Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Ukiran
Sekitar pukul 3 pagi, Hanung terbangun. Alarm tubuhnya tetap berbunyi walaupun semalam ia susah tidur karena rasa tak nyaman di perut bagian bawahnya. Salahnya sendiri yang sudah tahu akan datang bukan tetapi tetap makan eskrim, sampai membuat Gus Zam terjaga menunggunya.
Hanung menatap Gus Zam yang masih terlelap. Gus Zam yang biasa menggunakan kemeja, sarung dan peci kini sedang menggunakan kaos dan celana pendek. Penampilan yang benar-benar berbeda. Apalagi wajah Gus Zam saat ini sangatlah berbeda dibandingkan saat terjaga. Bulu mata lentik dengan hidung bangir.
"Astaghfirullah.." sebut Hanung saat dirinya mulai membandingkan hidungnya yang pesek.
"Hmm?" Gus Zam pun terbangun mendengar ucapan Hanung.
"Maaf, Mas. Tidur lagi saja, masih malam." Hanung tersenyum.
"Jam berapa?"
"Sepertinya sekitar pukul 3 pagi." Gus Zam pun duduk.
"Aku sholat dulu." Gus Zam turun mengambil wudhu.
Hanung duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikan semua gerakan Gus Zam, sampai selesai melaksanakan sholat 2 rakaat. Gus Zam yang tidak biasa diperhatikan pun sudah tak bisa melanjutkan sholatnya. Ia pun duduk disebelah Hanung.
"Jangan melihatku seperti itu!"
"Kenapa, Mas?"
"Aku tidak nyaman."
"Aku mau mengukir kenangan untuk bekal nanti." Kata Hanung sambil tersenyum.
"Satu tahun, Hanung. Bagaimana aku menjalani satu tahun tanpa kamu?"
"Yakinlah, Mas. Kamu akan lebih baik dari sekarang." Hanung menangkup wajah Gus Zam yang menunduk.
"A-aku.."
"Jangan berpikiran pesimis, oke? Mas bisa menghubungi Hanung kapan saja dan Hanung juga akan seperti itu. Jadi, jangan biarkan ponsel Mas berlama-lama dilaci!" Gus Zam tersenyum sambil memegang tangan Hanung yang ada di wajahnya.
Senyuman yang baru kali ini Hanung lihat, sangatlah menawan. Jika saja memiliki mental normal, mungkin bukan Hanung yang ada di sisi Gus Zam sekarang.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa." jawab Hanung seraya melepaskan tangkapannya.
Namun tangan Hanung dicekal oleh Gus Zam dan dituntun kembali ke wajahnya.
"Seperti ini sebentar lagi." pintar Gus Zam.
Perasaan Hanung mulai tidak tenang. Tatapan Gus Zam kepadanya saat ini sangat berbeda dengan tatapan yang sebelumnya. Gus Zam sendiri sesekali tersenyum kecil saat memandang wajah Hanung. Sampai tangan Gus Zam, meraih pinggang Hanung hingga mereka merapat.
"Sakit?" tanya Gus Zam yang merasakan Hanung menegang, tetapi Hanung hanya menggeleng.
Cukup lama mereka dalam posisi tersebut, sampai adzan subuh membuyarkan keduanya. Mereka saling tertawa karena mereka sama-sama terkejut. Hanung pun izin ke dapur untuk membuat sarapan, sedangkan Gus Zam melaksanakan sholat sendiri.
"Hayoo pengantin baru, mau apa?" goda Ning Zelfa.
"Mau masak. Enaknya sarapan apa ya?"
"Tidak keramas dulu?" celetuk Ning Alifah yang ikut bergabung.
"Hah?" bengong Hanung dan Ning Zelfa tidak mengerti.
"Sepertinya cucu Umi dan Abi akan lama launchingnya." kata Ning Alifah menggelengkan kepalanya.
Barulah keduanya paham apa yang dimaksud keramas oleh Ning Alifah. Ning Zelfa segera menatap Hanung meminta penjelasan. Sedangkan Hanung hanya menggelengkan kepalanya sambil meringis. Ketiganya bisa bersama saat ini karena mereka sama-sama sedang kedatangan tamu.
Akhirnya mereka pun membuat sarapan bersama. Nasi uduk yang dimasak di penanak nasi, kering tempe, mie goreng dan ayam goreng laos. Untuk minum tentu saja kopi dan teh. Selesai memasak, masih ada waktu sampai Bu Nyai dan yang lain datang. Hanung menyempatkan membuat camilan serabi yang ia buat diatas wajan penggorengan karena tak ada cetakan tembikar khusus serabi.
Gus Zam yang lebih dulu sampai segera duduk manis bersama Ning Alifah dan Ning Zelfa, menyaksikan kegiatan Hanung. Setengah jam kemudian, rombongan Pak Kyai dan Bu Nyai juga Gus Miftah datang.
"Ada Hanung, Abi jadi punya menantu yang sebenarnya." suru Pak Kyai yang langsung menyeruput kopinya.
"Memangnya Gus Miftah bukan menantu?" tanya Ning Zelfa.
"Ya menantu, juga. Tetapi maksud Abi menantu yang seperti Hanung, memasak, menghidangkan makanan enak dan tidak lupa kopi."
"Itu juga Umi dan anak-anak bisa, Bi." protes Bu Nyai.
"Iya, tapi tidak bisa setiap hari. Karena semuanya tangan Siti."
Semua orang pun tertawa. Setelah menyantap serabi, mereka lanjut makan nasi karena tanpa nasi sarapan tidak akan terasa kenyang.
"Tambah lagi?" tanya Hanung yang mengambilkan nasi untuk Gus Zam, setelah para orang tua sudah mengambil.
"Tidak, ini sudah cukup."
"Hanung, bisa minta tolong ambilkan mie nya?" pintar Bu Nyai.
Hanung pun mengambil mangkuk mie dan berjalan memutar mendekat ke arah Bu Nyai. Kemudiaan lanjut ke Ning Alifah dan Gus Miftah. Baru kembali ke mejanya dan melayani Gus Zam. Sarapan selesai, masing-masing kembali dengan kegiatan mereka yang padat.
Terutama Pak Kyai dan Gus Miftah yang ada undangan pengajian. Bu Kyai dan Ning Alifah ke yang mengurus semua administrasi pesantren, dan Ning Zelfa pergi kuliah. Tinggallah Hanung dan Gus Zam yang sedang membantunya mencuci piring.
"Mas Zam ada kegiatan apa kalau pagi?"
"Tidak ada."
"Tidak ada?"
"Biasanya mengukir."
"Oh iya, apakah ukuran nama Hanung yang ada diatas kaca itu Mas yang buat?"
"Iya. Kamu tidak suka?"
"Suka. Suka sekali malah. Tulisannya bagus, pengerjaannya juga halus. Terimakasih ya, Mas." Hanung tersenyum.
"Sama-sama."
"Boleh lihat ukiran yang lain tidak?" Gus Zam mengangguk.
Segera setelah mereka selesai mencuci piring, Gus Zam membawa Hanung ke gudang tempat dimana ia menyimpan semua ukirannya. Hanung terkesima dengan ukiran yang dibuat oleh Gus Zam. Ia yang tidak tahu ukiran merasa ukiran yang dibuat suaminya sangatlah halus.
"Sudah pernah coba dijual, Mas?" tanya Hanung sambil memilah-milah.
"Kemarin Abi mau membawanya ketempat Kang Leman, tapi belum tahu."
"Bolehkah ini untukku, Mas?" Hanung mengambil sebuah figurine berbentuk kucing.
"Boleh. Ada lagi beberapa."
Gus Zam pun mengeluarkan beberapa figurine hewan lainnya. Tetapi Hanung hanya mengambil kucing yang akan ia buat sebagai gantungan kunci dan ukiran pemandangan untuk menghiasi kamar mereka.
"Biarkan aku memernisnya dulu." kata Gus Zam mengambil alih papan ukiran.
Hanung memperhatikan setiap gerakan Gus Zam. Mulai dari mengeluarkan tool box, mencampur pernis dan memernis lukisan. Semuanya Hanung suka,
"Tinggal tunggu kering. Nanti sore kita ambil dan pasang dikamar." Hanung mengangguk dengan senyuman.
"Apakah tempat itu nyata?"
"Ya."
"Dimana, Mas?"
"Tempat kamu sering membaca."
"Hah?"
Hanung memperhatikan kembali ukiran Gus Zam. Pohon besar, dinding pembatas pot bunga tersusun dan kursi kayu panjang. Hanung ingat. Itu adalah tempatnya menghindar saat Ibu Jam mengikuti kajian dan di belakang masjid.
"Tapi kenapa aku tidak tahu jika Umi dan Abi memiliki anak laki-laki?" gumam Hanung.
"Jelas saja kamu tidak tahu, karena aku tak pernah keluar dari kamar ataupun ikut kegiatan seperti Kak Alifah ataupun Zelfa."
"Assalamu'alaikum.. Maaf Gus Zam, Mbak Hanung.. Bu Nyai meminta Gus dan Mbak Hanung ke ruang keluarga." kata seorang abdi dalem, Mbak Mutia.
Gus Zam mengangguk dan membereskan alat kerjanya. Hanung pun menunggu Gus Zam selesai, baru mereka ke ruang tamu bersama.
lagi...
lagi..../Smile/
tebawa suasana
JD + semngat nunggu bsb yg lain ny