Inginku Bukan Ingin_Nya
..."Mereka berkata bahwa mereka membenci hujan. Padahal, aku menganggap hujan adalah cara Tuhan menghibur hamba_Nya yang kesepian."...
...-Jianka Putri Dwianka...
.......
.......
.......
Cerita ini dimulai dari kisah pertemanan yang berawal dari persahabatan dua gadis cantik, Jianka dan Fiana. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Meski demikian, persahabatan mereka tetap bertahan.
Jianka Putri Dwianka, sosoknya dikenal cuek, terlalu bodo amat, anti ribet, dan realistis. Gadis berambut panjang bergelombang, dengan poni paripurna. Bersahabat dekat dengan Fiana Agnesia sudah cukup lama. Sejak mereka masih duduk di bangku SMP.
Fiana Agnesia, lebih dikenal ramah dengan semua kalangan. Baik lelaki maupun wanita, pada orang dekat maupun orang asing. Saat ini, Fiana bekerja di sebuah cafe, berbeda dengan Jianka yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya.
“Partner kerja aku, kak Iza. Dia kayaknya suka sama aku, Ji.”
“Kok kamu tau?”
“Kelihatan banget, Ji.”
Banyak bercerita tentang lelaki, itulah Fiana. Alur hidupnya seolah hanya tentang cinta, putus cinta, terluka, dan kembali lagi ke cinta hingga kembali lagi pada luka. Sementara Jianka, justru tampak seperti manusia yang tak normal. Dirinya bahkan bisa dikatakan sangat jauh dari lelaki, anti cowok.
“Sibuk, nggak? Tolong jemput aku, Ji,” pinta Fiana pada sahabatnya tersebut malam ini melalui telepon.
Fiana yang hidup sebatang kara. Ayahnya yang pergi meninggalkan ibunya sejak Fiana masih balita. Ibunya meninggal dunia sejak Fiana masih SMP.
Ditinggal bersama kakak perempuannya, setelah kakaknya menikah dan memulai hidup bersama sang suami, Fiana tinggal seorang diri.
“Hari ini gak bawa motor?” tanya Jianka setelah Fiana keluar.
“Nggak, Ji. Motornya dibawa kakak.”
“Dibawa? Diambil dia?”
“Iya, dibawa ke rumah suaminya.”
Sejak hari itu, mengantar jemput Fiana menjadi kebiasaan Jianka. Terbiasa datang, tentu Jianka semakin lama juga mengenal siapa Iza. Partner kerja Fiana.
“Itu cowok-cowok setiap hari ngumpul di sini?”
“Iya, Ji. Mereka semua masih saudara sama kak Iza.”
Kelima lelaki yang selalu mengunjungi Cafe. Menjadi alasan Jianka untuk tidak berani memasuki Cafe, ketika Jianka menjemput Fiana malam hari. Jianka lebih memilih untuk menunggu di luar, dibanding harus masuk dan menyapa para lelaki yang duduk memutari meja tersebut.
Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hujan mendadak mengguyur kota, saat Jianka masih menunggu Fiana. Fiana, Iza, dan keempat saudaranya yang mulai mengkhawatirkan Jianka. Fiana menghampiri Jianka dan memintanya masuk, menunda jam pulang karena cuaca yang memburuk.
“Nggak papa, Fi. Aku di sini aja. Aman,” ucap Jianka tenang sambil mengacungkan jari jempolnya. Fiana yang mengerti sahabatnya tersebut, hanya kembali menutup pintu. Iza yang mengamatinya, mulai angkat bicara.
“Lah, kok nggak kamu ajak masuk? Kasihan, deres hujannya.”
“Dia gak mau, Za.”
“Paksain, Fiana!”
Tak peduli dengan ucapan Iza. Fiana hanya kembali duduk dan menikmati secangkir kopinya bersama gadget di genggamannya.
“Lo bener-bener, Fi! Dia sahabat, lo. Malah enak-enakan duduk, lo!” sahut kakak lelaki Iza yang mulai jengkel.
"Santai aja, Kak! Sopan, lo? Ngomong kayak gitu sama cewek!" ketus Iza yang tak terima dengan nada bicara kakak lelakinya pada Fiana.
"Dia nggak sopan! Nggak menghargai sahabatnya banget."
“Biasanya juga gitu, Kak Arbian. Kak Arbian kayak gak tau Jianka aja.”
“Tapi ini lagi hujan, Fi!”
Tanpa berpikir panjang, menghentikan perdebatan yang dimulai oleh dirinya sendiri. Arbian beranjak dari tempat duduknya dan menemui Jianka. Tak hanya memanggilnya dari ambang pintu seperti yang dilakukan Fiana. Arbian langsung mendekati Jianka hingga membuat Jianka panik.
“Nggak usah takut gitu, kita nggak ngapa-ngapain. Masuk aja, dingin di luar.”
Tetap menolak, Arbian mulai meraih tangan Jianka. Namun dengan sigap juga, Jianka menghindarinya. Pada tangga masuk tersebut. Akhirnya, Arbian memutuskan untuk duduk. Jianka yang terkikuk, menatap bingung lelaki dengan ekspresi wajah datar tersebut.
“Mau di sini sampai kapan?” tanya Arbian dengan nada cuek.
“Kakak masuk aja, ngapain ikut duduk di sini?”
“Kasian banget kamu. Padahal udah seeffort itu, tapi sering banget diabaikan.”
Ucapan itu seketika membuat Jianka bungkam. Matanya teralihkan pada sosok wanita yang duduk dengan tenangnya di bangku Cafe, bercerita dan bercanda ria dengan partner kerjanya itu.
Mata Jianka hanya berkedip bingung untuk menjawab kembali ucapan lelaki yang duduk di sampingnya tersebut.
"Lain kali, jangan terlalu baik sama orang."
Jianka menarik senyum simpulnya miring, "Emang salah?" tanya Jianka seolah meremehkan ucapan Arbian.
"Nggak salah, tapi nggak baik juga." Tindas lelaki tersebut dengan sorot mata menantang setelah melihat senyum yang tampak sinis dari wajah Jianka. "Masih mau di sini?" lanjutnya.
Jianka tak merespon pertanyaan yang kembali diulang oleh lelaki berusia 25 tahun itu. Dirinya yang tetap duduk dengan tenang, menatap setiap jatuhnya air hujan yang menabrak jalanan. Cukup menjawab bahwa Jianka masih ingin duduk di sana.
Arbian Putra Pratama, merupakan kakak lelaki Arva Fariza atau yang biasa dipanggil Iza.
Hening~
Keduanya tampak begitu canggung di antara jarak duduk mereka. Hingga kilatan petir dengan suara kerasnya, bersama gemuruh yang mengikutinya, mengejutkan Jianka hingga bahunya terangkat.
Arbian yang menahan tawanya saat melihat respon terkejut gadis di sampingnya itu. Ujung bibir yang kembali datar setelah melihat mata Jianka yang terpejam, dan tangan Jianka yang menyatu tergenggam.
"Are you okay?" tanya Arbian lembut yang perlahan membuka kembali mata Jianka.
"I'm okay," balas Jianka mengangguk dan spontan melepas genggaman kedua telapak tangannya yang menyatu karena rasa takut.
"Tangan kamu gemetar?"
"Nggak, Kak. Ini cuma kedinginan."
Alasan Jianka yang membangkitkan Arbian kembali. Mata Arbian tertuju pada kunci motor yang masih tergantung. Dengan akal di luar nalar, Arbian menaiki motor Jianka dan memaksa Jianka naik.
"Ini hujannya lagi deres banget, Kak."
"Naik!" balas Arbian singkat bergaya tegas.
"Kakak mau ke mana? Pergi aja sendiri, aku mau di sini aja."
"Lo naik ... atau gue tarik tangan, lo?" mata Arbian yang menangkap sinis, membungkam mulut Jianka yang terus berusaha menolak. Tak punya pilihan lain, selain mengikuti keinginannya.
Jianka benar-benar menjaga jarak duduknya, tubuhnya seolah benar-benar tidak ingin tersentuh sedikit pun. Arbian yang menyadari hal tersebut, memperlambat laju motornya untuk menjaga gadis yang dia bawa.
"Tunjukin jalan ke rumah kamu!"
"Kok ke rumah aku?"
"Emang kamu mau, kalau ke rumah aku?"
Tanpa kembali berbasa-basi, gadis yang anti dengan lelaki tersebut, segera menunjukkan arah rumahnya. Arbian hanya tersenyum sinis mendengar gugup responnya.
"Langka banget nih cewek."
…
Tak mendapati kakaknya kembali masuk, Iza membuka pintu dan justru mendapati kakak dan teman perempuan dari Fiana, sudah tidak ada di depan Cafe. Bertanya pada tiga keponakannya yang masih tersisa. Namun, tak satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana mereka pergi. Iza mendekati Fiana yang masih asyik dengan gadgetnya. Menanyakan hal yang sama. Namun, Iza tetap mendapatkan jawaban yang sama pula.
Cafe yang sepi pengunjung, hanya tersisa tiga keponakannya dan dua rekan kerja tersebut. Regha, mendekati Fiana yang duduk tak jauh dari bangku yang mereka bertiga duduki. Dengan senyum manis yang seolah siap meluluhkan hati seorang gadis yang kini duduk seorang diri.
"Haii."
Iza membidik tajam setiap pergerakannya. Iza merasa bahwa, keponakannya ini memiliki rasa yang sama pada Fiana.
Panjang perbincangan mereka yang hanya mampu Iza pantau tanpa kata. Wajah masam itu menunjukkan kecemburuannya. Fiana mengetahui hal tersebut, namun dirinya hanya menatap dan bersikap tak peduli.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments