Seoramg gadis yang berprofesi Dokter harus menikah dengan seorang pria yang ia tolong.
Dokter Manya Aidila adalah nama gadis itu. Usianya dua puluh enam tahun. Bertugas di sebuah daerah terpencil minim sarana dan prasarana. ia bertugas di sana selama tiga tahun dan sudah menjalankan tugas selama dua tahun setengah.
Suatu hari gadis itu mendengar suara benda terjatuh dari tebing. Ia langsung ke lokasi dan menemukan mobil yang nyaris terbakar.
Ada orang minta tolong dari dalam mobil. Dengan segala kekuatanmya ia pun menolong orang yang ternyata seorang pria bule.
Si pria amnesia. Gadis itu yang merawatnya dan ketua adat desa memintanya untuk menikah dengan pria bernama Jovan itu.
Awalnya biasa saja Hingga kejadian menimpa Manya. Jovan dijebak dan pria itu merenggut kesucian gadis itu.
Hingga tinggal dua bulan lagi Manya selesai masa dinas. Jovan yang sudah ingat akan dirinya pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENJADI SUAMI ISTRI
Semua orang telah meninggalkan dua orang itu. Manya yang kaku dan kikuk, jadi merasa serba salah. Ia masih canggung dengan statusnya sekarang.
"Jangan gara-gara kamu sekarang istriku. Kau malah membunuhku dengan obat-obatan mu!" seloroh Jovan terkekeh melihat wajah bingung istrinya.
"Aku tak melakukan itu!' sanggah gadis itu cepat.
Jovan menatap netra coklat gelap milik sang gadis. Ia bisa menilai, jika Manya sangat cantik akan lebih cantik jika dirias. Hidung mancung kulit sedikit kecoklatan, rambut hitam pekat sebahu dan kini diikat ekor kuda. Tubuh gadis itu terlihat sedikit kurus, pipinya tirus tapi kemerahan, bibirnya yang berwarna pink alami. Sebuah kilatan bayangan membuat Jovan tiba-tiba mendesis.
"Tuan, anda kenapa?" tanya Manya khawatir.
Jovan menutup mata erat. Sebuah bayangan melintas, tapi ia tak yakin itu apa.
"Aku seperti mengingat sesuatu!" ujarnya lemah.
Jovan terus meruncingkan ingatannya. Hal itu malah membuat ia mengerang kesakitan.
"Tuan, jangan paksakan!" titah Manya menghentikan pikiran Jovan, suaminya.
Keringat dingin menetes di dahi pria itu, tanda tak nyaman dengan serangan gambar atau kilasan peristiwa yang melintas di otaknya.
"Jangan paksakan tuan, aku mohon," pinta Manya lirih.
"Aku belum sanggup jika tiba-tiba tuan ingat istri dan anak tuan," lanjutnya bergumam sangat pelan.
Sebuah cincin dengan mata biru, hanya benda itu yang melekat di tubuh Jovan dan diberikan sebagai mahar sang gadis. Entah kenapa cincin itu pas di jari manis Manya. Jovan mengalungi cincin itu, bahkan ia juga memberikan kalungnya.
"Bukan itu yang kuingat Anya," sahut pria itu lirih dengan tetap memejamkan matanya.
Jovan membuka matanya yang masih memerah akibat benturan keras. Manya berkata beruntung ia tak mengalami kebutaan atau patah tulang jika dilihat betapa tingginya mobil itu jatuh dan berguling. Jovan mengamit jemari sang gadis dan menggenggamnya erat. Ia mengecup buku tangan gadis itu hingga wajahnya memerah. Manya langsung berpaling dan menarik tangannya cepat.
"Hei, jangan kasar. Aku masih sakit!" celetuk Jovan sambil mengerang kesakitan.
"Maaf tu ...."
"Jangan panggil aku tuan. Aku suamimu bukan majikanmu!" potong Jovan tegas.
Manya terdiam. Ia bingung harus memanggil pria itu apa. Gadis itu menetralkan seluruh degup jantungnya yang mulai menggila. Ia begitu malu sekaligus merinding sekarang.
"Aku harus panggil apa?" cicitnya bertanya.
"Panggil aku sayang, boleh?"
Blush! Rona merah menjalar hingga ke telinga gadis itu. Ia menunduk malu. Panggilan itu terlalu cepat untuknya.
"Aku panggil mas aja deh, nggak apa-apa kan?"
Jovan menarik sudut bibirnya, ia ingin tersenyum tapi, wajahnya malah jadi terlihat meringis kesakitan.
"Apa mas berasa sakit lagi?" tanya Manya panik.
"Tidak, sayang ... aku tidak apa-apa. Aku hanya coba tersenyum, tapi wajahku terasa sakit," jawabnya dengan suara lemah.
Manya bersemu merah. Gadis itu sudah menyiapkan kudapan ringan yang membantu penyembuhan Jovan, suaminya. Gadis itu masih sedikit kikuk ketika menyuapi pria itu.
"Sayang ... sendoknya terlalu jauh," rengek Jovan manja.
Lagi-lagi wajah Manya bersemu. Gadis itu selalu merona jika Jovan memanggilnya dengan panggilan mesra itu. Ia sedikit mendekatkan sendok agar pria itu bisa menelan makanan dengan mudah.
"Apa masih mau lagi?" Jovan menggeleng ketika Manya menawarkan makanan lain.
Gadis itu membersihkan nakas dan menaruh piring kotor di wastafel dekat pintu kamar mandi. Dengan cekatan, ia membuka satu persatu obat yang harus diminum oleh suaminya.
"Banyak sekali obatnya," rengekan manja sekali lagi terdengar dari mulut pria itu.
Dan sekali lagi pipi Manya memerah karena rengekan manja itu.
"Ini satu lagi!" titah gadis itu ketika memperlihatkan satu obat pada Jovan.
"Sayang," rajuknya.
Manya menyorong kuat dan langsung meletakan pinggir gelas pada bibir Jovan. Mau tak mau pria itu menelan obat dan meminum air yang ada di dalam gelas.
"Kau kejam!" sungutnya kesal.
"Aku dokter yang ingin pasiennya cepat sembuh!" sahut gadis itu tegas.
Manya membereskan semuanya. Ia mencuci piring bekas makan suami dan juga dirinya.
"Istirahatlah, nanti sore aku kembali dan mengganti semua perbanmu," ujar Manya lalu melihat infus yang menetes.
"Sayang, di sini saja," pinta pria itu.
"Aku harus memasak untuk makan kita, mas," sahut gadis itu meminta pengertian.
"Atau bawa aku ke rumahmu, rawat aku di sana agar kau tak terlalu letih pulang pergi," pinta pria itu.
Manya tampak berpikir. Mungkin akan lebih leluasa merawat suaminya di rumah dinas yang ia tempati di banding kliniknya.
Gadis itu melihat ada kursi roda. Ia pun mengangguk dan hal itu membuat Jovan senang bukan main.
Manya membantu suaminya duduk di kursi roda. Jovan bertumpu pada tubuh istrinya. Ia memeluk erat sang istri. Wajah keduanya salin berhadapan, mata pun saling menatap. Jovan begitu ingin mengecup bibir istrinya yang terlihat sangat manis.
Namun, baru saja ia menurunkan kepala, pria itu mengerang sakit. Manya segera meletakkan tubuh suaminya agar duduk di kursi roda. Gadis itu memegang tiang infus pria itu dan mendorong kursi roda lalu membawanya ke rumah.
Beberapa pria yang baru pulang dari ladang melihat dokter mereka yang kesulitan. Beberapa orang langsung membantunya.
"Makasih pak. Maaf merepotkan!" ujar Manya sungkan.
"Kaya sama orang lain aja dok!" sahut salah satu pria yang mendorong kursi roda.
Sampai di rumah beberapa pria membantu Jovan untuk tidur di ranjang milik gadis itu. Semua mengetahui jika Manya, dokter mereka telah menikah beberapa jam yang lalu.
"Makasih sekali lagi loh pak!" ujar Manya ketika para pria usai membantu suaminya.
"Jangan sungkan dok!" sahut salah satunya lagi dengan senyum ramah.
Setelah bapak-bapak itu pergi, Manya memilih membersihkan rumah terlebih dahulu. Setelah itu ia pun mulai memasak untuk makan malam dirinya juga suaminya.
"Beres semuanya!" ujarnya lega ketika semua masakan sudah matang.
Gadis itu membersihkan dirinya. Ketika selesai mandi, Manya sedikit kesal karena ia lupa membawa baju ganti ke kamar mandi.
"Ck ... dasar ceroboh!" ujarnya pada diri sendiri.
Manya melilitkan tubuhnya dengan handuk. Gadis itu pun berjalan ke kamarnya secara perlahan. Ia beruntung karena pintu terbuka, sedikit melihat sang suami tampak telah memejamkan mata. Rupanya obat telah bereaksi dan pria itu tengah tertidur.
"Syukurlah dia sudah tidur," gumamnya lega dalam hati.
Gadis itu berjalan perlahan dan setengah mengendap-endap. Manya takut pria yang telah menjadi suaminya itu terbangun dan mendapatinya nyaris telanjang seperti ini.
Dengan perlahan pula ia membuka lemari, mengambil sepotong pakaian berikut pakaian dalamnya dan dengan cepat kembali ke kamar mandi untuk memakai semua bajunya.
Jovan menahan napasnya agar tetap tenang. Pria itu masih terjaga, bahkan ia masih bisa melihat dengan jelas kulit kecoklatan istrinya, begitu bersih dan menguar bau sabun wangi vanilla. Ia menelan saliva pelan-pelan. Belum lagi dua gundukan yang tertutup setengah oleh handuk. Tampak besar dan padat. Pinggul istrinya yang ramping dan tubuhnya yang sedikit basah, membuat panas seluruh badan pria itu. Bahkan intinya mulai berkedut.
"Sial!" runtuknya menahan sakit luar biasa.
bersambung.
hahaha ... maaf ya Jo ... masih sakit kamunya ...
next?
kurang ngudeng aku