"Kalian berdua pergi dari rumah ini sekarang!"
"Papa mengusir kami?"
Agus Sudarmono, ayah Lili, tega mengusir putri sekaligus pengawal pribadinya selesai acara pernikahan. Mereka berdua dipaksa menikah setelah dijebak tidur bersama oleh ibu tirinya.
Yang lebih menyedihkan hati, Lili harus meninggalkan segala kemewahan yang selama ini dikecapnya. Dan harus hidup sederhana bersama dengan pengawalnya di sebuah desa.
Akankan kah Lili bisa bertahan dengan kehidupan barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
“Nona, apakah benar kita akan menikah besok?”
Setelah Galang siuman, ia berlari mencari sang nona untuk memastikan kebenaran berita dari sahabatnya, yang juga bekerja sebagai pengawal keluarga Mahendra.
“Iya, kita akan menikah besok. Apa kamu keberatan?” Lili memiringkan wajahnya untuk melihat wajah pengawalnya yang menunduk.
“Ini tidak benar, Nona tidak seharusnya berkorban untuk saya. Biarkan saya menerima hukuman dari Tuan,” ucap Galang bersungguh-sungguh.
“Tidak, Galang, kamu tidak boleh mati sia-sia," tegas Lili. Lantas gadis itu bertanya, "Apakah kamu sudah memiliki kekasih?”
Sang nona mengira bahwa Galang menolak menikah dengannya, karena sudah memiliki kekasih. Jika memang benar, maka dia akan meminta izin kepada sang kekasih untuk melepaskan sang pengawal demi keselamatannya.
"Tidak, Nona," sahut pemuda itu singkat.
“Bagus!" Sang nona muda menepuk pundak pria itu, puas dengan jawabannya.
Galang mengacak-acak rambutnya, ini bukan masalah mau atau tak mau, tetapi semua itu terasa tidak benar, apalagi insiden yang menimpa mereka adalah jebakan dari seseorang yang tidak menyukai Lili.
“Kamu keberatan?” tanya perempuan berwajah ayu itu saat melihat wajah Galang yang muram.
“Nona, saya tidak bisa menikah. Martabat Nona yang dipertaruhkan.” Lelaki itu berusaha membujuk sang nona.
Dia adalah korban dari orang yang tidak suka dengan sang majikan, tapi kenapa dia juga harus bertanggung jawab.
Baginya, ia lebih baik mati daripada menikah dengan majikannya sendiri.
“Nona, yang dikatakan Galang benar. Galang itu hanya pengawal, dan orang miskin,” ucap Bagas sahabat Galang.
Ia ambil suara setelah melihat perdebatan sang nona dengan sahabatnya yang tidak mendapatkan titik tengah. Mereka masih teguh dengan pendiriannya masing-masing.
Lili melipat kedua tangannya sembari duduk di sofa. Dia melihat kedua pengawalnya yang berdiri dengan menundukkan kepalanya.
“Memangnya apa salahnya menikah dengan orang miskin?” tanya Lili menantang.
Ia tak suka mendengar Bagas yang membedakan level seseorang. Dia menolak menikah karena ini terlalu terburu-buru dan tidak ada rasa suka, bukan karena status mereka yang berbeda.
“Nona, beban yang akan ditanggung Galang terlalu besar untuk menantu keluarga Sudarmono. Lebih baik batalkan saja,” timpal Bagas.
Harga diri seorang laki-laki bisa diinjak-injak kalau sang perempuan lebih kaya dan berpenghasilan lebih banyak.
“Lalu, apakah kamu siap menggantikan Galang untuk menerima hukuman?” Lili menatap pekat sang pengawal yang berani menyuruhnya membatalkan pernikahan dengan Gilang.
Dia sudah menurunkan gengsi dan membuang mimpi-mimpi indahnya tentang pasangan dan pernikahan, tapi mereka berdua justru tidak menghargai pengorbanannya.
“Ampun! Tidak, Nona,” jawab Bagas masih dengan kepala tertunduk.
Lili pergi dengan wajah kesal. Sebenarnya jika ada opsi lain dia akan memilihnya. Namun, Lili memikirkan perasaan orang tua Galang. Dia tahu rasanya kehilangan, sehingga dia tak mau mereka juga merasakannya.
Galang menghembuskan napas panjang, dia sudah putus asa untuk membujuk sang nona agar membatalkan pernikahannya.
Bagas mengibaskan tangannya agar Galang mengejar sang nona.
“Kejar Nona Lili, siapa tahu ini memang takdir kamu,” nasihatnya.
Galang mengangguk lalu mengejar sang nona seperti yang disarankan oleh sahabatnya, kali saja ini takdir yang akan membawa perubahan dalam dirinya.
“Nona, tunggu!” seru Galang.
Lili menghentikan ayunan kakinya. Ia memutar tubuhnya sembari melipat kedua tangannya di dada.
“Ada apa?” ucapnya ketus.
“Saya bersedia menikah dengan Nona,” ucapnya dengan napas yang masih terengah-engah.
“Mahar apa yang kamu mau?” ucap Lili.
Gadis itu menanyakan mahar kepada Galang, dia tahu kalau sang pengawal itu miskin sehingga dia yang akan memberikan mahar kepadanya.
“Nona, harusnya saya yang memberikan semua itu.” Galang sedikit tersinggung dengan ucapan sang nona.
“Galang, bukan maksudku merendahkanmu. Anggap saja mahar itu sebagai imbalan karena kamu mau berkorban untukku,” sahut Lili dengan lembut.
“Nona, harusnya saya yang berterima kasih. Nona mau menyelamatkan nyawa saya,” katanya sambil membungkukkan badannya.
...----------------...
“Kamu mau menikah dengan Galang?” tanya Mila tak percaya. Dia segera menutup mulutnya rapat-rapat, takut ada yang mendengarnya.
“Iya,” jawab Lili tanpa keraguan sedikit pun.
“Lili, apakah dia mengancammu?” bisik sang sahabat, ia memiringkan kepalanya melihat sang pengawal yang terus mengawasi mereka berdua.
Seulas senyum tercipta di bibir Lili. Mila tak mengenal pengawalnya.
“Mana berani dia mengancamku?” sahut Lili dengan percaya diri.
“Benar juga, tapi kenapa?” Mila masih tak mengerti dengan keputusan sahabatnya untuk menikahi sang pengawal.
“Apa kamu tidak melihat di media massa?” Lili bertanya balik.
Gadis itu heran mendapati sahabatnya yang tidak heboh dengan masalah yang sedang menimpanya.
“Soal itu, mereka hanya berlebihan. Apa salahnya kalian bersama toh sama-sama single, Tidak melanggar aturan,” sahutnya ringan.
Mila menyesap minuman yang baru saja datang.
Ia adalah perempuan modern dengan pikiran terbuka yang selalu menilai suatu masalah dari berbagai sisi. Jadi, tidak mudah termakan berita yang belum pasti kebenarannya.
Lili berdecak. “Kalau memang itu tidak melanggar aturan, kenapa kamu masih mempertanyakan pernikahanku dengan Galang?” tukasnya.
Lili menganggap sahabatnya itu tidak konsisten dengan pernyataannya.
“Yang jadi pertanyaanku, kenapa Galang? Kamu itu nona muda,” cecar Mila.
“Ini semua demi nyawanya. Dia adalah korban dari orang yang sirik sama aku.”
Lili menjabarkan alasannya menikahi sang pengawal, mulai dari jebakan di hotel, hingga ancaman sang ayah untuk membunuh pengawalnya.
Mila sedikit kaget, tapi berupaya untuk tidak bereaksi berlebihan. “Nah, soal itu. Apa kamu memiliki orang yang dicurigai?” tanya gadis berambut pendek itu.
“Aku tidak yakin, tapi aku mencurigai ibuku sendiri,” jawab Lili sedikit ragu.
Dia belum yakin dengan dugaan sang pengawal, tapi kehadiran sang ibu membuatnya berpikir ulang.
“Tante Rida?” Mila bertanya dengan wajah tidak percaya.
Yah, selama ini yang orang tahu Rida itu ibu tiri yang sering mendapatkan banyak pujian. Dia ibu sambung yang sangat menyayangi keluarganya, sama sekali tidak pernah membedakan antara Lili dengan Indira anak kandungnya.
“Iya, tapi aku ragu. Mama itu orang yang baik, tapi ....” Lili menghentikan ucapanya.
“Tapi apa?” Mila penasaran.
“Mama berada di sana,” dengusnya.
Mila memainkan jari-jemarinya, dia mencoba memecahkan masalah yang sedang dialami sahabatnya. Menjebak seorang nona besar itu bukan hal mudah, kecuali orang-orang itu sangat mengenalnya.
“Mungkinkah ini perbuatan Galang?” Mila juga beropini sama dengan orang-orang terdekat Lili, bahwa ini pasti akal-akalan dari sang pengawal untuk menjadi bagian dari keluarga Sudarmono dan menguasai harta kekayaanya.
Lili menggelengkan kepalanya. “Aku rasa ada orang dalam kantor yang mulai bermain-main denganku."
Dia mulai sependapat dengan dugaan sang pengawal. Dia dijebak saat dirinya hendak naik jabatan menjadi pemimpin perusahaan.
Mila menjentikkan tangannya. “Perebutan jabatan,” ucapnya tiba-tiba.
Lili menganggukkan kepala, “Mila, bisa nggak kamu mencari tahu siapa orang dibalik semua ini?”
Mila mengangguk. Ia bersedia membantu untuk menemukan orang yang telah menjahati sahabat karibnya itu.
Lantas gadis itu menyatakan kecurigaannya. "Mungkinkah itu ... orang di kantor?”