"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Nasib Malang di Panggung
Lily berdiri di depan panggung, berhadapan dengan kerumunan yang perlahan mulai berkumpul. Suasana di café menjadi hangat dengan tawa dan canda, namun dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara jari-jarinya. Ketika musik mulai mengalun, dia menutup matanya sejenak dan membayangkan semua hal positif yang bisa terjadi.
Suara alat musik mengisi ruangan, dan dia mulai menyanyikan lagu yang telah dipilihnya. Suaranya mengalun lembut, menggema di antara dinding café yang dihiasi dengan foto-foto artis lokal. Beberapa penonton terlihat terpesona, mengangguk dan menikmati penampilannya.
Namun, ketika Lily mulai memasuki bagian refrein, tiba-tiba ada kejadian yang tak terduga. Dia merasakan getaran aneh di tangan dan bibirnya saat dia mendekatkan mikrofon ke mulutnya. Ternyata, mikrofon yang digunakannya tidak terpasang dengan baik, dan listrik dari perangkat itu mengalir tanpa penghalang.
“Auugh!” teriak Lily, terkejut ketika aliran listrik menyengat bibirnya. Refleks, dia menjauhkan mikrofon dari wajahnya dan terjatuh di panggung.
Kekacauan segera melanda. Penonton terdiam sejenak sebelum ledakan tawa dan suara tanya muncul. “Apa yang terjadi?” bisik Dinda sambil berlari mendekat, terlihat panik.
Lily masih terkejut, merasakan rasa nyeri di bibirnya. “Itu... itu... menyengat!” jawabnya dengan wajah bingung. Dia mengusap bibirnya, memastikan tidak ada luka parah.
Sementara itu, tukang sound yang bertanggung jawab atas peralatan di panggung, terlihat ketakutan dan bergegas untuk memeriksa kabel-kabel. “Maaf! Maaf! Aku lupa grounding!” teriaknya, wajahnya pucat.
Lily merasa malu, wajahnya memerah. Dia melihat ke arah penonton, beberapa di antaranya masih terpingkal-pingkal, sementara yang lain tampak khawatir. “Kamu baik-baik saja?” tanya Dinda, tidak bisa menahan tawa.
“Ya, ya. Aku baik-baik saja,” jawab Lily, meski suaranya bergetar. Dia mengumpulkan keberaniannya dan berdiri kembali, meski sedikit goyah. “Cuma... sedikit kejutan,” ujarnya sambil tersenyum canggung.
Penonton mulai bersorak, memberi semangat padanya. “Ayo, Lily! Kita cinta kamu!” teriak seseorang dari kerumunan, membuat Lily merasa sedikit lebih baik.
Dia mengambil napas dalam-dalam dan berkata, “Oke, saya akan coba lagi. Semoga kali ini tanpa kejutan!”
Dengan semangat yang kembali pulih, Lily mencoba lagi, mengatur mikrofon dengan hati-hati, memastikan semua berfungsi dengan baik. Musik mulai mengalun kembali, dan dia melanjutkan nyanyiannya. Meski ada rasa canggung, dia mencoba mengabaikan insiden tersebut.
Suara Lily mengalun merdu, dan seiring berjalannya waktu, penonton mulai menikmati penampilannya. Dia bahkan berhasil membuat beberapa orang bernyanyi bersamanya. Kejadian tadi malam yang membuatnya terjatuh perlahan-lahan terlupakan.
Namun, di dalam hatinya, insiden itu tetap meninggalkan jejak. “Ini adalah tanda, mungkin aku harus lebih berhati-hati,” pikirnya. Setelah selesai, penonton bertepuk tangan meriah, dan dia merasa bangga bisa melewati momen tersebut meski dalam situasi yang tidak terduga.
Setelah selesai tampil, Dinda berlari menghampiri Lily, “Kamu hebat! Meski nyetrum, kamu tetap berani melanjutkan! Ini baru namanya semangat!”
“Terima kasih, Dinda. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa dukunganmu,” jawab Lily, senyum lebar menghiasi wajahnya. Dia merasa terhubung kembali dengan teman baiknya, yang selalu ada untuknya.
“Mau pergi ke bar setelah ini? Kita rayakan penampilanmu!” Dinda menawarkan.
“Hmm, mungkin. Tapi aku harus memikirkan tentang uang,” Lily menjawab, sedikit ragu.
“Ah, itu tidak masalah. Kita bisa pergi, dan aku yang traktir! Kapan lagi kita bisa bersenang-senang seperti ini?” Dinda membujuk.
Lily akhirnya setuju, merasa bahwa malam ini adalah kesempatan untuk melupakan beban hidup sejenak.
“Baiklah, mari kita pergi! Tapi setelah itu, aku mau mencari cara untuk mengumpulkan uang lagi,” katanya, berusaha berpikir positif.
Saat mereka meninggalkan café, Lily menyadari bahwa meskipun hidupnya penuh dengan kejadian tak terduga, dukungan dari sahabat dan keberanian untuk menghadapi masalah adalah kunci untuk melangkah maju. Malam ini, dia tidak hanya menyanyikan lagu, tetapi juga menemukan kembali jati dirinya.
Setelah memutuskan untuk pergi ke bar, Lily dan Dinda melangkah dengan penuh semangat. Suasana bar itu bising, dengan musik yang mengguncang dan cahaya lampu berwarna-warni berputar-putar, menciptakan atmosfer yang menggoda untuk berpesta. Mereka berdua langsung menuju meja, memesan minuman dan mulai menikmati malam.
Lily, yang sudah sedikit mabuk, merasa lebih berani. “Ayo, kita goyang pargoy!” teriaknya dengan ceria, mengangkat tangannya dan mulai bergerak mengikuti irama lagu. Gerakannya penuh energi, dan dia berhasil menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka.
Dinda tidak mau kalah. “Aku goyang itik!” katanya sambil menggerakkan tubuhnya dengan gerakan lucu, seakan-akan mengadopsi gaya itik. Beberapa pengunjung bar tertawa melihat tingkah mereka, dan suasana semakin ramai dengan gelak tawa.
“Lihat! Kita bisa jadi bintang malam ini!” Lily bersorak, sambil terus menari dengan semangat. Mereka berdua melanjutkan menari, mengabaikan semua orang di sekitarnya. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi mereka selain menikmati kebebasan malam ini.
Setelah beberapa lagu, mereka mengambil jeda untuk minum. “Ayo, kita toast!” Dinda mengangkat gelasnya. “Untuk persahabatan dan malam yang menyenangkan!”
“Untuk kita!” jawab Lily sambil mengangkat gelasnya juga. Mereka saling meneguk minuman, merasakan campuran rasa manis dan pahit yang mengalir ke tenggorokan. Semakin lama, mereka semakin mabuk, dan tawa mereka semakin keras.
Tiba-tiba, saat mereka beristirahat sejenak, Dinda mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. “Eh, Lily. Aku juga seorang tlembuk, lho!” katanya sambil tersenyum nakal.
Lily menatap Dinda dengan mata lebar. “Serius? Kenapa kamu tidak bilang dari dulu?”
Dinda tertawa. “Ya, aku kan malu. Tapi aku juga ingin merasakan kesenangan dan kebebasan, sama seperti kamu.”
Lily terkesima. “Wow, kita sama! Tapi, aku tidak tahu kalau kamu juga begitu. Kenapa kamu memilih jalan ini?”
Dinda menghela napas, terlihat sedikit serius meski dalam suasana mabuk. “Kadang, hidup membawa kita ke tempat yang tidak kita duga. Aku ingin merasakan hidup, dan ini cara yang ku pilih.”
Lily mengangguk. “Kita sama, Dinda. Kita punya mimpi, dan kita berjuang untuk itu dengan cara kita masing-masing.”
Dinda mengangkat gelasnya lagi. “Nah, maka dari itu, mari kita nikmati malam ini. Kita satu tim, dan kita tidak sendiri!”
Mereka kembali menari dengan penuh semangat, melupakan semua hal yang membebani pikiran mereka. Lily dan Dinda semakin larut dalam musik dan suasana bar, merasa seperti bintang yang bersinar di tengah keramaian.
Sebagai malam berlanjut, mereka bertemu dengan beberapa orang lain yang ikut bergabung dalam pesta. Tak lama kemudian, suasana semakin ramai, dan gelak tawa serta suara musik mengisi setiap sudut bar.
“Ini baru namanya pesta!” teriak Lily, mencoba mengabaikan rasa mabuk yang mulai menyerang. Mereka bersenang-senang, menggoyangkan tubuh, dan berbagi cerita.
Lily dan Dinda saling menatap, merasakan ikatan yang semakin kuat. “Kita tidak sendiri, ya?” tanya Lily.
“Betul! Kita ada di sini untuk saling mendukung!” jawab Dinda dengan semangat.
Saat malam semakin larut, Lily merasa bahwa dunia ini terasa lebih cerah. Mereka bukan hanya teman, tetapi juga saudara dalam perjalanan hidup yang penuh warna. Dan meskipun hidup mereka tidak sempurna, malam ini adalah pelarian yang sempurna.