Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Luka yang Tak Terucap
Sudah seminggu berlalu sejak pesta ulang tahun Madeline yang berakhir dengan rasa pahit. Rumah keluarga Alvaro perlahan kembali ke rutinitasnya, namun ada satu yang masih menjadi teka-teki besar: Celeste.
Ia menghilang selama dua hari tanpa kabar. Tak ada pesan, tak ada telepon, bahkan Madeline pun tak tahu ke mana perginya gadis itu. Para pelayan mulai saling bertanya-tanya. Clarissa, yang kini mulai bertingkah seolah rumah itu miliknya, hanya menjawab dengan nada malas, "Katanya sih, dia liburan. Sama teman-teman lamanya."
Kalimat itu cukup membuat Madeline merasa aneh. Celeste bukan tipe orang yang akan pergi begitu saja tanpa pamit. Dan "teman lama" mana yang dimaksud? Madeline sudah tahu cukup banyak tentang Celeste.
Gadis itu tidak punya lingkaran pertemanan yang luas. Tidak ada nama-nama yang familiar sebagai sahabat dekat. Bahkan, Celeste lebih sering menyendiri.
Namun semua spekulasi terhenti pada hari ketujuh.
Sore itu, pintu depan terbuka dengan suara lembut. Celeste masuk dengan langkah pelan. Rambutnya terurai berantakan, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak lebih kurus. Ia memakai sweater panjang yang menutupi hingga ke paha, seolah ingin menyembunyikan sesuatu.
Madeline, yang sedang membaca buku di ruang tamu, langsung berdiri.
"Celeste? Ya Tuhan... kamu ke mana saja?"
Celeste hanya tersenyum samar. "Maaf tante... aku cuma... pergi sebentar."
Namun Madeline bukan orang bodoh. Ia mendekati Celeste dan langsung melihat luka samar di pergelangan tangannya. Ada juga lebam tipis di sisi leher yang seolah disembunyikan dengan rapi. Madeline menahan napas.
Tanpa banyak tanya, ia menarik Celeste ke kamarnya. Ia membersihkan luka-luka gadis itu dengan lembut, penuh kasih seperti seorang ibu yang sedang merawat anak kandungnya. Mata Madeline bergetar menahan emosi.
"Celeste... siapa yang melakukan ini padamu?"
Celeste hanya menggeleng. "Aku jatuh... dari tebing. Aku... aku main sama teman lamaku, hiking. Aku ceroboh."
"Celeste."
Madeline menatap tajam mata Celeste, namun gadis itu tak bergeming. Ia mempertahankan kebohongannya dengan senyuman lembut. Tapi senyuman itu seperti topeng.. tipis, rapuh, dan menyakitkan.
Madeline tidak percaya. Tapi ia memilih diam. Mungkin belum saatnya Celeste bercerita. Mungkin luka itu bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati. Dan yang bisa Madeline lakukan sekarang hanyalah menunggu.
Di luar kamar, Clarissa menyusup menguping dari balik tembok. Ia tersenyum puas melihat Celeste kembali dalam keadaan lemah. Tapi senyum itu tak bertahan lama saat ia melihat Madeline keluar dari kamar dengan wajah khawatir. Satu hal yang Clarissa benci adalah, perhatian Madeline hanya tercurah pada Celeste, bukan padanya.
Sementara itu, malam turun dengan pelan. Celeste duduk di pinggir ranjang, menatap tangannya yang diperban. Hatinya perih, tubuhnya lelah. Tapi satu hal yang ia jaga dengan sekuat tenaga: diam.
Tak seorang pun boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi di Singapura. Tentang ruangan gelap tempat ia diinterogasi. Tentang teriakan ayahnya. Tentang cengkeraman kasar yang meninggalkan bekas di tubuhnya. Tentang ancaman bahwa waktu mereka hanya tersisa satu bulan.
Ia tak peduli lagi tentang misi. Tentang pernikahan. Tentang perjanjian yang seolah mengikat masa depannya. Yang ia inginkan hanya satu: kebebasan.
Meskipun hanya enam bulan.
Dan waktu terus berjalan. Detik demi detik menuju kehancuran atau penyembuhan.
Tak ada yang tahu.
Tak boleh ada yang tahu.