Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Protes
Siang itu, Ratna dan Rani melangkah masuk ke gedung kantor Andre dengan penuh percaya diri. Mereka sudah mendapatkan ide baru untuk memancing Ana keluar, dan kunci dari rencana ini adalah Andre.
Saat memasuki kantor, Rani langsung terpukau melihat sosok Andre yang duduk di balik meja kerjanya. Pria itu terlihat gagah dengan jas hitamnya, dan wajahnya yang tenang serta karismatik membuat jantung Rani berdetak lebih cepat.
"Andre…" suara Rani terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia melangkah mendekat dengan senyum menggoda.
Andre menatapnya sekilas tanpa ekspresi. "Ada perlu apa kalian datang ke sini?" tanyanya dingin.
Ratna langsung menjawab, "Kami ingin bicara sebentar. Tolong jangan usir kami dulu."
"Aku tidak punya banyak waktu. Langsung saja ke intinya," kata Andre, menatap mereka tajam.
Rani menyandarkan tubuhnya ke meja Andre dengan sikap manja. "Andre kelihatan capek. Boleh aku pijat pundaknya?" bisiknya menggoda, sambil mengedipkan matanya.
Andre langsung menyandarkan punggung ke kursinya, menjauh dari Rani. "Tidak perlu," jawabnya datar.
Rani yang terbiasa mendapatkan perhatian dari pria, merasa kesal karena Andre sama sekali tidak terpengaruh. Ia menggigit bibirnya, lalu mencoba lagi. "Andre… aku dengar Kakak belum punya pacar, kan? Aku bisa jadi teman ngobrol yang menyenangkan, loh."
Andre menyipitkan mata. "Rani, aku tahu tujuan kalian ke sini bukan untuk ini. Katakan saja apa yang sebenarnya kalian inginkan."
Rani terdiam, merasa malu karena usahanya menggoda Andre gagal total. Ia melirik ke arah Ratna, meminta ibunya yang berbicara.
Ratna akhirnya maju. "Begini, Andre. Aku ingin meminta tolong padamu. Tolong bujuk Ana agar mau keluar dari rumah Dave. Ajak dia jalan-jalan, belanja, atau apa pun. Yang penting dia keluar dari rumah itu."
Andre langsung menatap Ratna dengan tajam. "Kenapa kalian ingin Ana keluar dari rumah Dave?"
Ratna berusaha bersikap santai. "Dia terlalu lama di sana, kami hanya ingin dia lebih bebas."
Andre menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di depan dada. "Atau kalian ingin memanfaatkannya agar dia ikut dalam rencana Lusi untuk menyingkirkan Dave?"
Mata Ratna melebar. "A-Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Ratna. Aku tahu kalian sedang bersekongkol dengan Lusi. Dan aku juga tahu bahwa Ana menolak semua rencana kalian. Jadi, aku tidak akan membantumu. Jangan pernah datang lagi ke sini dan mencoba memanfaatkanku."
Rani yang kesal akhirnya membanting tangannya ke meja. "Kenapa sih kamu selalu membela Dave?! Apa kamu lebih peduli padanya dibanding Nyonya Lusi yang sudah terzholimi?"
"Bukan masalah membela siapa. Aku hanya tidak mau ikut dalam rencana kotor kalian," jawab Andre dengan suara tegas.
Ratna menggigit bibirnya, menyadari bahwa mereka tidak bisa membujuk Andre. Dengan penuh amarah, ia menarik tangan Rani. "Ayo pergi!"
Rani melirik Andre untuk terakhir kalinya, masih kesal karena pria itu tidak tergoda olehnya.
Tanpa hasil, Ratna dan Rani akhirnya meninggalkan kantor Andre dengan wajah kesal. Sementara itu, Andre hanya menghela napas panjang, merasa semakin khawatir dengan keselamatan Ana dan Dave.
Keluar dari kantor Andre, Ratna dan Rani berjalan dengan langkah cepat menuju parkiran. Rani menghela napas kasar sambil mengeluarkan ponselnya.
"Lelaki itu benar-benar menyebalkan! Aku sudah menggoda dengan berbagai cara, tapi dia sama sekali tidak tertarik!" gerutunya.
Ratna ikut mendengus kesal. "Aku sudah menduga Andre tidak akan mau membantu kita. Dia terlalu setia pada Dave."
"Kalau begini terus, kapan kita bisa membuat Ana keluar dari rumah itu?" Rani merengek.
Ratna berpikir sejenak, lalu mendengus. "Mau tidak mau, kita harus mencari cara lain. Kalau Andre tidak bisa membantu, kita harus mencari orang lain."
"Siapa?" Rani menatap ibunya dengan bingung.
Ratna tersenyum licik. "Kita bisa meminta bantuan seseorang yang lebih dekat dengan Ana… Seseorang yang bisa membuatnya tidak punya pilihan selain keluar dari rumah itu."
Mata Rani berbinar. "Maksud Ibu… kita manfaatkan orang yang bisa mengancam Ana?"
Ratna mengangguk. "Kita perlu membuat Ana tidak punya pilihan selain menurut pada kita. Kalau dia masih keras kepala, kita akan menekan titik lemahnya sampai dia menyerah."
Rani tersenyum penuh kemenangan. "Aku suka ide itu. Tapi, siapa yang akan kita gunakan?"
Ratna menyeringai. "Seseorang yang Ana tidak bisa tolak… dan seseorang yang bisa kita kendalikan."
Mereka berdua tertawa kecil, merasa bahwa mereka akhirnya menemukan cara baru untuk menekan Ana. Sementara itu, tanpa mereka sadari, seseorang dari kejauhan sedang mengawasi pergerakan mereka.
___
Di tempat lain, Andre duduk di dalam kantornya sambil berpikir keras. Ia tahu Ratna dan Rani tidak akan menyerah begitu saja. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Ana, hati-hati. Aku punya firasat mereka akan mencoba sesuatu lagi," kata Andre, suaranya penuh kekhawatiran.
Di seberang telepon, Ana terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Aku tahu, Andre. Aku juga tidak akan tinggal diam."
Andre menghela napas. "Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, segera beri tahu aku atau Dave. Jangan hadapi mereka sendirian."
Ana tersenyum kecil. "Aku mengerti. Terima kasih, Andre."
Setelah menutup telepon, Ana menggenggam ponselnya erat. Ia tahu ibunya dan kakaknya tidak akan berhenti. Tapi kali ini, Ana tidak akan mudah dijebak. Ana langsung berjalan cepat menuju ruang kerja Dave. Tanpa mengetuk pintu, ia mendorong pintu dan masuk ke dalam.
Dave yang sedang membaca dokumen mendongak, menatap Ana dengan alis terangkat.
"Kenapa masuk tanpa izin?" tanyanya dengan nada malas.
Ana tidak peduli. Ia melangkah mendekat dan berkata tegas, "Ayo, kita latihan berjalan lagi. Sekarang juga."
Dave menatapnya beberapa detik, seolah ingin membantah, tetapi entah kenapa, kali ini ia tidak mengatakan apa pun.
Dengan tenang, ia menutup dokumen di tangannya dan berkata, "Baik. Bantu aku berdiri."
Ana agak terkejut karena Dave tidak banyak protes seperti biasanya, tapi ia segera melangkah mendekat, membantu Dave untuk berdiri dari kursi rodanya.
Perlahan, Dave menopang berat tubuhnya pada Ana, mencoba untuk tetap seimbang. Langkah pertamanya masih goyah, tapi Ana dengan sabar menggenggam lengannya untuk memberi dukungan.
"Jangan terburu-buru, tapi juga jangan takut jatuh," kata Ana, suaranya lembut namun penuh semangat. "Kau bisa melakukannya, Dave."
Dave menghela napas, menatap lurus ke depan, lalu mulai melangkah lagi.
Ana tersenyum kecil. Meski Dave tidak mengatakannya dengan kata-kata, ia tahu pria itu mulai memiliki keinginan kuat untuk sembuh.
Latihan berjalan sore itu berlangsung lebih lama dari biasanya. Dave tidak lagi banyak mengeluh, dan Ana terus memberinya semangat.
Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan suasana yang tenang. Di dalam rumah, Dave terus berusaha melangkah, sementara Ana tetap berada di sisinya.
Tanpa mereka sadari, ada perubahan kecil yang mulai terjadi—baik dalam diri Dave maupun hubungan mereka.