NovelToon NovelToon
Aletha Rachela

Aletha Rachela

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Delima putri

Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

prolog.

Hujan deras mengguyur tanpa henti malam itu, menciptakan simfoni air yang menghantam atap, dedaunan, dan jalanan. Langit hitam diselimuti awan gelap, sesekali diterangi kilatan petir yang menggelegar, membelah keheningan malam. Di tengah badai, mansion keluarga Adijaya berdiri megah di atas bukit, lampu-lampu temaram dari jendela besar menciptakan bayangan hangat di tengah dinginnya malam. Diana Adijaya, pemilik mansion itu, merasa gelisah malam ini. Ia tidak tahu apa yang mengganggunya, tetapi hatinya terasa tidak tenang.

Sebagai wanita dengan segala yang bisa ia minta dalam hidup—kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan—Diana jarang merasakan kegelisahan yang tak beralasan. Biasanya, ia dapat mengendalikan segala sesuatu di sekitarnya, tetapi malam ini ia merasa ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang memanggilnya keluar dari kenyamanan mansion. Dengan mantel tebal dan sepatu boots, Diana memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar halamannya. Udara dingin menusuk kulit, namun ia tidak memedulikannya. Langkahnya mantap, membelah jalan setapak berbatu yang mengelilingi taman luas di depan mansionnya.

Ketika ia mendekati gerbang depan, pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya berhenti. Di halte kecil tak jauh dari gerbang mansion, Diana melihat sosok kecil yang duduk sendirian. Anak perempuan, kira-kira berusia sembilan atau sepuluh tahun, meringkuk sambil memeluk lututnya. Rambut hitamnya basah kuyup, menutupi sebagian wajahnya, tetapi bahunya yang berguncang menunjukkan bahwa ia sedang menangis.

Diana mengerutkan kening. Hatinya tersentuh oleh pemandangan itu. Apa yang dilakukan anak kecil sendirian di tengah hujan deras seperti ini? Dengan langkah cepat, ia mendekati halte tersebut, sepatu boots-nya menginjak genangan air yang menciptakan bunyi cipratan lembut.

“Dek, kamu kenapa? Udah malem, kok belum pulang?” tanya Diana lembut ketika ia akhirnya berdiri di depan anak itu. Suaranya yang hangat berusaha menembus dinginnya malam.

Anak itu perlahan mengangkat wajahnya. Wajahnya pucat, matanya sembap, dengan jejak air mata yang bercampur dengan tetesan hujan. Ia menatap Diana dengan pandangan penuh luka, seolah-olah dunia telah meninggalkannya tanpa ampun. “Hiks… hiks… mereka jahat, Tante,” ucapnya di sela-sela tangis, suaranya bergetar. “Mereka nggak percaya sama Ale. Bukan Ale pelakunya… Kak Thala sendiri yang menggores tangannya,” lanjutnya dengan lirih.

Diana tertegun. Kata-kata anak itu menusuk hatinya seperti belati. Ia tidak tahu siapa “Kak Thala,” tetapi ia bisa merasakan bahwa anak ini sedang menanggung sesuatu yang terlalu berat untuk usianya. Ia duduk di samping anak itu, memastikan tubuhnya yang besar memberikan sedikit perlindungan dari hujan.

“Hei, udah ya… tenang,” ucap Diana dengan suara selembut mungkin. Ia merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sapu tangan bersih, dan mencoba mengusap wajah anak itu. “Di sini ada tante. Tante bakalan jaga kamu, oke? Jangan nangis lagi, coba senyum,” bujuknya.

Namun, anak itu hanya menangis semakin keras. “Tante… mama dan papa jahat. Mereka lebih percaya Kak Thala dibanding Ale,” ucapnya di sela-sela isak. “Hiks… mereka bilang Ale bohong. Mereka bilang Ale iri sama Kak Thala. Padahal Ale nggak pernah iri. Kak Thala selalu baik… tapi kali ini, Kak Thala yang salah.”

Diana menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. Ia tidak mengenal anak ini, tetapi ia tahu bahwa tidak ada anak yang seharusnya merasa sendirian seperti ini. Tangis anak itu terdengar begitu pedih, seperti jeritan minta tolong yang tidak didengar oleh siapa pun.

“Ya sudah,” Diana akhirnya berkata setelah beberapa saat. “Sekarang tante antar Ale pulang, ya? Biar mama papa Ale tahu kalau Ale baik-baik saja.”

Anak itu menggeleng cepat, gerakannya hampir panik. “Ale diusir, Tante!” serunya, suaranya penuh emosi. “Mama dan papa nggak mau Ale di rumah lagi. Mereka bilang Ale bikin masalah terus. Mereka bilang Ale anak nakal.”

Diana terdiam, hatinya mencelos. Ia menatap anak itu, mencoba mencari tanda-tanda bahwa cerita ini mungkin dilebih-lebihkan oleh emosi seorang anak kecil. Tetapi tidak ada kebohongan di mata anak itu—hanya kesedihan yang tulus.

“Tega sekali orang tuamu, Nak…” gumam Diana. Ia tidak bermaksud mengatakannya dengan keras, tetapi anak itu mendengarnya. Mata anak itu kembali berkaca-kaca, dan Diana merasa ia harus melakukan sesuatu. “Kalau begitu, mau nggak Ale tinggal sama tante? Tante janji bakal jaga Ale. Ale nggak perlu takut lagi.”

Anak itu, Aletha, mengangkat wajahnya perlahan. Mata kecilnya yang sembap menatap Diana dengan harapan yang hampir tidak berani ia rasakan. “Tante serius? Ale boleh tinggal sama Tante?” tanyanya ragu-ragu.

Diana tersenyum, mengulurkan tangannya dengan penuh kelembutan. “Tentu saja. Mulai sekarang, Ale tinggal sama tante. Ale nggak akan sendirian lagi.”

Aletha menggenggam tangan Diana erat, air mata masih mengalir di pipinya, tetapi kali ini bukan karena kesedihan. “Iya, Tante! Ale mau tinggal sama Tante. Terima kasih, Tante,” ucapnya dengan suara serak.

Diana berdiri, mengangkat Aletha ke dalam pelukannya. Anak itu terlalu ringan, seolah-olah beban hidup yang ia tanggung telah menyedot sebagian besar energinya. Diana berjalan kembali ke mansion, tubuh mereka berdua masih diguyur hujan, tetapi untuk pertama kalinya malam itu, hati Aletha terasa sedikit lebih hangat.

Namun, di dalam benaknya, luka dari keluarganya tetap membekas. Perasaan ditolak oleh orang tua sendiri bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan, bahkan ketika seseorang yang baik seperti Diana hadir dalam hidupnya.

Dan di malam yang penuh badai itu, sebuah hubungan baru terbentuk. Takdir Aletha berubah selamanya, membawa dirinya ke jalan yang belum pernah ia bayangkan.

Didalam hati diana akan selalu menjaga anak itu dengan penuh dengan kasih sayang dan kebahagiaan yang selalu menyertai disetiap langkah anak itu.

dia juga akan menjadikan seorang aletha menjadi bagian dari keluarga adijaya. ia yakin suaminya dan anak anak nya akan menyayangi anak ini dengan luas biasa, keluarga adijaya sudah lama menginginkan seorang cucu atau anak perempuan.

namun tuhan belum memberikan karunia seorang anak dengan kelamin perempuan, pada masa itu, namun sekarang ale berada ditengah tengah mereka, mereka akan selalu menyayangi aletha seperti bagian keluarga adijaya sendiri, walapun tidak ada darah adijaya yang mengalir ditubuh aletha.

mereka berjalan ke mansion adijaya dengan dania yang mengandeng aletha. "tante, terimakasih sudah mau membawa ale ke rumah tante." ucap aletha dengan senyuman polosnya, membuat hati dania sesak melihat senyuman itu.

"sama sama sayang, tante bakal buat kamu bahagia, tidak seharusnya anak sekecil kamu merasakan ini semua." kata Dania dengan tersenyum lembut pada ale dan mengusap kepala aletha dengan penuh kasih sayang

tumbuh menjadi anak yang baik, aletha bunda akan selalu digarda terdepan untuk selalu melindungimu dan membelamu saat kamu memerlukan bunda. batin Dania menatap aletha dengan senyuman lembut.

1
Febrianto Ajun
cerita ini bisa bikin saya menangis! Tapi juga sukses bikin saya tertawa geli beberapa kali.
Hitagi Senjougahara
Boss banget deh thor, jangan lupa terus semangat nulis ya!
Dear_Dream
Senang banget bisa menemukan karya bagus kayak gini, semangat terus thor 🌟
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!