Aisha Naziya Almahyra telah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan kekasihnya yang bernama Ikhbar Shaqr Akhdan. Hubungan mereka sudah sangat jauh.
Hingga suatu hari kedua orang tua mereka mengetahuinya, dan memisahkan mereka dengan memasukan keduanya ke pesantren.
Tiga tahun kemudian, Aisha yang ingin mengikuti pengajian terkejut saat mengetahui yang menjadi ustadnya adalah Ikhbar. Hatinya senang karena dipertemukan lagi dalam keadaan telah hijrah.
Namun, kenyataan pahit harus Aisha terima saat usai pengajian seorang wanita dengan bayi berusia satu tahun menghampiri Ikhbar dan memanggil Abi.
Aisha akhirnya kembali ke rumah, tanpa sempat bertemu Ikhbar. Hingga suatu hari dia dijodohkan dengan seorang anak ustad yang bernama Ghibran Naufal Rizal. Apakah Aisha akan menerima perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Bertemu Kembali
Aisha menatap tanpa kedip ke arah ustad yang baru masuk mesjid itu. Pria muda itu tampak tersenyum ramah dengan semua jemaah yang semuanya wanita. Dia langsung duduk di kursi yang telah disediakan.
Pembawa acara lalu memperkenalkan nama ustad muda itu. Aisha kembali merasakan detak jantungnya yang makin berpacu dengan cepatnya. Setelah berbasa basi, pembawa acara mempersilakan sang ustad memberikan tausiah.
"Kepada Ustad Ikhbar Shaqr Akhdan silakan memberikan tausiahnya," ucap pembawa acara.
"Terima kasih. Assalamualaikum, kali ini saya akan memberikan tausiah dengan judul ...," ucap Ikhbar
Ikhbar memberikan tausiah diselingi candaan, membuat ibu-ibu itu tertawa bahagia. Aisha memandang ke depan, bertepatan dengan sang ustad memandang ke arah dirinya.
Pandangan keduanya bertemu. Ikhbar langsung terdiam. Dia tampak menarik napas. Sang ustad mengambil air minum yang tersedia di meja.
"Boleh saya minum," ucap Ikhbar meminta izin. Ibu-ibu langsung menjawab boleh. Cukup lama pria itu terdiam, setelah itu kembali melanjutkan tausiahnya.
Satu jam setengah waktu Ikhbar memberikan ceramah. Akhirnya dia selesai. Setelah pembawa acara menutup wirid, ibu-ibu maju pada ingin meminta foto bersama sang ustad.
Aisha berdiri. Dia masih ragu, menghampiri atau pura-pura tidak melihat. Dia tidak tahu perasaan apa yang ada dihatinya saat ini, bahagia atau marah.
Mungkin bahagia karena akhirnya mereka dipertemukan kembali setelah sama-sama hijrah dan memperbaiki diri ke jalan yang lebih baik. Marah, jika mengingat kejadian masa lalu. Namun, Aisha telah mengikhlaskan semuanya.
Aisha berjalan mendekati ibu-ibu yang berkerumun mengelilingi sang ustad. Saat tinggal beberapa langkah mendekati Ikhbar, dari arah pintu terdengar suara anak kecil memanggil abi.
"Abi ...," panggil bocah cilik nan cantik itu. Dia berada dalam gendongan seorang wanita muda yang juga tidak kalah cantik. Mungkin Aisha dan wanita itu seusia.
Langkah Aisha terhenti karena bocah itu turun dari gendongan sang ibunda, dan berlari menuju Ikhbar. Pria itu tersenyum dan menggendongnya.
Terdengar suara ibu-ibu yang bertanya tentang bocah itu. Dapat Aisha dengar jika pria itu menjawab, itu putrinya.
Aisha lalu melangkah mundur dan berbalik badan. Segera meninggalkan mesjid. Dadanya terasa sangat sesak menahan sebak. Dia melajukan motornya meninggalkan halaman mesjid.
Ikhbar yang telah selesai mencoba mencari keberadaan Aisha. Matanya melihat kesekeliling. Hal itu membuat sang istri jadi keheranan.
"Mas, kamu mencari apa? Ibu-ibu itu sudah pada pulang. Hanya tinggal kita bertiga," ucap Annisa sang istri.
"Aku tadi seperti melihat salah seorang temanku di antara para jemaah, tapi kok dia menghilang?" Ikhbar masih bertanya dalam hatinya.
"Aku pasti tidak salah. Tadi itu Aisha. Walau penampilannya telah berubah, aku tidak akan lupa. Tiga tahun kebersamaan kami, dan itu sangat dekat dan juga intim. Aku pasti tidak akan salah mengenali. Tapi kemana dia? Apa dia masih marah? Atau dia tadi pergi karena melihat Annisa dan putriku?" tanya Ikhbar dalam hatinya.
Aisha berhenti di sebuah danau buatan yang dikelilingi taman. Dia memilih duduk di salah satu bangku.
"Ya Tuhan, mulai hari ini aku ikhlas melepaskannya. Aku lepaskan walau dengan terpaksa. Aku janji akan mengikhlaskannya seluas aku mencintainya. Aku kembalikan lagi seluruh cintaku pada-Mu Tuhan. Sungguh aku percaya sudah kau atur sebaik-baiknya. Aku akan berusaha menghapus namanya dalam hidupku. Aku akan membunuhnya dalam sejarahku. Aku akan menyingkirkan seluruh ketertarikanku tentangnya. Apakah mudah? Pasti tidak. Itu semua tidak mudah, tapi harus aku lakukan demi kesehatan mentalku. Harus aku lakukan demi kedamaian jiwaku. Walaupun itu harus mengerahkan sisa tenaga yang aku punya. Aku tau, aku yakin aku mampu. Dan Tuhan memilih jalan ini untukku lebih bahagia."
Setelah puas menangis Aisha meneruskan perjalanannya. Azan magrib terdengar berkumandang. Perjalanan ke rumah sebentar lagi sampai. Namun, dia membelokan sepeda motornya menuju mesjid terdekat.
Aisha lalu menunaikan solat berjemaah. Setelah menunaikan kewajibannya, gadis itu lalu mengambil Al-Quran dan membacanya. Setelah solat menunaikan solat isya, barulah dia kembali ke rumah.
Aisha yang ingin pulang mengurungkan niatnya. Dia melihat ban motornya kempes. Gadis itu terpaksa mendorong. Baru beberapa langkah, dia dikejutkan dengan kehadiran seseorang.
"Motornya kenapa, Mbak?" tanya seorang pemuda. Dari penampilan sepertinya dia pria yang sangat baik.
"Bannya bocor. Aku mau cari tempat tambal ban," jawab Aisha.
"Tidak ada tambal ban terdekat. Adanya sekitar satu kilometer lagi," ucap Pria itu lagi.
Aisha menghentikan kegiatan mendorong motornya. Dipandanginya pria itu sekilas. Sepertinya sering bertemu.
"Apa kita pernah bertemu?" tanya Aisha akhirnya.
"Iya, kita sering bertemu. Aku jemaah mesjid D tadi. Mbak sering solat di sana 'kan?" tanya sang pria.
"Lumayan sering. Pantas rasa kenal. Oh ya, nama saya Aisha.Mas bisa memanggil nama saja," ucap Aisha.
"Kamu juga bisa panggil nama ku saja. Ghibran," balas pria itu.
Ghibran lalu menawarkan untuk memakai motornya saja. Besok dia yang akan bawa ke tukang tambal ban. Takut ibunya kuatur, Aisha menyetujui saran Ghibran.
"Besok sore aku kembalikan ya, Mas Ghibran. Terima kasih atas bantuannya," ucap Aisha sebelum menjalankan motornya.
Sampai di rumah, ibunya telah terlelap. Aisha langsung masuk ke kamar. Dia memiliki kunci cadangan sehingga setiap pulang tidak perlu membangunkan ibunya.
Setelah mandi dan melaksanakan solat malam, Aisha mencoba membaringkan tubuhnya. Dia kembali teringat Ikhbar. Padahal tadi dia hanya ingin bertemu dan menyapa. Gadis itu juga butuh jawaban atas kisah masa lalunya.
Kembali air mata jatuh membasahi pipi Aisha. Jika orang melihat dia sekarang, pasti mengira gadis itu telah melupakan masa lalunya, tapi ternyata tidak. Dia selalu dibayangi perasaan bersalah atas meninggalnya sang ayah.
Tuhan, aku rindu diriku yang dulu. Yang bisa tertawa lepas. Aku rindu senyumku yang dulu. Bukan seperti sekarang yang pura baik-baik saja. Aku selalu pura baik-baik saja namun kenyataannya tidak seperti itu. Sampai sekarang aku masih sering menangis di malam hari menahan semua beban. Menahan semua rasa sakitku. Aku tetap berusaha untuk menutupi semua kesedihan, kepedihan dan kesedihan ini dengan sangat baik.
Aku menangis, bukan karena aku tak bisa meluapkan emosiku. Akan tetapi aku menangis karena betapa luar biasanya rasa yang aku dapat saat aku berusaha menahan segalanya untuk bersabar dan ikhlas, saat amarahku diatas puncak, kesedihan yang paling sedih adalah kesedihan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata sedikitpun.
...----------------...