan luka yang mendalam. Luka yang berbeda, namun sama-sama menyiksa. Berbeda dengan Uswa yang terpancar sorot luka penuh amarah, manik tajam Hanz memancarkan luka penuh kerinduan.
Hanz mengembuskan napas berat, ia mengusap kasar wajah yang sangat lelah. Hanz pun melipat kedua tangan di depan dadanya. Ia menyandarkan kepala, menghadap ke atas dengan mata terpejam.
Melihat sikap Hanz, Uswa diam penuh tanya menatap lekat Wajah Hanz. Ia menelisik setiap mili wajah Hanz.
'Matanya sipit, ujungnya runcing. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Memiliki kumis dan jambang tipis. Perpaduan yang pas dengan kulitnya yang sawo matang.' batin Uswa, semakin lekat menatap Hanz, namun tetap bergeming di duduknya.
"Mas ..." lirih Uswa, memanggil Hanz.
"Dalem, Dek?" jawab Hanz, refleks menoleh menatap Uswa. (Iya, Dek?)
"Mas Jawa di mananya?" tanya Uswa, ia penasaran dengan identitas Hanz.
"Jawa Tengah," singkat Hanz, ia kembali menghadap ke atas, dan memejamkan mata.
"Jawa Tengah di mananya?" cicit Uswa, merasa tidak puas dengan jawaban Hanz.
"Pokoknya Jawa Tengah." Lagi-lagi Hanz menjawab dengan singkat. Namun, jawabannya kali ini seakan menyembunyikan identitasnya.
"Kalau nggak mau ditanya bilang, kek. Nggak usah singkat dan sok misterius gitu jawabannya!" gerutu Uswa. Ia benar-benar merasa kesal dengan Hanz.
Hanz yang masih dengan posisinya, tersenyum kecil. Kedua sudut bibirnya terangkat, hingga membentuk lesung pipit di pipi kanannya.
"Mas ada lesung pipit juga?" tanya Uswa, excited, yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.
Hanz langsung membenarkan posisi duduknya. Ia menatap lembut wajah Uswa. Dengan pancaran tajam, Hanz pun berkata, "Apa yang mau kamu ketahui tentang Mas?"
"Semuanya," jawab Uswa.
"Baiklah. Mas akan memberitahumu," tutur Hanz. Ia pun mengatur napas, dan kembali berkata, "Mas di sini merantau. Kerja di perusahaan transportasi laut. Nah, perusahaan tempat kamu bekerja, menggunakan kapal perusahaan Mas bekerja. Jadi, Mas ditempatkan di kapal yang ada di sini."
Hanz menjelaskan dengan tegas apa adanya. Namun, saat mendengar penjelasan Hanz, Uswa pun terdiam. Ia menatap tajam Hanz, seakan penuh selidik.
"Ada apa?" tanya Hanz, merasa heran ketika ditatap dengan intens oleh Uswa.
Uswa semakin menyipitkan mata. Wajahnya menyiratkan kecurigaan. "Mas belum punya istri, kan?" tanya Uswa spontan, hingga membuat Hanz mengernyit, menaikkan alis kanannya.
"Jawab, Mas!" desak Uswa.
"Ya belumlah. Kalau sudah berkeluarga, ngapain di sini sama kamu?" tegas Hanz, terdengar kesal.
"Bukan gitu, Mas. Maaf ya, bukan maksud menyinggung. Ibu pernah bilang, rata-rata laki-laki yang kerja kapal, yang sudah beristri, tapi kalau bersandar, bilangnya belum berkeluarga." cicit Uswa, terdengar polos, namun menyebalkan bagi Hanz.
"Ya ndak semuanya toh, Dek. Mas tau aturan. Lagian, tidak semua laki-laki begitu," tegas Hanz.
'Tapi, laki-laki yang saya kenal begitu,' batin Uswa. Ia terdiam, teringat sosok ayah yang telah mematahkan persaannya.
Wajah yang ceria kembali murung. Lagi-lagi Uswa teringat pada ayahnya, sosok yang harusnya menjaga perasaannya, kini malah mematahkan harapan masa depan.
Tidak ada suara di antara keduanya. Hanya desiran yang melebur dengan suara ranting yang bergesekan. Sesekali Uswa membenarkan jilbabnya yang tersingkap, akibat tiupan angin.
Diam di antara keduanya menghadirkan kecanggungan. Hanz melirik Uswa yang terus menatap hamparan air.
'Sedalam apa lukamu?
Siapa penyebab luka itu?
Bolehkah aku menyembuhkannya?
Ah ... tidak. Menyembuhkannya?
Bagaimana mungkin?
Bahkan aku tidak bisa menepati janji untuk pulang.
Itu akan menambah luka baginya.'
Kecamuk batin Hanz membuatnya menghela napas berat, hingga membuat Uswa menoleh, menatap Hanz yang terlihat gusar.
"Ada apa, Mas?" Uswa menatap Hanz keheranan, manik indah Uswa membuat jantung Hanz berdetak lebih cepat dari biasanya.
Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hanz. Ia hanya menelisik, seolah masuk lebih dalam, menyelusuri manik indah yang memancarkan pesona.
'Sejak pertama, aku tidak bisa melupakan pesona luka sorot matamu.'
Lagi-lagi Hanz bermonolog dalam hatinya. Ia seakan tersihir oleh pancaran indah penuh luka. Merasa Hanz menatap lekat dirinya, Uswa memetik jari tepat di hadapan Hanz. Sehingga membuat Hanz tersadar.
'Astaghfirullah ...' batin Hanz, merasa larut pada pesona yang tak seharusnya. Hanz memalingkan pandangan, menatap sekeliling hutan bakau.
"Sudah mulai ramai," ujar Hanz, membuat Uswa ikut mengedarkan pandangan.
"Biasa, sih. Sudah jam 11.30. Jadi, sudah mulai banyak pengunjung." tutur Uswa, menanggapi kalimat Hanz.
"Kamu sering ke sini?" tanya Hanz, penasaran.
"Nggak juga, sih. Kalau lagi butuh ketenangan," jawab Uswa, sembari mengulas senyumnya yang manis. Sedangkan Hanz, ia hanya mengangguk, merespon jawaban Uswa.
"Mas sudah lama di Dumai?" tanya Uswa, ingin tahu tentang Hanz.
"Baru dua bulan," Hanz menjawab singkat.
"Kenapa saya baru lihat Mas di Dermaga?" cicit Uswa, kembali bertanya.
"Selama dua bulan, Mas beberapa kali ke Dermaga itu. Sebenarnya ...."
'Aku beberapa kali melihatmu berdiri di tepi trestel. beberapa kali juga aku melihat air matamu,'
Hanz melanjutkan kalimatnya dalam hati. Ia tidak ingin Uswa merasa malu, karena ia selalu melihat Uswa dengan linangan air mata.
"Sebenarnya apa, Mas?" desak Uswa. Ia penasaran dengan kalimat yang tidak diselesaikan oleh Hanz.
"Ya, sebenarnya ... Mas kan pekerja kapal, kalau kapal berlayar, Mas harus ikut juga." jawab Hanz, sedikit berbohong. Namun, apa yang ia ucapkan benar adanya.
"Mas di kapal sebagai apa?" timpal Uswa, kembali bercicit ria, bertanya pada Hanz.
"Mas hanya pekerja kasar di kapal," jawab Hanz, mengeluarkan senyum manipulasi.
"Mas pikir saya nggak tau? Mana ada pekerja kasar kapal, saat kapal bersandar dia bersantai begini?" gerutu Uswa, ia merasa ditipu oleh Hanz.
"Ya, nyatanya begitu. Mas loh cuma sopir," ujar Hanz, tersenyum kecil.
"Beehh ... sopir nggak, tuh. Bilang saja nahkoda, chief officer atau second officer. Males banget," cibir Uswa. Bibirnya seakan menggerutu, karena kesal dengan Hanz.
"Ya, intinya begitulah. Lambat laun kamu akan tau, Dek."
Untuk kesekian kali, Hanz menatap sorot mata indah itu. Lagi-lagi Hanz jatuh hati pada pancaran penuh luka. Hanz tersenyum kecil, ingin rasanya ia mencubit pipi cabi Uswa. Namun, ia tidak ingin melakukannya, ia harus tahu batasan. Apalagi dilihat dari penampilan Uswa.
Meski tidak syar'i, namun baju tunik di bawah lutut, celana longgar, dan hijab yang menutup dada, ditambah dengan kaos kaki, sudah mampu menjelaskan wanita seperti apa Uswa. Ia membatasi sentuhan dengan laki-laki, seperti cukup bersalaman dan dalam keadaan darurat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Jangan sembuhkan luka seseorang dengan janji, jika kau masih ingin melihat senyumannya....
...~Oksigen TW~...
...****************...
berasa jadi TTM