Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18: Kehebohan Geng Black Secret
Rumah Fariz terdengar ramai dengan suara celotehan geng Black Secret. Suara Alfariel mendominasi.
"Woi, diminum ini. Keburu dingin." Fariz membawa nampan yang berisi lima gelas cokelat hangat. "Main PS-nya udahan."
Alfariel menatap layar kaca itu fokus. Tangannya setia memegang stik PS yang tidak mau lepas dari genggamannya. "Nanggung, bentar lagi menang."
"Tau nih, Fariz," sahut Zidan yang melakukan hal sama seperti Alfariel.
"Biarkan mereka, Riz." Gibran mendekat pada Fariz yang duduk di sofa. "Capek sendiri ngomong sama saudaranya monyet gila," bisik Gibran.
Zidan melempar kacang polong yang diambilnya dari toples. Lemparan Zidan mengarah ke Gibran. "Gue masih denger, Gib."
Hari ini geng Black Secret sengaja menginap di rumah Fariz. Mereka berencana belajar bersama untuk menghadapi remidi massal matematika besok. Persiapan mental juga penting, mengingat pelajaran dan guru yang sama-sama killer. Bagi yang mempunyai otak encer tentu terasa mudah, misalnya si kutu buku—Gibran. Dia sudah selesai belajar sejak satu jam lalu. Beda cerita dengan Alfariel, dia belajar sambil main PS. Belajar model apa itu? Mana mungkin ilmunya nyantol? Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
"Gue punya cerita, mau dengar nggak?" tanya Gibran memecah keheningan.
"Mau, mau!" sahut Fariz semangat.
"Tapi ceritanya horor." Gibran memperingati lebih awal.
TAK!
Stik PS dilempar begitu saja oleh Alfariel. Dia berlari mendekat pada Gibran. Zidan pun ikut duduk di dekat Gibran.
"Buset, gue kegencet. Sanaan lo!" ucap Alfariel yang berada paling pojok.
Fariz menggeleng. "Yang waras ngalah aja dah. Daripada ikutan jadi monyet gila." Fariz berdiri lalu pindah ke sofa sebelah.
Alfariel menatap sinis Fariz. 'Tunggu pembalasan gue!' batin Alfariel.
Suasana mencekam pun mulai terasa. Gibran baru bercerita prolognya, tetapi mereka sudah ketakutan setengah mati. Belum lagi sampai intinya, mungkin mereka ketakutan seperempat mati. Bagus juga, jarang-jarang ada berita di koran yang judulnya Tiga Remaja Diduga Meninggal Setelah Mendengar Cerita Horor.
"Dan pada saat laki-laki itu merunduk mengambil bolpen, dia melihat kaki Dosen tidak sedikit pun menginjak lantai. Jantungnya berdegup kencang sekali, deg-deg-deg, begitu seterusnya." Gibran memegang dadanya, memukul-mukulnya dengan tangan terkepal, sehingga menimbulkan suara deg-deg-deg persis seperti yang dia bilang.
Alfariel merapat pada Gibran, dia takut. Kakinya sampai gemetar. Kelemahan Alfariel tampaklah sudah. Dia tidak menyukai hal-hal berbau mistis, meskipun hanya cerita karangan. Apalagi yang bercerita Gibran. Ceritanya seakan-akan terlihat nyata di dalam bayangan Alfariel, seolah-olah hantunya ikut duduk di samping Alfariel sambil mendengar cerita dari Gibran.
"Setelah itu, kalian tahu apa yang terjadi?" Gibran menatap satu-persatu mereka. Gibran mendapat jawaban gelengan kepala dari teman-temannya.
"Laki-laki itu kembali mengerjakan tugasnya, mengalihkan pandangan, dia bersikap pura-pura tidak tahu. Hari semakin malam, jam pelajaran pun juga sudah selesai. Tetapi, laki-laki itu masih di dalam kelas bersama Dosen. Dia menoleh saat dipanggil Dosennya, mata laki-laki itu membelalak kaget, kakinya gemetar hingga tidak bisa berjalan walaupun selangkah saja." Gibran menjeda sebentar, dia memajukan tubuhnya. Kemudian dia melanjutkan ceritanya. "Dosen itu berubah menjadi makhluk menyeramkan, mempunyai bulu hitam lebat, diujung bulunya terdapat api. Matanya besar, wajahnya berwarna merah, semerah darah. Dia berjalan merangkak mendekati laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu menyeret tubuhnya menjauh, kakinya tak mampu lagi untuk berjalan. Akhirnya ..."
"Akhirnya apa, Gib?" tanya Zidan ketakutan.
"Akhirnya ... " Gibran berdiri, melipat tangannya di depan dada. "Gue belum selesai baca ceritanya, cuma segitu doang."
"Yaelah ... " ucap Fariz, Zidan, dan Alfariel kompak.
"Ngomong dong daritadi, kalau gini ngegantung jadinya," ucap Alfariel kesal. "Sungguh aku mati penasaran, sampai mati pun tetap penasaran." Alfariel bernyanyi sambil berjoget di depan temannya.
"Alay." Zidan melempari Alfariel dengan senjatanya, kacang polong.
"Penonton kecewa, Bang," timpal Fariz.
Gibran tertawa kecil. "Penonton lelah, penonton lelah." Gibran mengangkat kedua tangannya sambil berjalan ingin mengambil cokelat hangat yang ada di samping stik PS.
"Lelah kenapa, Gib?" tanya Fariz yang menampilkan senyum mengejek.
"Lelah nunggu doi peka," sahut Alfariel tiba-tiba.
Zidan menoyor kepala Alfariel. "Bisa aja lo. Kayak jemuran, digantung terus. Nggak basah, nggak kering, tetap aja digantung."
Mereka tertawa mendengar celutukan Zidan. Bisa saja nih si Abang.
Suara bel yang berasal dari pintu utama terdengar di tengah-tengah tawa mereka. Alfariel berhenti tertawa, begitu pun dengan yang lain. Mereka bertukar pandang, melirik jam besar di pojok ruangan bersama-sama.
"Jangan dibuka!" Alfariel mulai parno. "Bisa jadi bukan manusia yang mencet bel, lagian ini udah jam sepuluh."
"Tapi, bisa juga tetangga yang nganter nasi kotak. Lumayan, makan malam yang kedua." Fariz berjalan menuju pintu utama.
"Stop, stop!" seru Alfariel menghalangi Fariz. "Sama-sama aja, nanti gue tampol tuh setan kalau macem-macem sama lo."
Alfariel dan Fariz berjalan cepat. Sedangkan Zidan dan Gibran, membuntuti mereka berdua dari belakang.
"Matikan aja lampunya, biar setannya nggak bisa lihat kita." usul Zidan yang disetujui mereka.
Lampu langsung dimatikan, seketika keadaan makin mencekam. Mereka sudah berada di dekat pintu utama, Alfariel menghembuskan napas takut, di tangannya terdapat gelas.
"Ngapain lo bawa gelas segala? Mana isinya masih penuh lagi." Zidan menunjuk gelas yang dibawa oleh Alfariel.
"Ssttt ... " Alfariel menempelkan telunjuk di depan bibirnya. "Buat jaga-jaga aja."
Fariz memegang handle pintu ragu, antara dibuka atau tidak. Dia menoleh ke samping, Alfariel mengangguk, Fariz ikut mengangguk, memilih untuk membuka pintu.
Pintu dibuka sedikit demi sedikit, menampakkan seorang tamu yang berdiri tepat di depan pintu. Memakai pakaian warna putih, jangan-jangan ....
"Huwaaa ... " jerit Alfariel dramatis. Dengan mudahnya, diayunkan tangan kanan Alfariel yang memegang gelas.
BYUR!
Cokelat hangat itu tumpah mengenai tamu tidak diundang.
"Waduh! Baju gue, muka gue, rambut gue," ucap tamu itu sambil membersihkan tumpahan cokelat hangat.
"ABYAN?" teriak mereka kompak.
Alfariel melongo. Dia benar Abyan? Atau hantu yang menyamar jadi Abyan? Alfariel tidak mau kena tipu.
PLAK!
Satu pukulan mendarat mulus di pipi Abyan. Mata Alfariel berbinar, ternyata dia benar Abyan.
"Lo apa-apaan sih? Kenapa gue ditabok? Lo kira nggak sakit apa?" Abyan menatap nyalang ke arah Alfariel yang tersenyum kikuk.
"Sorry, sorry, gue sengaja." Alfariel memegang bahu Abyan.
Abyan berdecak. Dia berjalan memasuki rumah Fariz, menghiraukan teman-temannya yang gila itu.
"Tadi kena kopi, sekarang kena cokelat. Ketumpahan apa lagi nanti?" Abyan ngedumel sambil mengacak-acak rambutnya yang terasa lengket.
Alfariel dan yang lain cekikikan melihat tingkah Abyan.
***
Bersambung ….