NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BUKAN SENGAJA

SEMINGGU sudah Nara berada di sekolah ini. Semuanya berjalan lancar, sejauh ini tidak mendapat hambatan berarti. Selain kesulitan dipelajaran matematika—dia memang selalu kesulitan sejak dulu. Seperti kata Rania, Nara bisa berteman baik dengannya dan Laudy. Hari Nara selalu sama. Pagi berangkat dengan Tasya, masuk kelas, mengobrol dengan Rania, belajar, mengantuk dikelas. Siangnya pergi ke kantin bersama sama, memesan bakso atau siomay, mengobrol seru, saling menggoda, tertawa, menghadapi kegilaan Tasya dalam menyukai Yesha. Setelah itu masuk pelajaran selanjutnya, istirahat kedua, belajar, dapat PR, pulang kerumah, makan malam, ngobrol dengan mama dan Agatha, tidur jam sembilan atau jam sepuluh malam. Begitu setiap hari.

Hari ini pelajaran olahraga. Hampir berakhir. Nara duduk disamping Rania di pinggir lapangan basket yang berada didalam Gimnasium, baru selesai mengambil nilai. Ia menyeka anak rambut di dahi, sedikit tersengal, meluruskan kaki.

“Eh, besok kayaknya kita bakal dapet tugas Seni Rupa deh, Ra.” Rania tiba tiba berucap.

Nara menoleh sekilas, dia sedang memperhatikan teman yang lain mengambil nilai ditengah lapangan. “Kata siapa?”

“Anak kelas lain udah pada ngomongin, guru Seni Rupa ngasih tugas bikin karya seni dua dimensi, bikin lukisan, pasti besok besok kita dikasih tugas kayak gitu juga.”

“Ohh.” Tanggap Nara singkat. Sejujurnya dia tidak terlalu menyimak ucapan Rania, masih asyik menatap ke tengah lapangan.

“Oh doang, Ra?” Tanya, Rania tidak puas dengan tanggapan Nara.

“Ya terus harus apa?”

“Ya lo nggak mikirin mau bikin apa gitu? Lukisan apa?”

“Kucing tenggelam bagus kayaknya.”

“Ah elo, yang bener aja.” Rania mendengus, ia melipat kaki, bersila, menghadap Nara, menatapnya serius. “Nih ya, asal lo tahu, lukisan Yesha aja, Yesha nih ya. Yesha lho,”

Nara menoleh, kedua alisnya terangkat malas. “Iya Yesha, terus apa?”

“Lukisan Yesha yang buagus buanget! Cuma dapet nilai A minus, pernah waktu itu B plus, apalagi kita? Yang bahkan bikin sampai mati matian pun belum tentu dapet C, gurunya bener bener pelit nilai. Lo nggak bisa santai gini! Apalagi nanti dikasih waktunya cuma seminggu.”

“A minus udah bagus kok.” Kata Nara polos.

Rania menepuk dahi, “Itu, kan, spek YESHA, kita tuh…apalagi kalau santai kayak lo gini, ya minimal Z lah.” Ia menekankan nama Yesha di kalimatnya.

Nara tertawa. “Ngarang lo!”

“Ah elo! Terserah deh, pokoknya pikirin lukisan terbagus yang bisa lo bikin, jangan lupa filosofinya,”

“Harus pake filosofi juga?”

“Aduh, Keinarra! Udah gue bilang susah! Gue keramasin juga lo lama lama!” Seru Rania geregetan.

Nara nyengir, manggut manggut mengerti. Mungkin Rania benar, mereka berada di jurusan Seni, tugas seperti ini tidak bisa dianggap sepele. Harus benar benar dikerjakan dengan serius, apalagi dengan murid yang cita citanya menjadi seniman seperti Nara. Baiklah, Nara akan memikirkan mau membuat lukisan apa—walaupun dia tidak pernah melukis sebelumnya.

Tiga puluh menit kemudian.

Semua siswa kelas XI 3 membubarkan diri dari Gimnasium, kecuali yang disuruh untuk membereskan bola bola basket yang digunakan saat pelajaran tadi. Termasuk Nara dan Rania yang justru menawarkan diri untuk membantu merapikan Gimnasium. Bukan tanpa alasan, setelah olahraga ini adalah pelajaran matematika, mereka bisa menghindari pelajaran menyebalkan itu dengan dalih disuruh membereskan Gimnasium. Omong omong, itu ide Rania.

“Nara, Rania, kita duluan ya, itu keranjang bolanya tinggal dimasukin ke gudang aja.” Ucap seorang teman perempuan, dia sudah bersiap hendak pergi.

“Iya, gue tahu.” Balas Rania seraya memasukkan sisa bola kedalam keranjang khusus bola.

Setelah mendengar ucapan Rania, gadis itu bersama empat temannya lantas berlalu pergi meninggalkan Gimnasium.

Nara mengangkat keranjang bola yang hampir terisi penuh, menghampiri Rania yang sedang mengambil bola terakhir diujung lapangan basket. “Sini masukin, biar gue yang simpen ke gudang.” Ia menawarkan diri.

“Emang lo tahu gudangnya dimana?” Tanya Rania ragu, mengambil bola terakhir dan memasukkannya kedalam keranjang di pangkuan Nara.

“Tahu lah, lo pikir gue anak kemarin sore disekolah ini?” Dengus Nara.

“Yeuu emang lo anak kemarin sore! Makanya gue mastiin, emang lo tahu?”

“Udah ah buruan, tahu kok gue. Lo pikir megang ginian gak pegel?” Nara mengomel, menunjuk keranjang yang diangkut kedua tangannya dengan dagu.

“Berisik lo.” Rania menutup keranjang dengan asal, “dah sana, gue tungguin disini ya.”

Nara lalu berbalik, berjalan melintasi lapangan Gimnasium yang luas, menuju pintu dipojok sebelah kanan sana. Tiba di pintu, Nara menarik gagang, mendorong pintu dan masuk, berjalan melewati lorong pendek sebelum berbelok ke kanan, ada pintu lain disana—yang merupakan pintu gudang yang dimaksud.

Untuk sesaat Nara tertegun, pintunya tidak dikunci. Padahal Nara sudah bersiap memanggil Rania untuk membukakan kuncinya. Ia tidak bisa membuka kunci dengan kedua tangan mengangkut keranjang besar. Tapi syukurlah pintunya tidak dikunci. Dengan mudah Nara mendorong pintu menggunakan siku, melewati bingkainya.

Langkah Nara mendadak terhenti. Matanya membelalak sempurna, pemandangan dihadapan Nara benar benar membuat tubuhnya mematung ditempat.

Didepan Nara, persis di ujung gudang, seorang lelaki dengan kemeja sekolah yang kancingnya sudah terbuka semua, tengah duduk diatas kursi dengan kedua kaki terbuka lebar. Didepannya, seorang gadis berlutut menghadap pada tubuh si lelaki dengan kepala menunduk. Jas sekolah yang dikenakan gadis itu sudah berserakan dilantai beserta dasi dan atribut lainnya. Kemeja putihnya sudah keluar, sobek dibeberapa bagian. Dengan posisi seperti—ya ampun, bagaimana Nara akan menjelaskannya?

BRAK!

Keranjang bola dikedua tangan Nara jatuh begitu saja. Bola basket menggelinding ke segala arah. Dua pasang mata sontak menatap Nara.

“Y-Yesha…?”

Mata mereka bertemu. Nara benar benar semakin dibuat terkejut saat yang dilihatnya saat ini benar benar seorang Yeshaka. Refleks Nara menutup mulut dengan kedua tangan, ia hampir saja menjerit saking syoknya. Panik. Nara sontak berbalik dan berjalan cepat meninggalkan gudang. Kelimpungan sendiri. Jantungnya berdetak kencang sekali. Wajah Nara pias, lututnya gemetar, Nara nyaris tidak bisa berdiri. Seumur hidup dia tidak pernah menyaksikan kejadian seperti itu didepan matanya. Astaga, apa yang baru saja Nara lihat?

Pintu yang menghubungkan lorong gudang dan lapangan Gimnasium terbuka, Rania muncul disana. “Lo ngapain deh? Lama banget—”

Kalimat Rania terputus saat Nara segera menariknya untuk meninggalkan ruangan terkutuk itu.

“Apa sih, Ra? Kenapa? Lo liat setan?” Tanya Rania bingung saat mereka tiba di lapangan Gimnasium.

Nara menggeleng, susah payah mengatur napas.

“Kenapa sih?—”

“ADUH GAK ADA APA APA!” Nara refleks menahan Rania saat ia hendak kembali ke gudang untuk mengecek. “JANGAN KESANA!”

“Kenapa emang? Aneh lo!”

“Pokoknya jangan kesana!” Nara mengatakan itu dengan sungguh sungguh, memegang kedua lengan Rania, menatap gadis itu tajam. “K-kita, kita balik aja ke kelas.”

“Ada apaan dulu disana?”

Sebelum Rania semakin bersikeras ingin mengecek gudang, Nara segera menariknya meninggalkan Gimnasium. Mereka berjalan cepat di lorong, naik ke lantai dua, masuk ke kelas.

Pelajaran matematika belum selesai saat Nara dan Rania tiba. Tapi itu jauh lebih baik daripada menyaksikan apa yang terjadi digudang Gimnasium. Rania mengomel saat mereka harus duduk ditengah pelajaran matematika. Tapi Nara tidak peduli, dia harus menenangkan diri sekarang. Mata Nara mengedar ke seisi kelas, mencari Yesha. Jelas tidak ada. Berarti benar, yang dilihat Nara tadi adalah Yesha. Ya, Yesha yang tampan nan populer dengan pretasi gemilang itu. Benar, Yesha yang itu. Tidak ada lagi nama Yesha disekolah ini selain si murid teladan.

Teladan apa? Bagaimana reaksi Pak Kepala Sekolah jika tahu murid kesayangannya melakukan hal aneh di gudang Gimnasium?

“Yesha kok tumben nggak masuk ya?” Rania bergumam. Tapi cukup terdengar di telinga Nara.

‘Dia lagi sibuk bercinta anjir’, Nara membatin. Ingin sekali saat ini dia berteriak ke seluruh sekolah bahwa Yesha yang mereka idolakan itu…aduh, ya ampun!

...***...

“…aku sih rencananya mau nyamperin kamu kesitu, nanti minggu depan,”

Nara menghela napas, menggeleng walaupun tahu pacarnya tidak akan bisa melihat itu dari balik telepon. “Nggak usah, Reno. Jauh. Kamu juga bukannya lagi sibuk sama kegiatan sekolah kamu?”

Rencananya, Reno Arvanendra, lelaki yang menyabet gelar sebagai pacar Nara sejak empat bulan lalu itu ingin datang berkunjung. Tapi Nara sudah mencegahnya. Bukannya tidak mau bertemu, Nara hanya kasihan Reno harus menghabiskan banyak uang dan waktu hanya untuk menemuinya. Itupun hanya beberapa jam saja. Mending tidak usah.

“Emangnya kenapa sih? Aku gak akan ketinggalan kegiatan juga, kan cuma sehari perginya.” Reno bersikeras.

“Justru itu, sayang uang lho…”

“Aku sayang kamu masa kamunya sayang uang?”

Nara tertawa kecil, “bukan gituuu,”

“Gimana dong?” Reno ikut tertawa. “Lagian aku jenuh sama sekolah disini kalau gak ada kamu. Bosen. Gak bisa berduaan.”

Nara tertegun. Teringat kejadian tadi siang. Astaga, otaknya kenapa mudah sekali teringat kejadian di Gimnasium hari ini.

“Eh, Ren, aku mau nanya deh,” Nara sudah bersiap loncat topik pembicaraan.

“Nanya apa, sayang?” Balas Reno lembut.

Nara bergumam panjang. Bingung juga bagaimana menanyakannya. “Eh, semisalkan ada cowok sama cewek yang…eh, ya…gini, ada cowok sama cewek, gak pacaran, tapi mereka berduaan di tempat sepi gitu…kira kira ngapain? Menurut kamu sebagai cowok gitu…” Tanya Nara hati hati.

Reno diam diseberang telepon, sepertinya sedang berpikir. “Kok nanya nya gitu?”

Nara berdecak dalam hati, “Ya nanya aja,”

Gumaman panjang terdengar dari seberang telepon. “Ya mungkin belajar bareng.” Reno menjawab asal.

Nara mendengus. Apa kejadian tadi siang terlihat mereka sedang belajar bareng? Aduh, seandainya Nara bisa berpikir sepositif itu. Kalaupun memang iya, itu posisi belajar apa? Apa yang mereka pelajari di gudang sepi?

“Belajar bareng?” Kening Nara terlipat.

“Ya bisa jadi, kan?” Kata Reno enteng, “Tapi kalau aku sebagai cowok, berduaan sama cewek di tempat sepi kadang bisa jadi milih ngikutin nafsu aja, mumpung ada kesempatan, apalagi kalau ceweknya mau. Bukannya brengsek, normalnya yang dipikirin cowok ya gitu. Makanya yang susah buat cowok itu nahan, biar gak brengsek.” jelas Reno.

Nara termangu. Astaga, kalau benar begitu berarti—

“Kenapa emangnya? Siapa yang berduaan?” Reno bertanya.

“Ng-nggak, bukan siapa siapa.”

“Jadi aku boleh kesitu, kan?”

Helaan napas terdengar lagi dari Nara, mereka kembali ke topik awal. “Nggak, jangan sekarang, nanti aja pas liburan panjang, biar waktunya banyak.”

“Kenapa sih, sayang? Aku doang nih yang kangen? Kamu nggak? Atau seminggu disana kamu udah punya cowok baru?”

Nara berdecak, Reno ini bicara apa sih? “Ngarang deh kamu, aku juga kangen tapi, kan, tetep aja gak cuma kangennya yang harus dipikirin. Masih ada liburan panjang nanti, tahan sebentar lagi, kan, bisa, nanti juga ada waktunya buat ketemu,”

“Itu alasannya kenapa aku gak bisa LDR,”

“Ya mana aku tahu kita bakal LDR.” Nara mengangkat bahu, memangnya dia cenanyang apa?

“Jadi aku gak boleh kesitu?”

“Nggak.” Tegas Nara.

Reno menghela napas berat, “Padahal itu effort aku tahu buat ketemu kamu.”

Effort apa? Effort sih effort, tapi kalau sampai menyusahkan diri sendiri sih namanya repot. Bukan effort. Nara geleng geleng kepala.

“Ah udahlah, emang susah minta kamu ngertiin aku.”

“Heh, nggak git—”

Telepon ditutup sepihak.

Begitulah Reno. Mudah marah. Dia sendiri yang tidak bisa mengerti maksud Nara. Justru Nara itu berusaha memahaminya. Reno pikir datang kesini tinggal menyebrang jalan lalu sampai? Nara sudah berusaha mengerti tapi malah dituduh tidak bisa mengerti, dituduh punya cowok baru juga. Dasar menyebalkan.

Tidak peduli. Terserah sajalah. Besok pagi juga dia akan mencari Nara lagi. Yang justru terlintas dikepala Nara saat ini adalah ucapan Reno tentang ‘rahasia’ kaum lelaki tadi. Aduh, kalau benar begitu, Nara juga jadi takut kalau diajak berduaan dengan Reno. Dan Yesha…entah itu juga yang terjadi padanya atau tidak. Nara tidak bisa memastikan. Daripada terus memikirkan itu, malam ini Nara ingin tidur cepat saja.

Mungkin besok pagi ia akan menemukan sedikit penjelasan.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!