Kehidupan gadis yang bernama Renata Nicholas tak jauh dari penderitaan, wajahnya yang pas-pasan serta penampilannya yang kurang menarik membuat semua orang terus merendahkannya.
Setelah orang tuanya meninggal, Renata tinggal bersama sang bibi dan sepupunya. Namun, mereka selalu tak adil padanya dan mengucilkannya. Tak pernah mendapatkan kebahagiaan membuat Renata jenuh dan memutuskan pergi dari rumah.
Disaat itu ia bertemu dengan laki-laki yang bernama Derya Hanim, seseorang yang pernah ia kagumi, akan tetapi itu bukan akhir dari segalanya, ternyata Derya hanya memanfaatkan keluguannya sebagai pelukis yang hebat.
Setelah tahu tujuan Derya, Renata kembali bangkit dan pergi dari pria itu, dan akhirnya Renata bertemu dengan Bagas Ankara, dia adalah bos Renata, pria yang diyakini bisa membantu mengubah hidupnya, baik dari segi karir maupun wajahnya. Bagas yang ingin membalas mantannya pun mengakui Renata sebagai pacarnya.
Akankah cinta tumbuh diantara mereka?
Ataukah Bagas kembali memanfaatkan Renata seperti yang dilakukan Hanim?
Siapa sosok Bagas dan Derya, pria yang sama-sama hadir dalam hidup Renata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinggal di rumah Derya
Sinar mentari menyorot dari balik tirai membuat Renata terusik. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan menggeliat, baru kali ini ia tidur nyaman tanpa gangguan dari mulut ember bibi dan Karin.
"Apa ini Surga? Apa aku sudah mati dan berada di Surga?" Renata menatap langit-langit kamar yang sangat mewah, dinding yang dihiasi dengan lukisan indah dan beberapa barang berharga menjadi pelengkap tempat itu. Ia mulai mengumpulkan nyawanya yang tercecer dan mengingat apa yang terjadi semalam.
"Ternyata bukan surga, ini rumah mas Derya," gumamnya lagi.
Lututnya yang terasa kaku membuatnya meringis saat bangun.
Aaawww
Renata menurunkan kakinya dengan pelan dan menatap ke arah luar jendela. Ia terus memijat betisnya yang masih terasa ngilu.
Renata menggeser duduknya dan mengambil salep yang diberikan Derya semalam. Luka yang kini mulai menghitam itu memang terasa sakit, tapi belum seberapa dibanding sakit hatinya karena penghinaan yang terus ia terima hampir di setiap tempat.
Sembari menggosok dengan salep, Renata terus meniup-niup menghilangkan rasa perih yang mulai menyeruak.
"Apa maksud mas Derya membawaku ke sini?"
Sikap tak pernah peduli itu seakan hilang begitu saja saat Derya menarik tangan Renata, bahkan ia merasakan segelintir perhatian yang dulu sangat ia harapkan dari pria itu.
Renata membuka tirai lalu ke kamar mandi.
Derya membuka pintu kamar Sena. Lagi-lagi ia mendapati gadis itu termenung di sudut kamarnya, matanya terus menatap ke arah foto yang pernah ia injak beberapa waktu lalu.
Sena adalah adik kesayangan Derya satu-satunya. Ia sangat menyayangi gadis itu melebihi dirinya sendiri. Apapun ia lakukan demi Sena termasuk membantunya menjadi model terkenal. Namun, profesi yang ia banggakan itu kini dihempaskan karena rasa kecewa pada seorang laki-laki yang dicintainya.
"Sena, kita makan yuk!" ajak Derya dari ambang pintu. Sena menoleh tanpa suara. Matanya tampak sembab dan memerah.
Derya berjalan pelan menghampiri Sena lalu duduk di tepi ranjang. Tepatnya di samping Sena yang masih menatap ke arah nakas.
"Kamu harus melupakan dia, untuk apa kamu menangis terus-menerus, masih banyak laki-laki yang mau sama kamu, bahkan lebih, apa kehebatan dia, apa yang kamu harapkan dari pria brengsek macam dia," ucap Derya dengan lantang, meskipun tak tega melihat adiknya yang masih terpuruk, Derya mencoba untuk terus membujuknya.
"Aku akan melupakannya, tapi kakak harus janji padaku, bantu aku membuatnya bertekuk lutut di depanku."
Derya mengepalkan tangannya dan menyunggingkan bibirnya, "Dengan senang hati, karena aku sudah punya permainan untuk dia."
Renata keluar dari kamarnya. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan. Tak hanya di kamar, di luar pun dinding itu dipenuhi berbagai lukisan dengan berbagai aliran.
Renata menyusuri anak tangga satu-persatu, dengan jelas ia mendengar suara tawa renyah dari arah belakang. Semakin penasaran, Renata mempercepat jalannya.
Ternyata mas Derya, lalu siapa wanita cantik itu?
Renata menatap Derya yang beberapa kali menyuapi wanita yang duduk di sampingnya, bahkan ia merasa iri dengan wanita itu yang perlakukan bagaikan ratu.
Renata menghampiri Derya.
"Maaf, Mas. Aku terlambat bangun," ucap Renata malu-malu.
"Nggak papa, anggap saja rumah kamu sendiri, lagipula di sini sudah ada pembantu yang akan membereskan rumah dan yang lainnya. Makanlah! Setelah ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
Sena nampak cuek, sedikitpun tak ingin melirik ke arah Renata, apalagi menatapnya.
"Kenalkan, ini adikku namanya Sena," ucap Derya selanjutnya.
Renata mengulurkan tangannya di depan Sena. Namun gadis itu malah menepis nya dengan kasar.
"Tidak usah bersalaman, lihat wajahmu itu, menjijikkan." Sena mendorong kursinya ke belakang dan beranjak dari duduknya.
"Kak, lain kali suruh dia makan di belakang," pinta Sena dengan ketus.
Sena meninggalkan ruang makan dan kembali ke kamarnya, sedangkan Renata hanya bisa menunduk menerima olokan dari Sena.
Meskipun perutnya sangat lapar, Renata hanya bisa menatap menu yang ada di meja, ingin sekali ia makan, namun ia tak punya keberanian untuk menyentuhnya.
"Makan saja, Sena memang seperti itu, jangan diambil hati."
Bukan hanya Sena, tapi semua orang yang bilang seperti itu.
"Maaf, Mas. Aku makan di belakang saja."
Renata langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil makanan yang tersisa di lemari bersama pembantu.
Sebenarnya apa maksud Mas Derya mengajakku ke sini, kenapa tiba-tiba dia sangat baik padaku.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan, Renata hanya bisa memandang taman yang dipenuhi dengan bunga tulip tanpa melakukan aktivitas apapun. Ia merasa tak enak dengan Sena, namun ia juga bingung mau ke mana lagi.
"Renata," panggil Derya dari arah ruang tamu.
Renata berlari kecil menghampiri Derya yang sudah rapi dengan memakai baju casual warna navy dipadupadankan dengan celana jeans putih.
"Ikut aku sekarang!" ajaknya tanpa menjelaskan.
Tanpa bertanya, Renata mengikuti langkah Derya menuju mobil.
Derya menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung yang tidak terlalu besar, namun dari luar tempat itu sangat indah dan nyaman.
"Ini tempat apa, Mas?" tanya Renata saat turun dari mobil.
"Ini gallery milikku, aku sering melihatmu membeli alat lukis, pasti kamu juga suka melukis."
Renata mengangguk cepat, setiap kali ia mendengar kata lukis, ia seperti menemukan sesuatu yang berwarna dalam hidupnya, karena ia tak mungkin memikirkan laki-laki mengingat dirinya yang jauh dari kata cantik.
Renata mengikuti langkah Derya, satu persatu pria itu menunjukkan lukisan yang ia sukai hingga langkahnya berhenti pada sebuah lukisan yang ada di paling sudut.
"Ini lukisan siapa, Mas?" Renata menyentuh gambar seorang pria dengan rambut memutih.
Mata Derya berkaca, wajahnya nampak suram dan tak bersemangat.
"Dia adalah ayahku. Beliau meninggal setelah aku menyelesaikan lukisan itu, bahkan ayah belum sempat melihat gambarnya karena serangan jantung."
"Maaf," ucap Renata pelan.
Beralih ke sebuah ruangan kosong, Renata mengembangkan senyum saat melihat peralatan lukis yang sangat lengkap. Matanya berbinar-binar, tangannya geli ingin segera bergelut dengan alat tersebut.
"Mas, apa aku boleh melukis di sini?" tanya Renata dengan polos.
"Boleh, kamu bebas melakukan apa saja di sini. Anggap saja ini tempat kamu sendiri,c tutur Derya.
"Apa hubungan kamu dengan Bagas?" tana+ya Derya tiba-tiba.
Renata menoleh, menatap Derya yang nampak tampan itu.
"Aku dan pak Bagas tidak ada hubungan apa-apa. Semalam dia hanya berusaha menolongku saja."
Apa mungkin Renata membohongiku? Tidak mungkin Bagas mau menyentuhnya jika tidak ada sesuatu. Sena yang cantik saja tidak pernah dipedulikan, apalagi Renata yang kumel seperti ini.
"Memangnya kenapa, Mas?" tanya Renata antusias.
Derya hanya menggeleng dan melanjutkan langkahnya.