SWEET LOVE

“Tidak mau, terima kasih. Aku masih terlalu muda untuk menikah!” tolak Arga mentah-mentah kepada permintaan sang Kakek.

Arga pun masuk kedalam ruang kerjanya disusul Kakek Yaris dan Rey yang menutup pintu ruangan kembali.

“Namun, Kakek tidak akan memaksa...,” tutur Kakek Yaris.

“...hanya saja untuk melihat cucu Kakek beristri, apakah itu adalah permintaan yang berlebihan?” lanjutnya dengan nada sedikit memohon.

“Tentu saja itu berlebihan, karena aku tidak punya pacar, dan juga tidak berniat akan segera menikah.” Arga menjawab perkataan sang Kakek dengan dingin dan santai sembari melepaskan jasnya dan menggantungnya ditempat gantungan bediri.

“Banyak juga yang harus aku kerjakan....”

“Karena itu, Kakek sudah mengatur banyak kencan buta untukmu!” kata Kakek Yaris sembari tersenyum licik, membuat Arga tercengang.

“Apa?” Alisnya mengkerut seperti baju yang kusut.

“Kakek sudah mengaturnya, 20 wanita elite dan lajang di dunia bisnis ini untuk kamu temui,” jelas Kakek Yaris, “kamu hanya perlu menemui mereka saja.”

“Okay!” serunya lagi dengan antusias dan wajah yang berbinar.

“Bapak membuat daftar itu? Oh pasti itu tidak mudah, sayang sekali jika tidak dilakukan,” sahut Rey dengan sedikit mengiba didepan Kakek Yaris.

Arga melirik Rey dengan tajam sambil menyumpah didalam hatinya, “Dasar sekretaris kurang ajar!”

“Memang tidak mudah, jika orang lain yang membuatnya, seluruh sektor keuangan akan ramai dengan gosip. Jadi...,” tutur Kakek Yaris sembari menunjuk Arga.

“Kakek sudah membuang banyak waktu! Aku tidak akan pernah pergi ke kencan buta yang Kakek atur itu!” tolaknya lagi dengan tegas.

“Auhhh, dasar anak berandal yang nakal! Apa yang akan aku lakukan denganmu?” gerutu Kakek Yaris dengan wajah sangat kesal.

Akan tetapi, tiba-tiba saja kedua ponsel Kakek Yaris dan Rey berdering secara bersamaan.

“Apa lagi ini mengganggu saja?” keluh Kakek Yaris seraya memeriksa ponselnya.

Begitu pula dengan Rey yang memeriksa tanda apa di ponselnya itu.

‘Alarm 21.00, SAAT MENONTON DRAMA’ pemberitahuan di ponsel Kakek Yaris.

“Woah, ternyata sudah waktunya, karena terlalu lama mengomeli anak nakal itu, aku hampir lupa!” kata Kakek Yaris sembari berjalan ke arah sofa dan duduk disana.

“Sudah mulai,” gumamnya riang saat menyalakan televisi.

Sebuah drama kesukaannya pun tayang.

Arga mengerutkan keningnya dan ikut melirik kearah televisi, penasaran apa yang sedang ditonton Kakeknya. Sampai begitu antusias.

“Ayo kita menonton!” soraknya.

“Jika Kakek mau nonton TV, sebaiknya pulang saja dirumah!” keluh Arga.

“HOH, apa kamu pikir Kakek akan menurutimu padahal kamu saja tidak mau menuruti perkataan Kakek?” jawab Kakek Yaris tersenyum miring, “aku akan menontonnya disini!”

Arga pun menghela nafasnya dan menyandarkan tubuhnya disandaran kursi. Karena tidak bisa apa-apa jika itu sudah kemauan sang Kakek. Jika tidak dia akan terus dipaksa untuk mengikuti kencan buta dengan 20 wanita. Itu adalah hal yang sangat sulit, dibandingkan harus mendengar omelan sang Kakek.

.

.

Disisi lain saat itu. Berlyan tengah berjalan kaki menuju restoran tempat Dimas berada, sekitar 200 meter dari stasiun kereta cepat yang dia gunakan. Disepanjang jalan dia terus memikirkan tentang hal apa yang dimaksud Dimas, sampai harus memintanya jauh-jauh datang ke restorannya malam-malam seperti ini.

“Sudah cukup lama sejak dia putus dengan Yura, mungkin dia akhirnya menyadari kalau kau menyukainya dan siap untuk menerimanya?” perkataan Hana terus memenuhi pikirannya.

“Hei, itu tidak mungkin,” pekiknya sendiri sambil menatap pintu restoran di depannya.

Berlyan pun membuyarkan lamunan itu dan segera melangkah masuk kedalam restoran tersebut.

“Apa ini? Kenapa gelap sekali?” gumam Berlyan saat mendapati lampu utama restoran mati dan tersisa lampu hias yang menyala disetiap sudut ruangan. Terasa sangat romantis suasananya saat itu.

Berlyan menatap dari kejauhan Dimas yang tengah sibuk membuat sesuatu di pantry dapurnya.sambil memakai celemek masak khasnya dan kemeja hitam. Posturnya yang tinggi terlihat sempurna dari tempat Berlyan berdiri.

“Apa Dimas benar-benar—” Berlyan tercengang saat Dimas membawa sebuah kue ulang tahun ke atas meja.

“Mohon perhatian, Dimas akan pindah dari stasiun persahabatan ke kereta pacar,” perkataan Hana lagi-lagi terus terngiang-ngiang dikepalanya.

Berlyan benar-benar tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini.

“Apa yang kamu tunggu, Lyan? Berlarilah padanya dan peluk dia dengan erat!” Bayangan hana terus memprovokasi pikirannya. “LARI!!!!!”

Berlyan pun tersenyum lebar, dan dengan cepat berlari masuk kedalam ruang makan untuk menghampiri Dimas. Bersamaan dengan Dimas yang kini tengah menatapnya saat dia berjalan. Seperti ada kembang api yang meledak-ledak didalam dadanya saat ini juga, Berlyan senang bisa mendapat kejutan seperti ini dari Dimas.

“Dimas....!!!!” serunya bersemangat.

Raut wajah Arga seketika berubah saat melihat Berlyan sangat semangat.

Akan tetapi, mata Berlyan membulat saat membaca tulisan yang berada di kue yang Dimas pegang, bertuliskan ‘JUNA MENCINTAI BOMI, PERAYAAN 100 HARI JADI’ ternyata kue tersebut bukan untuk Berlyan, melainkan untuk pelanggannya yang memesannya khusus untuk perayaan hari jadi mereka.

Karena tidak bisa mengerem langkahnya, walaupun sudah susah payah menahannya. Akhirnya Berlyan menabrak Dimas yang tengah memegang kue itu ditangannya. Hingga kue itu malah menempel di dada Berlyan. Padahal Dimas sudah berusaha mundur sebanyak dua langkah. Tapi tetap tertabrak juga.

“Ada apa dengan wanita itu? Ah, sangat mengesalkan!” gerutu seorang wanita.

Berlyan dan Dimas menoleh bersamaan kearah wanita tersebut, yang tengah duduk berhadapan dengan seorang pria disalah satu meja restoran. Dengan wajah mereka yang terlihat kesal dan kecewa.

Beberapa saat kemudian.

“Astaga, bodoh sekali! Aku sudah mengacaukannya, bagaimana ini? Maafkan aku,” ungkap Berlyan sembari mengusap sisa krim kue dibajunya.

“Tidak apa-apa, aku melakukannya karena mereka pelanggan, jadi aku hendak memberi mereka kue gratis,” jelas Dimas dengan tersenyum.

“Benarkah, aku pikir mereka memesan kue itu, ternyata kamu yang berniat memberinya secara gratis.” Berlyan bernafas lega.

“Oh, aku lupa....” Dimas bergegas menghampiri salah satu kompornya yang berbunyi, karena lupa untuk mengaduk makanannya.

“Pokoknya, maaf ya. Kamu pasti sangat sibuk, kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Berlyan sembari mencondongkan badannya kedepan untuk melihat Dimas di dapur.

“Tunggu sebentar, Berlyan,” panggil Dimas saat Berlyan hendak pergi.

Dia pun mengambil sebuah kertas coklat yang seperti sebuah tiket dan lalu memberikannya pada Berlyan.

“Selamat ulang tahun, Berlyan!”

Berlyan tertegun sambil menatap tiket itu dan wajah Dimas secara bersamaan dengan wajah bingung. Setelah itu dia pun segera pergi dari tempat tersebut.

Di halte bus nomor 3 yang letaknya tidak jauh dari restoran Dimas. Berlyan berjalan dengan lemas dan mendudukkan tubuhnya dibangku tunggu halte. Dia pun mengeluarkan kembali hadiah pemberian dari Dimas tadi dari dalam kantong jaketnya.

“Huft....” Dia bernafas dengan malas.

‘Selamat ulang tahun Berlyan, ini tiket konser penyanyi kesukaanmu. Sulit sekali untuk mendapatkan ini, jadi, pergilah dengan seorang pria, jangan dengan Hana’ itulah yang tertulis di memo yang ada dibelakang tiket tersebut.

“Huh, bodoh sekali! Berlyan memang sebaiknya kamu tidak terlalu berharap memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria,” gumamnya seraya menyandarkan kepalanya dihalte itu.

Dimas dan Berlyan sudah berteman sejak dua tahun lalu saat Berlyan menerima beasiswa untuk belajar sebagai ahli gizi. Saat itulah dia bertemu dengan Dimas yang memiliki sifat baik dan ramah. Akan tetapi, sebenarnya Berlyan tidak terlalu membuka hati pada seseorang terutama Dimas. Karena dia trauma memiliki cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Tapi malam ini, dia seperti sedang mengulang kesalahannya dua tahun yang lalu. Hampir saja dia dipermainkan lagi oleh cinta buta yang akan membuat hatinya yang lemah terluka lagi.

.

.

.

BERSAMBUNG.