Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Permainan Tikus Dan Kucing
Minggu demi minggu berlalu, dan Ziad mulai menyadari sesuatu yang mengusiknya—tidak peduli bagaimana dia mencoba, Alessia tetap tak tersentuh. Gadis itu seperti benteng tanpa celah, tembok baja tanpa retakan. Jika biasanya seseorang setidaknya akan menunjukkan sedikit respons ketika didekati secara terus-menerus, Alessia justru tetap dingin, seakan kehadiran Ziad tidak lebih dari sekadar gangguan kecil dalam rutinitasnya.
Ziad bukan orang yang mudah menyerah. Jika mendekatinya langsung tidak berhasil, maka dia harus mencari jalan lain.
Ziad memutuskan untuk menyelidiki siapa saja yang pernah dekat dengan Alessia. Jika dia tidak bisa menembus pertahanannya secara langsung, mungkin ada seseorang dari masa lalunya yang bisa memberikan sedikit informasi.
Dia mulai dari kampus. Dengan akses yang dimilikinya sebagai "Dr. Moreau," dia menyelinap ke dalam sistem administrasi universitas, mencari catatan tentang siapa saja yang pernah menjadi teman sekamar Alessia, siapa yang pernah mengambil kelas yang sama dengannya, atau bahkan siapa pun yang pernah berinteraksi lebih dari sekadar sapaan singkat.
Hasilnya mengejutkan.
Tidak ada.
Alessia tidak pernah memiliki teman sekamar sejak awal, dia memilih tinggal sendiri di apartemen kecil yang jauh dari kampus. Di setiap kelas yang dia ambil, tidak ada catatan interaksi signifikan dengan mahasiswa lain. Dia tidak pernah bergabung dalam kelompok belajar, tidak pernah menghadiri acara sosial, tidak pernah terlihat makan siang bersama siapa pun di kantin.
Seolah-olah dia adalah bayangan yang hanya muncul di kelas dan menghilang begitu saja setelahnya.
Ziad tidak menyerah. Dia mulai bertanya pada beberapa mahasiswa, memilih mereka yang sering berbagi kelas dengan Alessia.
"Alessia Moretti?" seorang mahasiswa laki-laki mengernyitkan dahi ketika ditanya. "Dia anak kutu buku yang selalu duduk di belakang, kan? Aku nggak pernah dengar dia ngomong, sih."
"Dia aneh," seorang gadis menambahkan. "Dia selalu sendirian. Bahkan kalau dosen bagi kelompok kerja, dia lebih pilih kerja sendiri daripada berpasangan."
Ziad terus bertanya, tapi jawaban yang dia dapat selalu sama—Alessia bukan siapa-siapa. Dia hanya bayangan di antara ratusan mahasiswa lain.
Mungkinkah Alessia sengaja menjalani kehidupan seperti ini?
Jawaban itu semakin kuat ketika Ziad mencoba menyelidiki kehidupan Alessia di luar kampus. Apartemennya kecil dan sederhana, tanpa tanda-tanda kehidupan sosial. Tidak ada foto keluarga, tidak ada barang pribadi yang menunjukkan keterikatan emosional dengan siapa pun. Tetangganya pun hampir tidak mengenalnya.
"Ah, gadis itu?" seorang wanita tua yang tinggal di lantai bawah apartemen Alessia menggeleng. "Dia jarang bicara. Setiap hari berangkat pagi, pulang malam. Saya rasa dia bukan tipe yang suka bergaul."
Frustrasi mulai merayapi Ziad. Tidak ada celah, tidak ada informasi yang bisa dia manfaatkan. Alessia bukan hanya tertutup—dia telah menghapus jejaknya dari dunia ini.
Hari-hari berlalu, dan Alessia mulai menyadari satu hal yang membuatnya tidak nyaman—perhatian Ziad tidak berkurang sedikit pun.
Bukan perhatian dalam bentuk yang mencolok atau mengganggu, tetapi ada di mana-mana.
Ketika dia berjalan ke kelas, dia bisa merasakan tatapan Ziad mengamatinya. Ketika dia duduk di pojok ruangan, dia tahu bahwa Ziad memperhatikannya lebih sering daripada mahasiswa lain. Bahkan ketika dia pergi setelah kelas selesai, dia bisa merasakan keberadaan Ziad di sekitarnya.
Bukan dalam cara yang menyeramkan atau mengancam, tetapi cukup untuk membuatnya risih.
Alessia bukan orang bodoh. Dia tahu ada sesuatu yang tidak biasa tentang "Dr. Moreau." Dosen baru itu terlalu ingin tahu, terlalu sering mengamati, terlalu banyak mencoba mendekatinya.
Namun, dia juga tahu satu hal: semakin seseorang berusaha menembus pertahanannya, semakin kuat dinding yang akan dia bangun.
Ziad sepertinya menyadari hal itu, tetapi alih-alih menyerah, dia justru semakin gigih.
Namun, yang membuat Alessia semakin frustrasi adalah bahwa Ziad tidak mencoba dengan cara yang agresif atau berlebihan. Tidak ada paksaan, tidak ada interogasi langsung. Hanya kehadiran yang tak tergoyahkan—seperti bayangan yang terus mengikuti, meskipun dia berpura-pura tidak melihatnya.
Pada akhirnya, Alessia mencapai titik di mana dia merasa tidak ada gunanya lagi mencoba mengabaikan Ziad.
Dia tidak menolak, tetapi juga tidak memberi celah.
Ketika Ziad berbicara dengannya setelah kelas, dia tidak langsung pergi seperti sebelumnya, tetapi juga tidak menunjukkan ketertarikan untuk berbincang lebih lama.
Ketika Ziad menanyakan pendapatnya dalam diskusi, dia menjawab tanpa emosi, tetapi juga tidak berusaha menghindar.
Ketika Ziad berdiri di sampingnya saat mereka keluar dari aula, dia tidak mempercepat langkahnya, tetapi juga tidak memulai percakapan.
Itu adalah bentuk perlawanan Alessia—bukan dengan menutup diri sepenuhnya, tetapi dengan membiarkan kehadiran Ziad tanpa benar-benar menerimanya.
Dan bagi Ziad, itu adalah kemajuan kecil.
Dia tahu bahwa Alessia tidak akan tiba-tiba membuka diri. Tidak ada kata ajaib yang bisa membuat gadis itu tiba-tiba memercayainya. Tapi jika Alessia tidak lagi mencoba melarikan diri darinya, itu berarti ada sesuatu yang berubah.
Sekecil apa pun perubahan itu, Ziad akan menggunakannya. Dia hanya perlu menunggu.
Ini akan menjadi bab yang menarik! Alessia yang biasanya menjadi pemburu kini berbalik menjadi pencari informasi. Akan menarik untuk menggambarkan bagaimana dia menggunakan koneksi dan sumber daya mafianya untuk menyelidiki Ziad, sementara Ziad harus bermain cerdas untuk menutupi identitas aslinya.
Saya akan mulai menulis Bab 5 dengan fokus pada ketegangan psikologis antara keduanya dan bagaimana Alessia akhirnya mendapatkan sebagian dari identitas Ziad, tapi tidak yang sebenarnya.
.
.
.
Alessia bukan orang yang mudah percaya. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang janggal tentang "Dr. Moreau." Dosen baru itu terlalu ingin tahu, terlalu tajam, dan yang paling mencurigakan—terlalu fokus padanya.
Orang biasa mungkin tidak akan menyadari, tetapi Alessia bukan orang biasa. Dia sudah terlalu sering hidup dalam permainan tipu daya, di mana kepercayaan adalah mata uang yang langka dan kebohongan adalah bahasa yang digunakan sehari-hari.
Awalnya, dia mencoba mengabaikan kecurigaannya. Namun, semakin lama, semakin jelas bahwa Ziad bukan hanya sekadar akademisi yang antusias.
Dia selalu ada.
Tidak berlebihan, tidak mencolok, tetapi cukup konsisten untuk membuatnya merasa diawasi.
Dan bagi seseorang seperti Alessia, itu adalah tanda bahaya.
Sebagai Ratu Mafia, Alessia memiliki akses ke sumber daya yang tak dimiliki kebanyakan orang. Dengan satu panggilan telepon, dia bisa mendapatkan latar belakang siapa pun, bahkan pejabat tinggi sekalipun.
Namun, ketika dia mencoba mencari informasi tentang Dr. Moreau, hasilnya membuat alisnya berkerut.
Pria itu ada, tetapi datanya terlalu bersih.
Terlalu sempurna.
Pendidikan luar biasa, riwayat akademis cemerlang, referensi kuat dari universitas ternama—semuanya tampak sangat normal.
Dan itu justru masalahnya.
Orang yang benar-benar hidup akan selalu memiliki ketidaksempurnaan dalam catatan mereka. Sejarah akademis yang mungkin sedikit berantakan, riwayat pekerjaan yang memiliki celah, jejak digital yang meninggalkan sedikit kebocoran.
Tapi Dr. Moreau?
Dia seperti seseorang yang baru saja diciptakan dalam lima tahun terakhir.
Alessia merasakan ada sesuatu yang salah.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk menggali lebih dalam. Jika Ziad memiliki kehidupan sebelum lima tahun terakhir, pasti ada jejak yang bisa ditemukan.
Namun, setelah beberapa hari, laporan yang datang kepadanya selalu sama—tidak ada yang bisa ditemukan sebelum lima tahun lalu.
Seolah-olah Ziad Moreau tidak pernah ada sebelum itu.
Dan itu hanya membuat Alessia semakin curiga.
Pada akhirnya, Alessia memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan langsung menghadapinya.
Suatu sore, setelah kelas selesai dan mahasiswa lain mulai keluar dari ruangan, Alessia tetap duduk di tempatnya.
Ziad, yang sudah terbiasa dengan kebiasaan Alessia yang selalu pergi lebih dulu, mengangkat alisnya sedikit.
"Kali ini kau tidak terburu-buru pergi, Nona Moretti?" tanyanya santai.
Alessia menutup bukunya perlahan, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Ada sesuatu yang menggangguku, Profesor," katanya tenang.
Ziad bersandar di mejanya, menatap balik Alessia dengan penuh minat. "Oh? Dan apakah itu?"
Alessia mengamati wajahnya sejenak sebelum berbicara. "Aku mencoba mencari informasi tentangmu."
Ziad tidak menunjukkan reaksi apa pun, tetapi dalam pikirannya, dia langsung waspada.
Alessia melanjutkan, "Tapi anehnya, sebelum lima tahun terakhir, kau seperti tidak pernah ada."
Ruangan menjadi sunyi.
Ziad tetap mempertahankan ekspresi netralnya, tetapi di dalam pikirannya, dia mulai menghitung langkah selanjutnya.
Dia sudah menduga ini akan terjadi. Cepat atau lambat, Alessia pasti akan mencoba menggali tentangnya. Dan dia sudah mempersiapkan skenario untuk menghadapi situasi seperti ini.
"Apa maksudmu?" tanyanya, pura-pura bingung.
Alessia menyilangkan tangan. "Kau terlalu bersih. Riwayatmu terlalu sempurna. Bahkan orang terpintar sekalipun pasti memiliki jejak masa lalu yang tidak sempurna."
Ziad tersenyum kecil. "Mungkin aku hanya orang yang sangat berhati-hati dengan data pribadiku."
Alessia tidak tersenyum. "Atau mungkin kau bukan siapa yang kau klaim."
Ziad bisa merasakan intensitas di balik tatapan Alessia. Gadis ini tidak sedang bercanda.
"Apa yang sebenarnya kau cari, Alessia?" tanyanya akhirnya.
"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya."
Ziad menghela napas, lalu menatapnya dengan lebih serius.
"Apa yang akan kau lakukan jika aku bukan seperti yang kau pikirkan?"
Alessia menatapnya tajam. "Itu tergantung siapa kau sebenarnya."
Ziad berpikir sejenak, lalu akhirnya mengambil keputusan. Dia tidak bisa membiarkan Alessia menemukan identitasnya sebagai mata-mata, tetapi dia juga tahu bahwa menutupi semuanya hanya akan membuat gadis itu semakin curiga.
Jadi, dia memilih sesuatu di antara keduanya.
"Aku bukan hanya seorang akademisi," katanya akhirnya.
Alessia menajamkan pandangannya. "Lalu siapa kau?"
Ziad tersenyum samar. "Katakan saja… aku seseorang yang memiliki lebih banyak pengalaman di lapangan daripada di dalam kelas."
Alessia mengamati ekspresinya, mencoba mencari kebohongan.
"Apa kau bagian dari mereka?" tanyanya tajam, merujuk pada organisasi yang menjadi musuhnya.
Ziad menggeleng. "Tidak. Aku bukan musuhmu, Alessia."
Alessia tidak langsung percaya, tetapi dia juga tahu bahwa Ziad bukan orang sembarangan.
Akhirnya, setelah beberapa saat, dia berdiri dan merapikan bukunya.
"Kali ini aku akan membiarkanmu pergi," katanya pelan. "Tapi aku akan mengawasi."
Ziad tersenyum kecil. "Dan aku juga."
Alessia menatapnya sejenak sebelum akhirnya pergi.
Ketika pintu tertutup di belakangnya, Ziad menghela napas panjang.
Dia berhasil menghindari bahaya kali ini. Tapi dia tahu—permainan antara mereka baru saja dimulai.