Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Titik di Horizon
Keributan itu langsung menarik perhatian. Beberapa penumpang yang semula asyik dengan gawai mereka kini menoleh, beberapa terkejut, sementara yang lain memandang dengan tatapan ingin tahu, menunggu kelanjutan drama yang tak terduga ini.
Susi, yang sebelumnya tertidur pulas, mendadak terbangun. Matanya berkedip cepat, mencoba memahami situasi di sekitarnya. Sementara itu, Malik, Rizal, dan Bimo berdiri, saling pandang satu sama lain dari kursi mereka masing-masing. Wajah mereka menunjukkan keterkejutan yang sama, terutama karena ini adalah sisi Naima yang belum pernah mereka lihat.
Yudha, di sisi lain, membeku sejenak. Senyumnya yang semula meremehkan perlahan lenyap dari wajahnya, digantikan oleh ekspresi datar. Namun, hanya butuh beberapa detik baginya untuk kembali memasang topengnya—senyum ramah yang palsu, penuh kepura-puraan.
“Aku tahu kamu cukup terpukul dengan batalnya pernikahan kita,” katanya dengan nada yang dibuat-buat menyesal, suaranya tenang tapi sarat dengan manipulasi. Dia bahkan menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan ekspresi sedih yang jelas tidak tulus. “Tapi aku... Maafkan aku, Naima.”
Bisik-bisik mulai terdengar di antara penumpang. Beberapa saling melirik, ada yang memandang Naima dengan simpati, tapi ada juga yang menatap Yudha, mencoba mencerna siapa yang sebenarnya bersalah.
Naima menatap Yudha tajam, matanya penuh dengan kemarahan yang mendidih. Tapi kali ini, dia tidak membiarkan emosi itu menguasainya. “Diam!,” teriaknya penuh ketegasan. Naima melirik sekeliling, menghadiahi mereka dengan pandangan penuh amarah. Dia kembali duduk di kursinya, menatap jendela tanpa rasa bersalah.
Petugas gerbong akhirnya mendekat, seorang pria paruh baya dengan seragam biru rapi. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit kebingungan di matanya. “Apa yang terjadi di sini, Bu?” tanyanya sopan, tatapannya beralih dari Naima ke Yudha.
Susi, yang berada di tengah antara mereka, langsung jadi sorotan. Petugas menatapnya seolah meminta penjelasan. Tapi Susi hanya menggeleng pelan, wajahnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia lalu melirik Malik, seolah meminta dukungan atau penjelasan darinya.
Malik, yang berdiri dengan tangan mengepal di samping kursinya, akhirnya melangkah maju. Tatapannya menusuk ke arah Yudha, sementara suaranya tegas saat berkata, “Bapak ini mengganggu teman kami, Pak.”
Yudha mendengus kecil, ekspresinya seperti orang yang merasa disalahpahami. “Saya hanya ingin bicara baik-baik dengan Naima,” katanya, menatap petugas dengan senyum tipis yang dibuat-buat. “Kami pernah punya hubungan, dan saya hanya ingin memperbaikinya.”
Petugas memandang Naima, seolah meminta konfirmasi. Gadis itu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Saya tidak kenal dia Pak. Dia mengganggu saya dari tadi,” ucapnya dingin, tanpa sedikitpun ragu. “Saya ingin dia pergi.”
Petugas mengangguk pelan, lalu beralih ke Yudha. “Pak, kalau penumpang lain merasa terganggu, saya harus meminta Bapak pindah tempat atau turun di pemberhentian berikutnya.”
Yudha tertawa kecil, tapi kali ini tawanya dingin. “Baiklah, kalau itu keinginan dia,” katanya, sebelum berdiri dengan gerakan lambat. Namun, sebelum pergi, dia menatap Naima untuk terakhir kali, senyumnya kembali muncul—senyum penuh arti yang membuat Naima merasa mual. “Aku akan tetap menunggumu, Naima.”
Naima mengalihkan pandangannya, tidak ingin memberikan Yudha kepuasan lebih. Saat Yudha akhirnya pergi, suasana di dalam gerbong perlahan kembali tenang. Tapi di hati Naima, ketegangan itu masih membara.
Susi di sebelah Naima menatapnya dengan raut cemas. Ia menggigit bibir, menyesal karena tertidur saat pertengkaran tadi terjadi. Ia merasa bersalah, seharusnya ia bisa mendampingi Naima lebih awal.
“Aim, lo nggak papa?” tanyanya pelan, suaranya penuh perhatian. Tapi Naima hanya mengangkat bahu sedikit, mengisyaratkan ketidakpeduliannya. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, bahkan ia tidak berbalik untuk melihat Susi.
Susi menatap Naima lebih lama, berusaha membaca ekspresi temannya. Tapi yang ia lihat hanyalah punggung Naima yang tegar namun terasa rapuh. Dia tahu Naima sedang menahan banyak hal, mungkin terlalu banyak.
Dengan hati-hati, Susi mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Naima, sebuah upaya kecil untuk menunjukkan bahwa dia ada di sana. Tapi Naima hanya menoleh sedikit dan menghadiahkan sebuah senyuman tipis—senyuman yang lebih seperti tameng, bukan ungkapan rasa nyaman.
“Lo tahu, Aim,” Susi berkata lembut. “Gue di sini, kalau lo butuh cerita. Tapi kalau lo butuh waktu buat sendiri juga nggak apa-apa.”
Naima hanya mengangguk pelan, tanpa sepatah kata pun.
Susi menghela napas dalam-dalam. Ia tahu memaksa Naima bicara hanya akan membuatnya semakin menarik diri. Kadang, memberikan ruang adalah cara terbaik untuk membantu. Meski begitu, ada rasa tidak tenang yang menggelayut di benaknya, takut jika temannya memikul terlalu banyak sendirian.
Ia memutuskan untuk mundur sejenak. Sambil menyandarkan kepala ke kursi, Susi melirik Naima sekali lagi sebelum menutup mata. “Kalau lo butuh gue, panggil aja, ya.” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Dan untuk pertama kalinya sejak pertengkaran itu, Naima membuka mulutnya, meski hanya satu yang keluar. “Ya.”
...***...
Sejak kejadian di kereta sebelumnya, perjalanan Semarang-Surabaya terasa aneh. Tidak ada yang berbicara. Keheningan yang melingkupi gerbong kereta terasa tebal, seperti kabut yang memisahkan mereka satu sama lain. Bimo yang biasanya penuh dengan celoteh, kini sibuk berkutat dengan gawainya, mengerjakan urusan pekerjaan yang tak bisa dia tunda. Besok, dia harus sudah berada di rumah sakit. Itu tugasnya. Siapa yang menyangka sosoknya yang bobrok, penuh lelucon, dan sering mengusik Malik bisa menjadi seorang dokter yang begitu serius? Sisi lain dari Bimo yang jarang terlihat, namun tetap mengagumkan.
Di seberang, Malik menatap kosong ke luar jendela. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Hatinya kacau, bingung dengan perasaan yang sulit didefinisikan. Keputusan-keputusan yang dia ambil selama ini terasa berat. Pandangannya hanya tertuju pada pemandangan yang berlalu begitu cepat, tetapi pikirannya jauh melayang, seolah mencari sesuatu yang hilang.
Rizal, yang duduk di samping Naima, memperhatikan adik angkatnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Wajah Naima tenang, meski tubuhnya terlelap dalam tidur yang tampaknya sangat dibutuhkannya. Tanpa sadar, Rizal merengkuh rasa khawatir dalam diam. Sudah lama dia mengenal Naima, tapi ada hal-hal yang sepertinya masih disembunyikan darinya. Dia ingin berbicara lebih banyak, tetapi Naima selalu menutup diri.
Susi yang duduk di samping Bimo, menatap Naima dengan perasaan campur aduk. Tadi, saat Naima dengan polos menyebutkan kata "kak" saat Rizal bertanya padanya, Susi hampir terjatuh dari kursinya. Seketika, dia merasa seperti dibohongi, tetapi tidak bisa menyalahkan Naima. Bahkan, dia merasa sedikit tersinggung, tapi juga bingung. Mengapa Naima tidak terbuka? Bukankah mereka teman dekat? Terkadang, Susi merasa Naima menjaga jarak dengannya, seperti ada tembok tinggi yang tak bisa dia tembus. Tapi, Susi tahu, mungkin Naima masih membutuhkan waktu. Semua ini tidak mudah, bukan hanya bagi Naima, tapi juga bagi mereka yang berusaha memahami.
Dalam keheningan ini, satu hal yang jelas bagi mereka semua: meski tidak ada kata yang keluar, ada banyak hal yang belum selesai. Perasaan, hubungan, dan rahasia yang tersembunyi terlalu dalam untuk diungkap begitu saja.
Entah sudah jam berapa, ketika Naima terbangun dari tidurnya yang singkat. Kepalanya terasa berat, namun sesaat setelah membuka mata, dia menyadari bahwa semua orang di sekitarnya juga terlelap, kecuali Malik. Ia terlihat tenang, duduk dekat jendela, memandang ke luar dengan fokus yang dalam.
Naima mengikuti arah pandangannya, melihat hamparan sawah yang luas terbentang di depan mereka. Cahaya jingga yang lembut terlukis di langit, menciptakan siluet yang indah di setiap awan yang melayang. Langit dari arah timur mulai menghitam, kontras dengan langit di ufuk barat yang masih memancarkan kehangatan. Di kaki langit, matahari bersinar membentuk sebuah titik di horizon. Titik bercahaya yang berpendar membentuk satu garis horizontal yang samar.
"Cantik ya, langitnya." ucap Malik pelan, suaranya terdengar damai, hampir seperti sebuah bisikan yang melengkapi keheningan. Sebentar ia menoleh ke Naima, lalu kembali membiarkan pandangannya mengarah pada pemandangan di balik jendela kereta, menikmati setiap detik pemandangan yang berubah perlahan.
Naima tidak langsung menjawab, namun ia mengakui dalam hati bahwa langit hari ini memang luar biasa cantik. Ia membiarkan matanya menelusuri garis horizon yang memudar, meresapi keheningan di sekitarnya.
"Rasanya masalahku menghilang sejenak saat melihat langit," Malik melanjutkan, suaranya lebih lembut sekarang, penuh perasaan, seolah langit yang luas itu mampu menampung segala pikiran dan perasaan yang memberatkan.
Naima tetap terdiam, tapi kali ini ia merasakan kedalaman dalam kata-kata Malik. "Semoga langit juga bisa membawa masalah kamu pergi," lanjut Malik dengan tulus, matanya tetap terpaku pada matahari yang perlahan turun dari kaki langit, seolah berharap cahaya itu bisa membawa pergi segala beban dan kekhawatiran.
Naima menatap langit yang semakin memudar, namun ada sesuatu dalam ucapannya yang membuat hatinya sedikit lebih ringan. Sesaat, dia merasa seperti kata-kata Malik itu bukan hanya sekadar penghiburan, tetapi juga sebuah doa yang tulus. Sebuah harapan yang mungkin bisa menembus ke dalam dirinya yang sedang berkelana dalam kebingungannya.
Dia membiarkan keheningan kembali memenuhi ruang di antara mereka. Tak perlu kata-kata lebih, karena terkadang keheningan bisa menjadi lebih dalam dari kata-kata yang terucap.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak