Skuel Terra The Best Mother
Lanjutan kisah dari Terra kini berganti dengan. tiga adik yang ia angkat jadi anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SYNDROM MERAH JAMBU
Lusy selalu menundukan wajahnya, ia sangat takut membalas tatapan pria berusia matang. Bahkan ia bisa memanggil pria itu dengan sebutan kakek.
"Astaga ... apa aku punya salah ya, dilihatin terus," gumamnya takut dalam hati.
"Jangan membuatnya takut, Leon," bisik Bart.
Leon menghentikan tatapannya. Ia kikuk karena ketangkap basah memandangi gadis cantik. Ia menghabiskan makanannya.
"Daddy kenapa?" tanya Terra berbisik pada Virgou.
"Syndrom merah jambu," jawab Virgou juga berbisik.
"Apa itu?" tanya Terra tak mengerti.
Virgou menatap adik sepupunya itu. Terra memandang pria itu polos.
"Astaga ... apa dia memang bodoh perihal ini?" desis pria itu tak percaya.
Haidar mendengarnya langsung menanggapi.
"Dia memang masih sepolos itu, padahal anaknya sudah lebih satu lusin," bisiknya.
"Kenapa kalian berbisik?" tanya Kanya gusar.
Dav dan Seruni memilih tak menanggapi apa yang terjadi. Mereka akan gila jika ikut-ikutan.
Sedang Khasya dan Puspita hanya menggeleng pelan melihat tingkah kakak beradik juga ipar itu.
"Piya mih ... meuleta pisit-pisit pial eundat beuldenelan syama anat teucil!" sahut Bomesh manggut-manggut.
Dominic tersedak mendengar celoteh balita empat tahun, Frans buru-buru memberi pria itu air minum. Dominic langsung meneguknya hingga tandas.
"Astaga ... anakmu Gomesh!"
Pria raksasa itu hanya tersenyum. Sejak pindah rumah memang anak-anaknya sudah tak secerewet dulu lagi. Walau terkadang ia merindukan kebisingan dua putranya itu.
Usai makan mereka kembali ke kantor. Bart memberi kode pada semuanya untuk memelankan langkah mereka ketika Leon berjalan bersisian dengan Lusy.
"Penata pita beulan balanna?" tanya Arion bingung.
"Kan habis makan baby, jadi jalannya pelan," jawab Seruni.
"Oh ... bedithu," sahut Arion sambil mengangguk.
Sedang Leon dan Lusy tak tahu jika semuanya tertinggal di belakang. Pria itu menatap gadis di sebelahnya.
"Assalamualaikum, boleh kita kenalan?" Leon bersuara.
Lusy berhenti begitu juga Leon dan semuanya yang ada di belakang. Gadis itu menatap pria di sebelahnya. Dua netra sama saling tatap. Lusy mengangguk.
"Perkenalkan namaku Leon Shidiq Dougher Young!" ujar pria itu mengulurkan tangannya.
"Naluary Sulistya Santoso," sahut gadis itu menyambut jabatan tangan pria tinggi di depannya.
Dua tangan saling bersentuhan. Detak jantung keduanya tiba-tiba cepat. Netra Leon menatap dan mencari sesuatu di mata gadis itu.
"Kenapa panggilannya Lusy bukan Ary atau Susi?" tanya pria itu dengan bibir bergetar.
Sungguh pendekatan yang aneh. Bart sampai kesal dibuatnya.
"Apa putraku itu terlalu lama jomlo sampai tak tau bagaimana mendekati seorang gadis!" gerutu Bart pelan.
"Ssshh!'
Semua mengkodekan agar pria itu diam. Bart berdecak kesal. Dua insan di depan kembali berjalan. Mereka pun mengikuti.
"Saya dulu menyingkatnya Tuan," jawab gadis itu.
Leon mengangguk. Sungguh ia bingung harus apa lagi. Keduanya berjalan pelan. Bahkan tubuh mereka saling berdekatan.
Hingga tiba-tiba kaki Lusy salah memijak hingga ia tergelincir. Leon langsung menangkap lengan gadis itu agar tak terjatuh.
Rombongan di belakang nyaris bersorak melihat keromantisan itu. Semuanya menutup mulut. Hanya para bayi yang bingung dengan apa yang terjadi.
"Kau tak apa-apa?" tanya Leon khawatir.
"Tidak apa-apa tuan, terima kasih," jawab gadis itu.
Namun sejurus kemudian ketika Lusy hendak melangkah. Ia meringis kesakitan, rupanya kakinya terkilir.
"Aaahh!" pekiknya tertahan.
Nyaris Terra berlari jika saja Bart tak menahannya. Adegan selanjutnya sangat tak disangka. Leon menggendong gadis itu di punggungnya.
Bart tersenyum lebar.
"Ah ... putraku masih gagah," pujinya dengan suara pelan.
Sedangkan Lusy merasa tak enak. Ia sudah menolaknya tadi, tapi kakinya benar-benar sakit ketika dipaksa jalan. Akhirnya terpaksa digendong seperti ini.
"Tuan, apa saya berat?" tanyanya takut.
"Tidak ... kamu enteng, Lusy," jawab Leon.
Memang tubuh gadis itu tak berat. Beruntung Leon masih aktif menjaga tubuh dan berolah raga. Ia masih kuat menggendong Lusy dengan berlari.
Gadis itu merasa nyaman dalam punggung lebar pria yang menggendongnya. Jantungnya berdetak cepat, ia ingin sekali meletakkan kepalanya di bahu kekar pria yang usianya jauh di atasnya.
Tak terasa perusahan sudah dekat. Leon setengah berlari dan meminta bantuan medis. Ia lupa dengan keluarganya yang ada di belakang.
"Biar Saf yang menanganinya," ujar istri Darren.
Leon kaget melihat rombongan lainnya yang baru masuk. Bart hanya terkekeh melihatnya. Kini pria itu sadar dan malu setelahnya.
"Ck ... kalian," dumalnya kesal.
Saf memijat kaki Lusy. Gadis itu berteriak kesakitan ketika Saf memberi satu tarikan pada kakinya.
"Coba gerakan!" perintah wanita cantik itu.
"Sudah tak sakit," ujar Lusy ketika menggerakkan kakinya.
Semua kembali bekerja. Darren dan Saf kembali ke tempat kerja mereka begitu juga Demian dan Lidya juga Calvin. Rion bersama Haidar. Bram dan Kanya bersama Al ke perusahaan mereka. Satrio, Gomesh dan Virgou juga mulai beranjak dari sana. Disusul Herman dan Kean.
Dav mengantar Bart. Sedang Gabe bersama istri dan empat anaknya. Leon dan Frans tinggal untuk mengecek kembali. Terra memintanya.
Lusy duduk dan membantu Khasya. Mereka sedikit kerepotan menangani pekerjaan.
"Apa saya tak memiliki asisten pribadi?" tanya Khasya mulai mengeluh.
"Sebenarnya ada, nyonya. Hanya saja kemarin Tuan Black Dougher Young langsung memecatnya karena pakaian yang ia kenakan," jawab Lusy.
"Kalau begitu buka lowongan untuk asisten pribadi ku!" titah Khasya.
Lusy langsung membuka lowongan itu. Banyak yang berminat.
"Minta mereka besok datang dan mengikuti tes yang saya buat!"
"Baik, nyonya!"
"Kriteria rapi, sopan, jujur, cekatan dan cepat beradaptasi!" Lusy mencatat semuanya.
"Pendidikan?"
"S1 sekretaris atau management!"
"Usia?"
"Tiga puluh tujuh tahun maximal!"
Tak terasa waktu sudah beranjak petang. Semua data disimpan di brangkas besi rahasia. Perlahan satu persatu karyawan pulang dengan wajah lelah. Diminta bekerja di bawah tekanan harus mereka lalui. Target harus dicapai agar tak berlarut-larut.
Lusy membenahi pakaian atasanya. Gadis itu harus sigap dengan semuanya. Khasya pulang bersama Terra dan Puspita. Leon dan Frans mengikuti ketiganya.
Lusy mengunci ruangan atasannya setelah memastikan semua sudah tertutup dan pendingin telah dimatikan.
Gadis itu bergegas keluar. Ia sedikit takut ditinggal sendirian. Semua naik lift.
"Tunggu!" teriaknya.
Leon menoleh. Pria itu tak sempat masuk lift hingga pintu tertutup dan benda itu bergerak turun.
Virgou sengaja memasang lift kecil di sana walau hanya tiga lantai. Tapi, itu untuk memudahkan Khasya agar tak terlalu lelah naik turun tangga.
"Tuan," panggil Lusy dengan napas terengah, ia tadi berlari kecil.
"Kenapa kau lari?"
"Saya takut ditinggal, tuan," jawabnya. "Saya juga takut sendirian."
Gadis itu merasa sedih, air matanya mengalir begitu saja ketika kelebatan memory kelam melintas di ingatannya.
"Hei ... kau menangis?" tanya Leon khawatir.
Lusy menatap pria itu. Tingginya hanya sedada Leon. Pria itu tergugah. Ada sejuta ketakutan ketika menatap mata gadis itu. Perlahan ia memeluknya. Tangisan Lusy pecah di dadanya.
"Jangan takut ... ada aku di sini," cicit Leon menenangkan.
bersambung ...
ah syndrom merah jambu menyerang nih ...
next?