NovelToon NovelToon
Inginku Bukan Ingin_Nya

Inginku Bukan Ingin_Nya

Status: tamat
Genre:Teen / Romantis / Tamat / Cerai / Teen Angst / Diam-Diam Cinta / bapak rumah tangga
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Imas

Kisah ini berlatar belakang tentang persahabatan dan percintaan. Menceritakan kisah seorang gadis yang hidup penuh keberantakan, Jianka namananya.

Jianka mempunyai seorang sahabat dekat yang dia pikir benar-benar seorang sahabat. Namun tidak, dia adalah orang yang paling tidak rela melihat Jianka bahagia.

Beruntung dalam dunia percintaan. Jianka dicintai dengan hebat oleh dua lelaki yang memiliki latar dan gaya hidup yang berbeda.

Jianka menjalin hubungan dekat dengan seorang lelaki bernama Arbian. Remaja zaman sekarang biasa menyebut hubungan ini dengan HTS. Meski demikian, kesetiaannya tak dapat diragukan.

Selain itu, Jianka juga dicintai oleh seorang Gus Muda yang mampu menjaga kehormatannya dan bersikap sangat dewasa.

Bagaimana kisah lengkap mereka? Cinta manakah yang mampu memenangkan Jianka? Kuy, ikuti ceritanya ....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Stay With You

..."Aku tak peduli dengan apa pun lagi. As long as I have you, everything's alright."...

...-Jianka Putri Dwianka ...

.......

.......

.......

"Emang bener, ya? Kamu emang nggak pernah dengerin orang tua! Ayah nyesel punya kamu!"

Ucapan itu mematungkan wajah Arbian dan Jianka, ekspresi yang tampak terkejut kaku, hanya tampak diam sesaat.

Melemaskan kakunya, Arbian  menyentuh lembut pundak yang tampak lemah itu, "Ayo, Ji. Kita keluar aja."

Langkah yang hanya ditatap diam oleh ayahnya, terhenti seketika saat sosok wanita berseragam kantor, berdiri tepat di hadapan mereka. Wajahnya yang juga tampak lelah, menatap dalam dengan senyum kaku anak gadis yang dituntun oleh lelaki yang tidak dia kenal itu.

"Jianka?" panggilnya lemah.

Mata yang tak berhenti menyuarakan lukanya itu, masih menangkap jelas suara kekecewaan tersebut, "Jianka juga manusia, Jianka juga punya dunia. Jianka hanya melakukan hal wajar, bukan kesalahan besar."

"Bukan kesalahan besar?" tanya ulang wanita tersebut dengan tegas, "Ulangi sekali lagi, Nak! Ulangi!"

"Kalian bilang aja sama Jianka, kalau emang nggak mau ngebesarin Jianka. Jangan nyiksa Jianka kayak gini. Jianka juga butuh dimanusiakan."

Tangan wanita itu terangkat, spontan wajah Jianka menghindar.

"Ayah, Bunda. Berhenti melebihkan semuanya. Kak Ji cuma ke Cafe, dia cuma duduk dan berbicara ringan dengan Kakak ini. Kak Ji hanya diantar pulang sebagai bentuk kepedulian. Hanya itu!" bela gadis cilik yang keluar dari kamarnya dengan sebuah buku di tangannya.

"Ayah juga kelewatan! Pantas, Ayah mengatakan hal seperti itu pada putri Ayah sendiri? Kak Ji nggak pernah minta dilahirkan, Yah! Ayah dan Bunda yang membuat Kak Ji ada di dunia ini."

"Masuk ke kamar kamu! Lanjutkan belajar kamu tanpa peduli urusan kami."

"Ayah pikir itu mudah? Bagaimana mungkin aku bisa konsentrasi, sementara Ayah menciptakan keributan sebesar ini?"

Wajah yang tampak begitu lelah, hanya menunduk dan menggeleng beberapa kali. Air matanya tak henti mengalirkan lukanya, "Kak, aku capek, Kak."

Suara yang ditangkap jelas oleh Arbian, tanpa kata tanpa bicara, Arbian kembali membawanya pergi. Seluruh pasang mata keluarga yang menatapnya, seketika menghentikan kebisingannya.

...

Dengan lampu kuning redup yang menghiasi heningnya suasana malam ini, cahayanya tampak indah menemani gelap malam di bangku taman.

Duduk, tertunduk, diam dan bungkam. Arbian  hanya dapat ikut diam, menunggu kepala yang rapuh itu kembali menampakkan wajah cantiknya.

Pandangan Arbian tak dapat pergi dari Jianka, "Ini boleh dipeluk nggak, sih?" ucapnya memandangi Jianka yang terus menangis.

Tangan Arbian mulai mengambil pergerakan. Ingin mendekap hangat tubuh tersebut, niatnya terhalang.

Ponsel yang Jianka letakkan di atas meja taman berdering, layarnya yang menyala menampakkan siapa yang mengirimkan pesan.

"Jianka, ini aku, Iza. Kak Arbian  sama kamu?"

Sebuah pesan itu berhasil membuat kepala gadis berantakan itu kembali terangkat.

"Kak, kak Iza nyariin," ucap Jianka sambil menunjukkan pesan dari nomer tak dikenal itu.

"Boleh pinjem?"

"Boleh, Kak."

Jari-jemarinya yang begitu lincah, menjawab pesan tersebut dan mengembalikannya pada Jianka.

"Udah lebih baik sekarang?"

"Takut pulang, Kak."

Arbian menatap setiap sudut taman yang tampak sepi di malam yang selarut ini.

"Sini, ikut aku."

Arbian berjalan menuju salah satu tempat penjual yang sudah tidak beroperasi malam ini. Meja dan barang-barang yang tertata rapi membuat Arbian yakin ini adalah tempat yang cukup nyaman.

"Kak?"

Wajah yang tampak gugup, bingung dan sedikit ketakutan. Jianka mengambil langkah mundur, sepertinya dia salah mengartikan maksud dan tujuan Arbian.

"Hey, kenapa ketakutan seperti itu? Tempat ini nyaman."

"Kakak pikir ini wajar? Nggak!"

"Kamu mikir apa? Aku nggak akan macam-macam, Jianka. Aku bukan laki-laki bodoh."

"Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa, Kak!"

Arbian terdiam, wajahnya tampak datar namun teramat dalam memandangi wajah yang tak bercanda itu, "Dia benar."

Arbian pemikir keras, apa yang harus dia lakukan untuk menolong gadis ini?

"Hari ini orang tuaku tidak ada di rumah. Aku hanya tinggal bersama Iza. Kalau kamu tidak keberatan, kamu boleh tinggal bersama kami."

"Terima kasih atas tawarannya. Tapi maaf ...."

"Baiklah, sudah sudah aku duga," wajahnya yang tampak kesal, berjalan kembali menuju bangku taman.

Jianka yang menyadari hal tersebut, diam mematung dan tampak begitu bingung. Dia menjaga atau tidak menghargai?

Langkahnya kembali mengejar lelaki yang sudah duduk tenang itu. Tak dapat menyembunyikan rasa kesalnya, wajahnya begitu terbaca oleh mata Jianka yang menatap kusutnya.

"Maaf, Kak. Tapi ...."

"It's okay, Jianka. Aku mengerti, sekarang aku hanya menunggumu. Apa selanjutnya? Apa kamu ingin tidur di sini?"

"Kak Arbian marah?"

"Kenapa?"

"Kak Arbian marah?"

Arbian membuang napasnya kasar, "Nggak."

"Bohong, pasti marah."

"Jianka," panggilan itu membuat Jianka ciut.

...

"Gila! Sampai pagi Kak Arbian nggak pulang?" keluh Iza yang membuka kamar kakaknya dan tidak menemukan keberadaannya pagi ini.

"Pagi, Fiana. Segera bersiap, jangan telat sampai Cafe. Hari ini kita harus kerja lebih keras. Semangatt!" ucapnya lembut pada pesan suara yang ia kirimkan pada wanita incarannya itu.

Mengabaikan keberadaan kakak lelakinya, Iza melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapannya sendiri.

...

Sorot cahaya matahari yang menyapa lembut berhasil membuat mata keduanya terbuka.

"Jianka, syukurlah. Kita bangun sebelum taman ini kembali ramai pengunjung."

Wajahnya kembali tak bersemangat setelah melihat gadis yang berhadapan dengannya masih tertidur pulas dengan lipatan tangannya di atas meja.

"Woy, bangun!" tegas Arbian  mengguncang tubuh Jianka yang wajahnya tampak begitu polos dengan rasa kantuknya itu.

"Masih ngantuk."

"Emang sangar. Tidur dengan posisi duduk aja bisa senyenyak itu, apalagi di kasur?"

Jianka mengangkat wajah yang matanya masih terbuka samar itu, "Mau tau?"

Wajah Arbian kaku mendengarnya. Masih sepagi ini, dia disuguhkan pertanyaan setidak masuk akal itu.

"Kalau mau?"

"Tidur sama ...."

"Bangun nggak, lo! Sebelum taman ini rame, buruan bangun!"

Arbian dengan sigap bangkit dari tempat duduknya dan mengangkat wajah Jianka. Mungkin ini juga kali pertamanya Jianka mendengar bentakan kasar dari Arbian. Beruntungnya, dia sedang tidak benar-benar sadar.

"Jam 8 pagi aku harus udah sampai perusahaan, Ji. Kamu gimana?" tanya Arbian  setelah melihat nyawa Jianka yang mulai terkumpul.

"Aku juga ada kelas."

Mulutnya menganga pada mata yang ikut terbelalak, "Lo ada kelas, terus lo sesantai ini?"

"Emang kenapa? Lagian masih jam segini."

"Berani pulang?"

Pertanyaan itu seketika membuat kesantaian Jianka buyar. Tatapannya kembali kosong, wajahnya sama sekali tak menunjukkan semangatnya untuk hidup.

"Ayah bunda jam berapa berangkat kerja? Pulang pas mereka pergi aja. Biar aku antar." tanya lembut Arbian mengembalikan sudut mata Jianka.

"Nanti Kak Arbian telat."

"Nggak masalah, aku bisa izin."

"Jangan, Kak. Aku nggak enak."

Tanpa menggubris larangan Jianka. Arbian  meraih ponselnya dan menghubungi atasannya, meminta izin saat itu juga.

"Beres!"

Jianka menatap lapangan basket dengan senyumnya. Arbian menangkap pemandangan indah itu di awal paginya.

"Kenapa? Mau main?"

Jianka mengangguk lugu. Arbian meraih tangan Jianka yang tak lagi takut untuk digenggam oleh Arbian. Dengan senyumnya yang cerah merekah, Arbian menggandeng tangan itu menuju Lapangan Basket.

Dengan lincahnya kedua pemain ini berebut bola dengan gaya mesranya. Tindakan tak terduga setelah Jianka berhasil memasukkan bola pada Ring Basket. Jianka yang tampak girang, bertepuk tangan dengan loncatan kecilnya, tertawa lepas.

Arbian menatap lega dengan senyumnya. Melangkah mendekat. Mendapati hal tersebut, Jianka menghentikan kegirangannya saat Arbian tepat berada di hadapannya.

Diam sejenak tanpa kata, secara tiba-tiba, Arbian memeluk Jianka dengan lembutnya. Jianka hanya diam mematung, dalam dekapan itu, wajah Jianka tampak begitu tegang.

"Ketawa kayak gini terus, ya," pinta Arbian dengan nada yang begitu lembut.

Mendengar ucapan tulus itu, Jianka menenangkan ketegangannya. Tangannya mulai menangkap tubuh Arbian yang masih memeluknya.

...

Matahari yang perlahan mulai naik. Arbian dan Jianka turut meninggalkan taman saat itu juga.

Keduanya yang jalan perlahan masuk untuk memasuki rumah. Tanpa Jianka sadari, dari balkon atas kakak lelakinya sudah memantau pergerakannya.

"Hmmm," dehemnya yang seketika menghentikan langkah keduanya.

"Penyusup, ya?"

Kepala Arbian dan Jianka seketika terangkat. Sebenarnya, tanpa Jianka melihat, Jianka sudah tahu pasti siapa yang sedang berbicara tersebut.

"Jianka cuma mau ambil perlengkapan buat ke kampus."

"Emang masih dibiayain?"

Wajahnya tertunduk lemah, air matanya kembali tertahan.

"Udah, nggak usah lo peduliin! Buruan masuk!" bantah Arbian mendorong lembut tubuh Jianka.

Hingga sampai kampus, Arbian setia menemani setiap aktivitas Jianka sejak malam tadi.

"Kak, makasih banget, ya."

Arbian tersenyum mendengar ucapan tersebut. Matanya yang menatap Jianka dengan tulus, ditangkap oleh Jianka yang tak salah mengartikannya.

"Jianka masuk dulu ya, Kak."

Langkahnya yang kian menjauh, masih ditatap dalam oleh Arbian dengan senyumnya yang tak kalah cerah dengan cahaya matahari pagi ini.

"Kamu sering kesepian ya, Ji? Kamu sering sendiri? Boleh janji nggak, Ji? Mulai hari ini, aku akan selalu ada buat kamu. Aku ulangi, Ji. Mulai hari ini!"

...***...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!