Kisah tentang seorang gadis yang cantik dan lembut, ia harus menjalani hari-harinya yang berat setelah kepergian kakak perempuannya. Anak-anak yang harus melakukan sesuai kehendak Ibunya. Menjadikan mereka seperti apa yang mereka mau. Lalu, setelah semuanya terjadi ibunya hanya bisa menyalahkan orang lain atas apa yang telah dilakukannya. Akibatnya, anak bungsunya yang harus menanggung semua beban itu selama bertahun-tahun. Anak perempuan yang kuat bernama Aluna Madison harus memikul beban itu sendirian setelah kepergian sang kakak. Ia tinggal bersama sang Ayah karena Ibu dan Ayahnya telah bercerai. Ayahnya yang sangat kontras dengan sang ibu, benar-benar merawat Aluna dengan sangat baik. **** Lalu, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang selalu menolongnya disaat ia mengalami hal sulit. Laki-laki yang tak sengaja ia temui di gerbong Karnival. Lalu menjadi saksi perjalanan hidup Aluna menuju kebahagian. Siapa kah dia? apakah hanya kebetulan setelah mereka saling bertemu seperti takdir. Akankah kebahagian Aluna telah datang setelah mengalami masa sulit sejak umur 9 tahun? Lika liku perjalanan mereka juga panjang, mereka juga harus melewati masa yang sulit. Tapi apakah mereka bisa melewati masa sulit itu bersama-sama? *TRIGGER WARNING* CERITA INI MENGANDUNG HAL YANG SENSITIF, SEPERTI BUNUH DIRI DAN BULLYING. PEMBACA DIHARAPKAN DAPAT LEBIH BIJAK DALAM MEMBACA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugardust, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deep, dark and fear
Ada sebuah jembatan di pinggir kota, aku selalu datang untuk memperingati hari dimana kakak perempuanku meninggal tepat pada delapan tahun yang lalu, kala itu dia masih duduk di kelas satu SMP. Aku sangat sedih melihat kakakku yang sangat tertekan setiap harinya karena ibuku hanya menyuruh kakakku untuk belajar dan tak boleh bermain bersama teman-temannya, ketika waktunya pulang sekolah dia harus pulang, jika telat maka ibu akan menghukumnya. Kakak harus berdiri mengangkat kedua tangannya ke atas, atau menyikat kamar mandi. Kakak selalu menangis di kamar seharian di malam hari dan dan bahkan di hari libur. Ibu sangat menuntutnya untuk menjadi apa yang ibu mau tanpa memikirkan perasaan anaknya sendiri.
Kala itu, aku masih sangat kecil, jadi aku tak begitu mengerti. Kakakku sangat sayang padaku dia hanya bisa bermain denganku saja, padahal aku tahu jika kakak ingin sekali bermain di luar bersama dengan teman-temannya. Kakak berada seperti dalam penjara anak setiap harinya. Terkadang, saat ibu pergi kerja keluar kota, ayah mencuri kesempatan dan membawa kakakku dan aku pergi ke Karnival. Kami hanya pergi beberapa kali ketika Ibu tak berada di rumah. Kakakku terlihat begitu senang dan dia selalu tersenyum lebar saat berada di Karnival, dia selalu mengajakku bermain Gokart, dia menaiki Gokart sendirian dan aku bersama ayah. Kami balapan bersama, dan berusaha menabrakkan satu sama lain. Tampaknya dia sangat senang sekali terlihat dari raut wajahnya.
" Ayah ini sungguh menyenangkan, terima kasih, aku sangat senang!" ucap kakak dengan tersenyum lebar.
Hari itu kakak begitu bahagia sekali, berkali-kali dia mengucapkan terima kasih kepada ayah. Tapi, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Kami pulang ke rumah dan kami melihat bahwa sepatu ibu sudah ada di dalam rumah. Ayahku menyuruh kami masuk ke dalam kamar dan dia menemui Ibuku yang duduk di ruang tamu. Ibuku terlihat begitu marah, dengan tatapan yang penuh dengan amarah dan emosi. Kami tak menyangka Ibu pulang lebih cepat dari pada waktu yang ditentukan. Aku sangat takut.
" Kau dasar brengsek!! kemana kalian pergi saat aku tak di rumah?" ibu menyalak seperti iblis.
" Aku hanya membawa anak-anak pergi makan di luar"
" Ini apa sialan?!! Kau ajak anak-anak pergi ke Karnival?" Ibu menunjukkan dan melempar kertas dari tangannya.
Sepertinya ibu menemukan tiket Karnival di kamar kami setelah mengacak-acak kamar kami. Sebab, kakak selalu menyimpan tiket dan gelang tanda pengunjung dan menyelipkannya di tengah-tengah buku setiap pulang dari Karnival, dia mengatakan bahwa itu akan menjadi kenangan yang sangat menyenangkan baginya. Entah bagaiman ibu bisa menemukannya.
" Kau sungguh tak punya hati, bagaimana bisa kau mengurung anak-anakmu di rumah hanya karena keegoisanmu!!"
" Kau yang terlalu memanjakannya, mereka jadi bodoh jika hanya terus bermain"
" Aku hanya menjadi ayah yang baik bagi mereka"
" Aku tak mau mereka jadi sepertimu, bahkan gajimu lebih kecil dari padaku"
" Kenapa kau membahas itu? kenapa kau dulu menerimaku kalau kau tak terima gajiku lebih kecil dari padamu"
" Karena kau terlihat kasihan dan terus saja mengejarku"
" Kau benar-benar tak punya hati, mari kita bercerai saja"
" Oke, lagian kau sangat tidak berguna, lelaki sampah"
“ Jaga ucapanmu wanita sialan!!” aku mendengar pintu yang dibanting dengan sangat keras.
Aku melihat kakakku menangis di kamar, dia memelukku dengan erat sambil menutup telingaku. Aku tak bisa mendengar apapun lagi karena kakakku melindungiku dengan kedua tangannya. Dia terus mengatakan ini salahku, ini salahku, ini salahku.
Setelah malam itu, ayah pergi keluar rumah dengan membawa koper yang besar. Ayah izin pada kami pergi dinas kerja di luar kota untuk sementara waktu, tapi ayah tak pernah kembali ke rumah sejak saat itu dan ibu selalu pulang malam hari.
Seminggu setelah kejadian itu, ibu selalu membentak kami dan mengatakan kami anak yang tidak berbakti kepada ibu. Ibu semakin melarang kami untuk pergi keluar rumah, hanya boleh saat jam sekolah dan les saja. Bahkan untuk membeli peralatan atau makanan saja tidak boleh. Setelah pulang sekolah, kami pergi les dan setelah les kami harus bergegas pulang karena setiap satu jam ibu akan menelepon ke rumah, memastikan apa kami benar-benar ada di rumah.
Kalau tidak, ibu akan sangat marah. Ibu tidak menerima satu pun alasan keterlambatan kami. Ayah kadang mencuri-curi waktu kedatangannya untuk memberikan kami uang saku dan makanan yang enak. Aku sangat rindu pada ayah, setiap kali ayah datang aku akan menangis kencang, aku merengek dan meminta untuk tinggal bersama ayah saja.
“ Ayah! aku ingin ikut dengan ayah, tidak mau dengan ibu huaaa”
Ayah hanya terus berjanji padaku, bahwa nanti dia akan membawa kami pergi dari sini. Tapi, itu tak pernah terlaksana. Seingatku, beberapa bulan kemudian, suatu hari kakak mengajakku dan membawaku pergi diam-diam.
" Kak kita mau kemana? nanti ibu marah" tanyaku dengan ragu.
" Ikut dengan kakak saja, kakak akan melindungimu" seakan dia sangat meyakinkanku.
Aku menurutinya dan pergi bersamanya, kami berjalan cukup jauh, ternyata dia membawaku ke Karnival untuk bermain permainan di sana.
Kakak membeli tiket untuk kami berdua dengan mengumpulkan uang saku yang telah diberikan oleh ayah.
" Maaf tapi apa kamu hanya berdua dengan adikmu? anak dibawah umur lima belas tahun tidak boleh masuk jika tanpa wali" ucap seorang petugas penjaga tiket.
" Oh ayahku sudah menunggu di dalam, kami di antar ibu kami kesini, itu ibuku disana" dia hanya menunjuk asal ke arah ibu-ibu lain.
" Baik lah, segera temui ayahmu di dalam"
Aku tak paham kenapa kakakku harus berbohong, aku hanya mengikutinya saja, kakak menggandeng erat tanganku.
Kami menaiki setiap wahana yang sering kami naiki bersama ayah dan terakhir kami akan bermain Gokart kesukaan kakak dan membeli Hotdog untuk kami nikmati. Kakak juga membelikanku permen kapas berbentuk karakter. Karena kakakku sangat suka sekali makan Hotdog dan permen kapas saat di Karnival. Lagi-lagi dia menunjukkan wajah yang terlihat sangat bahagia.
Setelah selesai bermain, kami harus terus berjalan sangat jauh lagi. Kakak terus menggenggam tanganku dengan erat. Aku bertanya-tanya kemana dia akan membawa ku pergi, aku bahkan tak mengingat jalan pulang.
" Kak aku capek" keluhku dengan nada yang kelelahan.
" Sini kakak gendong"
Kemudian aku naik ke punggung kakakku.
Dia menggendongku sepanjang jalan dengan berjalan sedikit tertatih karena menahan beban di punggungnya. Lalu, kami berhenti di sebuah jembatan. Dia menurunkanku dan menggenggam tanganku dengan erat kembali.
" Kak, kenapa kita kesini?"
" Aluna, ibu dan ayah selalu bertengkar dan bercerai karena kakak, ini semua salah kakak"
" Lalu kakak ingin apa?"
" Ayo kita pergi bersama, kakak tak mau kau menderita sendirian karena kakak tak bisa melindungimu"
" Kakak mau apa? ayo kita pulang" aku menarik tangan kakakku, tangan kecilku berusaha menarik tubuh orang yang lebih besar.
" Tidak, ayo kita melompat saja"
" Aluna tidak mau kak! jangan begini, aku sangat takut!” aku menangis, tapi sedikitpun kendaraan yang lalu lalang mencoba memberhentikan laju kendaraannya.
Kakakku terus menggenggam tanganku dengan erat, aku kesakitan dan dia berusaha untuk melompat dari jembatan, aku memegang tonggak besi yang ada di jembatan sambil menangis kencang dan berteriak meminta tolong. Kakakku dengan perlahan melepas genggaman tanganku dan dia tersenyum melihatku sambil berkata “ Jaga dirimu baik-baik ya, Adikku”. Aku terus menangis dan berusaha meminta tolong kepada orang-orang yang sedang berkendara.
" Tolong, tolong, tolong, kakakku jatuh!!! tolong selamatkan dia ku mohon tolong!!"
Orang-orang kemudian berdatangan, lalu memanggil polisi dan berusaha menenangkanku. Polisi pun datang dan mengirim timsar untuk mencari kakakku. Lalu, aku di bawa ke kantor polisi.
" Adik, dimana orang tuamu?"
" Kerja"
" Kemana tujuan kalian hari ini?"
" Kami hanya pergi ke Karnival lalu kakakku menggendongku hingga ke jembatan"
" Nama ayahmu siapa?"
" Tom Madison"
" Ibumu?"
" Angela Cornelia”
“ Kakakku bagaimana? apa dia selamat?" tanyaku dengan cemas, seluruh tubuhku bergetar. Aku takut, sangat takut. Tapi aku lebih takut lagi jika bertemu dengan ibu.
" Aku akan menghubungi orang tua mu dahulu"
Setelah sekitar tiga puluh menit kemudian, ayah dan ibu tiba di kantor polisi, mereka terlihat menangis sambil menyebut-nyebut nama kakak.
" Arami, dimana Arami ku" ibu memanggil-manggil nama kakak berulang-ulang.
Ibu mendatangiku dan menuduhku bahwa aku lah yang telah mendorong kakak.
" Kau, pasti kau kan yang mendorong Arami, dasar anak kecil gila, pak polisi pasti dia yang mendorong kakaknya, Arami tak mungkin melakukan itu sendirian"
" Kau gila ya mana mungkin anak sekecil mendorong kakaknya sendiri!" ayah membelaku dan memelukku.
Aku begitu takut pada ibu entah apa yang akan dia lakukan padaku di rumah nanti. Aku menangis ketakutan di pelukan ayah.
Ibu dan ayah pergi ke rumah sakit, polisi di tempat kejadian mengabarkan bahwa jasad kakak telah ditemukan mengapung di tengah laut dan akan dibawa ke rumah sakit dahulu, selanjutnya akan dibawa ke pemakaman untuk di makamkan.
Keesokan harinya, di pemakaman ayah terlihat menundukkan kepalanya sambil terus menangis, dan ibu terus berteriak dan menyalahkanku dan mengatakan aku membunuh kakakku. Sebagian pelayat melihat ke arahku dengan tatapan sinis, sebagian lagi memberikan semangat padaku.
" Kembalikan Arami ku, kembalikan, anakku yang malang. Kau dasar anak tak berguna teganya kau" ibu mengguncang-guncang tubuhku, aku begitu takut namun ayah terlihat hanya terdiam dan termenung saja.
Aku hanya bisa menangis, bukan aku yang melakukannya. Padahal kakak melakukan itu karena ibu sendiri yang memperlakukannya buruk.
Setelah pemakaman kakak, tingkah ibu semakin aneh dan parah. Di rumah, ibu selalu meneriaki ku dengan kata pembunuh, anak sialan, anak tak berguna, aku menyesal telah melahirkan seorang pembunuh. Setiap hari dia hanya mengatakan hal semacam itu padaku, dia hanya mabuk dan jarang pergi kerja dan ibu selalu memukuli ku. Sesekali ayah mengunjungiku dan melihat bagaimana aku diperlakukan. Sehingga membuat ayah khawatir dan datang kembali untuk membawaku keluar dari rumah itu dan ikut tinggal bersama ayah.
Seminggu setelah kakakku meninggal, aku kembali ke sekolah. Aku mendengar mereka berbisik-bisik dan mengatakan bahwa aku adalah pembunuh.
" Hei kata ibuku dia membunuh kakaknya, dia sengaja mendorong kakaknya dari jembatan"
" Itu tidak benar!" ucapku dengan lantang.
" Ih aku takut ayo kita pergi ada pembunuh di sekolah kita"
Mereka semua memindahkan bangku dan mejaku di sudut paling belakang, ada coretan coretan yang memenuhi mejaku.
“Pembunuh! Dasar pembunuh! Aluna si pembunuh! dasar monster!” itulah yang tertulis di mejaku.
Kala itu aku masih kelas tiga SD, aku dikucilkan dan dicap pembunuh oleh orang-orang. Bahkan temanku sendiri pun menjauhiku.
" Emely, kau mau makan denganku?"
" Pergi sana pembunuh, aku tak menyangka aku berteman dengan seorang pembunuh" Emely mendorongku hingga aku jatuh ke lantai dan kotak makanku berserakan. Teman-teman sekelasku menertawakanku. Aku melihat dan mendengar tawaan mereka seperti melihat sesuatu yang memang pantas untuk ditertawakan.
Saat SMP pun aku masih terus dikucilkan, ada anak-anak yang satu sekolah denganku saat SD lalu saat di SMP pun mereka menyebarkan rumor itu kembali.
" Hei waktu SD ku dengar dia membunuh kakaknya"
" Wah gila yang benar?"
" Iya dia mendorong kakaknya dari jembatan"
" Sungguh mengerikan, jangan dekat-dekat dengannya nanti kau akan di dorong dari jendela hih"
Setiap hari aku kenyang dengan semua ejekan dan bullyan dari mereka. Aku hanya menganggap mereka tong kosong yang tidak tahu apa-apa. Aku hanya akan terus menjalani hidupku seperti biasa saja tanpa memerdulikan hinaan mereka. Ah, kenapa dunia sungguh terasa begitu tak adil bagiku, kenapa aku yang harus disalahkan.