NovelToon NovelToon
Binar Cakrawala

Binar Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen School/College / Romansa / Slice of Life
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: And_waeyo

Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.

Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?

"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"

Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 21. Sesak dan Tangis

Binar baru saja sampai ujung koridor ketika ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya terdiam seketika.

Kedua orang yang berboncengan itu, mulai pergi meninggalkan parkiran SMA. Tolong kali ini saja, katakan jika ia salah lihat. Gadis itu speechless, berbagai prasangka mulai bermunculan di kepalanya. Rongga dada Binar mulai terasa sesak.

Ia barusan melihat Cakra membonceng Sasha. Apa artinya itu?

Tidak, ia tak boleh berprasangka buruk pada Cakra. Ia mungkin salah paham, pasti. Cakra tidak mungkin tega selingkuh darinya. Gadis itu mencoba meyakinkan diri sendiri.

Tapi kenapa mereka pulang bareng? Binar memutuskan untuk melanjutkan langkahnya dengan tatapan yang mulai hampa. Ia sama sekali belum menelpon sopirnya untuk menjemput. Sore ini cukup panas, hati Binar juga terasa panas. Sampai ia ingin menangis.

Kenapa hari ini tidak hujan? Pikirnya. Binar ingin hujan turun.

Binar butuh hujan, agar riuhnya bisa menyamarkan tangis, supaya ia tak perlu susah payah membendungnya seperti sekarang. Omong kosong jika ia tidak merasa sakit melihat lelaki itu berboncengan dengan perempuan lain, padahal ia rasa hubungannya dengan lelaki itu sedang tidak baik. Tahu-tahu pacarnya membonceng cewek lain, tanpa komunikasi apa pun.

Bagaimana jika Cakra memilih berpaling? Sasha cantik, hingga kini Binar jadi tak percaya diri dan benar-benar takut.

Sampai tanpa sadar, Binar sudah melalui gerbang SMA-nya. Ia berbelok, masih melangkah, tak memedulikan beberapa tatapan murid yang ia lewati. Bahkan kini, gadis itu sudah melalui halte bus. Cukup banyak murid dan beberapa orangtua yang berada di sana. Ia lewati saja dengan tatapan lurus pada jalan.

Gadis itu berjalan di trotoar, tanpa tahu tempat, air mata perlahan menyusuri kedua pipinya. Binar tak ingin menangis, tapi ini menyakitkan dan teramat sesak. Bahkan, ia tak berusaha membendung air matanya lagi.

"Aku minta maaf kalau aku salah," gumamnya di sela tangis yang mulai tak bisa ditahan.

"A-ku kan ... udah minta maaf," ucapnya dan masih tetap berjalan.

"Aku janji ... nggak akan ulangi lagi."

Binar tak peduli jika beberapa orang yang ia lewati akan menatapnya heran, aneh, atau prihatin. Apa pun itu ia tak peduli. Binar hanya ingin menangis.

Sampai ia menemukan sebuah kursi panjang dekat pohon di sudut trotoar. Gadis itu duduk di sana, tanpa peduli siapa di sampingnya. Binar menangis, bahkan tambah sesenggukan. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.

"Kenapa ini sakit banget?"

Binar sempat-sempatnya bergumam dan merengek di sela tangisnya. Ia tak tahu seburuk apa kondisinya sekarang.

Sampai tiba-tiba ada yang mengusap-usap kepalanya. Binar tersentak, dan mendongak dengan ekspresi yang sudah pasti tidak terkontrol lagi. Ia mendapati seorang bocah perempuan yang sedang berdiri di kursi sambil menatap padanya, tangan bocah perempuan itu yang mengusap-usap kepalanya dengan lembut.

"Kakak nggak papa?" tanya bocah perempuan itu polos.

Dan dengan tak tahu malu ... Binar yang semula mulai meredakan tangis tapi masih sesenggukan, malah menangis lagi membuat gadis itu dan kedua bocah lelaki di belakangnya kaget.

Bahkan, beberapa orang yang melewati mereka menatap heran.

"Kak Soni, aku minta tisu."

"Hah? Oh ... ok." bocah lelaki yang dipanggil Soni itu memberikannya satu bungkus tisu dari barang dagangan yang ia bawa.

Si bocah perempuan membukanya. "Nggak papa, aku di sini. Semua baik-baik aja," kata gadis kecil itu.

Sesuatu yang tak Binar duga. Bocah perempuan itu memeluk sembari mengusap-usap punggungnya. Binar masih menangis selama beberapa saat, lalu setelah merasa baikan, ia mengurai pelukan dari seorang gadis kecil yang tidak ia kenal.

Gadis kecil itu mengulurkan tisu padanya yang tanpa ragu, langsung Binar terima untuk mengusap air mata di kedua pipinya serta ingus yang nyaris keluar dari hidungnya. Ketiga bocah itu masih diam di tempat dan menatap Binar.

"Makasih ya," kata Binar setelah sebelumnya ia menghela napas panjang untuk menenangkan diri.

Ia tersenyum, Binar menatap bocah perempuan dengan potongan rambut berponi itu, mengingatkan pada ia ketika masih kecil dulu. Meski sampai sekarang ia masih memakai poni.

Tisu bekasnya ia buang sembarangan. Namun salah satu bocah lelaki yang lebih pendek dari bocah lelaki di sampingnya memungut itu, ia melangkah menuju tong sampah dan membuangnya. Binar jadi malu.

Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sampai ia melihat masing-masing bocah itu membawa sesuatu.

"Kalian dagang?" tanyanya, Binar tak menangis lagi. Namun sesekali ia masih sesenggukan.

"Iya Kak, Kakak udah nggak papa?" kata bocah perempuan itu bertanya dengan nada imutnya.

Seketika, Binar menatap sebungkus tisu yang ia pegang. "Jadi, tisu ini ...," gumamnya pelan.

Gadis itu merogoh saku roknya. Ia mengambil satu lembar uang berwarna biru lalu mengulurkannya pada bocah perempuan itu.

"Iya sekarang udah nggak papa. Ini uang buat tisunya."

Mata para bocah itu membulat. Sang bocah perempuan yang menerima uangnya.

"Kak ini ...."

"Tapi, nggak ada kembalian. Aku coba cari ke pedagang---"

"Eh, nggak usah. Nggak papa kok, ambil aja kembaliannya," kata Binar.

"Aku kembaliin uangnya," kata bocah perempuan itu.

Kening Binar mengernyit. "Kenapa?" tanyanya.

"Kami jualan, terus dapat uang. Kami nggak bisa terima itu kalau Kakak nggak beli barang jualan kami." bocah lelaki paling tinggi menyahut.

"Kalau gitu, kembaliannya beliin aja sama barang yang kalian jual. Tapi omong-omong, nama kalian siapa?"

Ketiga bocah itu sama-sama membulatkan mata terkejut. Uang berwarna biru yang diberikan Binar nominalnya sangat besar untuk mereka, tentu saja ketiga bocah itu senang mendengar seorang kakak yang entah kenapa tadi menangis dan tidak mereka kenal akan membeli barang dagangan mereka dengan uang itu.

"Nama aku Ana, ini yang paling tinggi kak Leci, yang satu lagi namanya kak Soni," kata Ana.

Bocah lelaki paling tinggi menyahut. "Reji, Ana. Bukan Leci."

"Iya maksud aku Leci," kata Ana dengan polosnya.

Bocah lelaki bernama Reji itu hanya mencebik karena Ana memang selalu salah menyebutkan namanya. Melihat itu, Binar tertawa pelan.

"Kalian masih SD?" tanya Binar.

Ana menggeleng. "Seharusnya, tapi kami nggak sekolah. Ibu selalu ajarin kami buat hitung sama membaca di rumah," katanya.

Binar jadi merasa tak enak. Ia terdiam beberapa saat. Gadis itu berdehem. "Oh iya, kakak sampai lupa. Nama kakak, Binar. Salam kenal ya, kalian jualan apa aja?" Binar mengalihkan pembicaraan.

"Kak Leci jualan cangcimen, kak Soni jualan tisu sama air mineral, aku jualan bunga." Ana turun dari kursi dan ia mengambil kardus yang isinya bunga, ia letakkan di kursi. Binar tak melihat itu karena tadi terhalang tubuh Ana.

"Oh ... kalian tinggal di mana?"

Ketiga bocah itu saling bertatapan selama beberapa saat. "Kami tinggal di panti Kasih Ibu, dan sekarang kami mau pulang. Kalau terlalu sore, ibu nanti khawatir," jawab Reji.

"Panti?" Binar terdiam beberapa saat.

"Kalau Kakak beli semua dagangan kalian boleh?" tanya Binar.

Ana, Reji, dan Soni sama-sama terkejut.

"Kakak serius?" Reji bertanya.

Binar mengangguk sambil tersenyum.

"Makasih Kak!" kata ketiga bocah itu berbarengan.

"Tapi kalian nggak keberatan nunggu kan? Kakak mau telepon sopir kakak dulu soalnya buat bawa semua itu."

Ketiga bocah itu mengangguk. Binar menelpon sopirnya agar menjemput Binar ke lokasi yang sudah ia kirimkan.

Setelah selesai, ia kembali menatap ketiga bocah itu. "Ayo duduk dulu. Jadi semua berapa?"

"Kami belum hitung semua berapa."

"Kalau gitu ayo hitung semua."

Binar menghitung jumlah total untuk dagangan yang harus ia beli. Ia memulainya dengan bunga, kemudian barang yang dibawa Soni, lalu Reji. Setelah semua selesai, Binar merogoh saku roknya. Membayar sisa dari yang harus ia bayar.

Waktu berlalu, sebuah mobil berwarna hijau muda terlihat di jalan, dan kini menuju ke arah mereka. Binar menengok, ah itu mobil miliknya.

Binar melambaikan tangan. Sang sopir yang terlihat masih muda---namanya Yosep---membuka kaca mobil sambil tersenyum ramah. Binar menghampirinya.

"Kenapa Nona ada di sini?" tanyanya setelah Binar mendekat.

"Bisa turun dulu? Bantu masukkin semua dagangan dari mereka," kata Binar sambil mengedikkan dagu ke arah ketiga bocah yang ia maksud.

Yosep melihat ke arah tiga bocah itu. Keningnya mengernyit. "Mereka siapa?" tanyanya.

"Jangan banyak tanya deh, cepat bantuin!"

Yosep langsung kicep. "Iya Non, tapi di sini area dilarang parkir, saya pindahin mobilnya ke parkiran mini market yang ada di sebelah sana ya Non," katanya.

"Ya udah deh, kalau gitu Kang Yosep tunggu di sana. Aku sama tiga anak-anak itu nyusul ke parkiran."

"Jangan Non, saya aja yang ke sini dan angkut semua. Non Binar tunggu aja biar nggak capek," katanya.

"Yang bos itu siapa? Saya. Jadi Kang Yosep harus nurut sama saya. Atau mau saya aduin papa buat potong gaji Kang Yosep?" ancam Binar sambil melotot.

"Iya Non, maaf."

Tanpa menutup kaca jendela mobil kembali, Yosep melajukan mobil itu menuju sebuah parkiran mini market. Binar menggerutu sebal. Ia berbalik dan mengajak ketiga bocah itu agar mengikutinya.

Jaraknya cukup dekat, jadi tidak perlu waktu yang lama untuk sampai ke sana. Yosep sudah menunggu di luar mobil dengan payung di tangannya.

"Ini---"

Binar langsung terdiam ketika Yosep mendekat untuk memayunginya.

"Panas Non," katanya.

"Ya, biar saya yang pegang payungnya. Kang Yosep masukkin aja barang mereka ke dalam mobil."

Yosep mengangguk, menuruti apa yang disuruh Binar. Ana, Reji, dan Soni hanya memperhatikan, ketiganya sama-sama menyimpulkan jika Binar adalah orang kaya, dia punya mobil, dan terlihat juga dari cara Binar menyuruh orang yang ia panggil 'kang Yosep'.

"Semua sudah Non," kata sopirnya setelah selesai memasukkan barang-barang itu ke bagasi mobil.

Binar mengangguk. Ia menatap pada ketiga bocah itu.

"Makasih ya."

"Nggak Kak, kami yang makasih," kata Reji.

"Kakak bilang makasih karena kalian tadi nemenin kakak waktu nangis, boleh kakak antar kalian pulang?"

Ana, Reji, dan Soni saling bertatapan untuk ke sekian kalinya.

"Ayo Kak!" si kecil Ana berseru dengan mata berbinar pada kedua kakak lelakinya.

"Tapi Na ...."

"Nggak papa kok. Saya nggak bakal culik atau gigit kalian. Kalian percaya sama kakak kan?" kata Binar melihat ekspresi ragu dari kedua bocah lelaki itu.

Akhirnya, setelah Ana membujuk keduanya, mereka mengangguk. Kening Yosep mengernyit, ia membukakan pintu mobil ketika Binar menyuruhnya.

"Non, mereka bertiga siapa?" tanyanya setelah menutup pintu mobil.

"Mereka anak-anak panti. Kang Yosep bawel, udah ayo masuk, nanya lagi aku benar-benar aduin papa nih," kata Binar.

Yosep tersenyum meringis, ia mengangguk dan mengambil kembali payung, lalu membukakan pintu mobil untuk Binar. Sementara, ia memutari depan mobil, menutup payung dan setelah itu membuka pintu dan masuk ke dalamnya.

Ia tahu, di balik semua sikap Binar, yang kadang bossy, mudah kesal, dan lainnya. Tambah lagi, sedikit-sedikit mengancam mengadu ke papa, Binar tak sungguh-sungguh. Ditambah dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia yakin, jika Binar menyembunyikan sosok malaikat dalam dirinya.

Dulu ketika ia dimarahi saat tak sengaja membuat mobil tergores akibat kelalain pengendara lain, nona muda itu membelanya di depan tuan dan nyonya besar pemilil rumah.

Dalam hati, ia diam-diam penasaran perihal kedua mata Binar yang sembab. Yosep juga mendengar anak-anak itu bilang jika Binar menangis tadi.

1
anggita
biar ga cemburu terus, kasih like👍+iklan☝.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!