Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 - Bukan Pilihanmu
Dahi Aruni berkerut dalam, hampir tanpa sadar, saat mendengar ucapan Bagas yang terdengar mencurigakan di telinganya. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang mengusik hatinya lebih dari sekadar rasa penasaran.
Tubuhnya seketika menegang, seolah ada hawa dingin yang menyusup ke sela-sela kulitnya. Dadanya terasa sesak, seperti ditimpa beban berat yang tak terlihat. Napasnya tertahan di tenggorokan, membentuk gumpalan ketakutan yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Maksudmu apa?" Suara Aruni keluar pelan namun berat, penuh tekanan, nyaris bergetar.
Bukan lagi nada ringan dan percaya diri seperti sebelumnya saat dirinya membahas kecocokan antara dirinya dan Rajendra.
Kali ini, suara Aruni berubah menjadi serius, bahkan sedikit kasar, tanpa ia sadari. Dia pun menghapus embel-embel Kak yang selama ini mengiringi panggilannya, isyarat bahwa hatinya mulai berontak, menolak untuk tetap menaruh hormat pada Bagaskara.
Di hadapannya, Bagaskara hanya tersenyum. Sebuah senyum tipis yang terasa getir, penuh ironi. Senyum itu bukannya menjawab, melainkan meninggalkan seribu pertanyaan yang menggerogoti Aruni dari dalam.
Tanpa berkata apa pun lagi, Bagaskara berbalik, seolah hendak meninggalkannya begitu saja.
Aruni tercekat, ada ledakan emosi yang tak bisa ia bendung. Dia tidak sudi dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Dengan gerakan cepat, Aruni melepaskan tangan Rajendra sesaat, lalu meraih lengan Bagaskara dengan cengkeraman erat. Tangannya gemetar, tapi doa bertahan, menahan langkah pria itu agar tidak pergi begitu saja.
"Jelaskan padaku ... apa maksudmu!!" desak Aruni dengan suara yang kian meninggi, pecah oleh emosi yang sudah menggelegak.
Matanya membulat, menatap langsung ke mata Bagaskara, mata yang kini dipenuhi kebahagiaan, tapi juga rasa bersalah.
Sorot mata Aruni begitu dalam, seperti lautan gelap yang menuntut kejujuran, sekaligus mengungkapkan betapa rapuhnya dia saat ini.
Bagaskara menahan napas sejenak. Dia menatap Aruni cukup lama, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun tak satu pun terasa cukup untuk memperbaiki apa yang baru saja dia hancurkan.
Aruni bisa merasakan kegamangan pria itu. Dia bisa melihatnya dalam cara Bagaskara menarik napas panjang, dalam cara jemarinya menggenggam udara kosong seolah berusaha meraih sesuatu yang tidak ada.
Untuk sesaat, waktu seakan membeku di antara mereka.
"Aku ...." Bagaskara akhirnya bersuara, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Tidak ada, Aruni, aku hanya berandai-andai. Seharusnya dari awal aku melamar mu untuk Rajendra ... bukan untuk diriku sendiri."
Kalimat itu kembali menghantam Aruni seperti badai yang membuat dunianya porak-poranda.
Seketika, cengkeramannya melemah. Dia mematung di tempat, memandangi Bagaskara dengan mata berkaca-kaca, ternyata rasa sakit lantaran Bagas buang malam itu masih ada.
Iya, bahkan sakitnya begitu dalam, hingga dia merasa seolah seluruh dadanya hancur berkeping-keping.
Bukan hanya kata-kata Bagaskara malam itu yang membuat Aruni terluka, melainkan juga dugaan bahwa kehadirannya selama ini mungkin hanyalah bagian dari permainan besar yang tidak pernah benar-benar menginginkan dirinya.
Hening menguasai udara di antara mereka. Hanya suara napas Aruni yang kini terdengar berat, tersengal, seolah berusaha tetap berdiri di atas reruntuhan hatinya sendiri.
Sakit itu mendekam di dada Aruni, mencengkeram hatinya erat-erat. Tapi di tengah kepedihan itu, perlahan, seberkas kekuatan aneh bangkit dari dalam dirinya, kekuatan untuk bertahan, meski hatinya remuk.
Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan serpihan harga dirinya yang berserakan. Wajahnya yang semula pucat kini perlahan mengeras, matanya berkedip pelan, menghapus embun yang menggenang.
Kemudian, dengan suara yang terdengar jauh lebih tenang dibandingkan dengan gejolak di dadanya, Aruni berkata. "Ah iya, setelah kupikir-pikir memang seharusnya begitu."
Kata-katanya mengalir datar, tanpa intonasi marah atau sedih, justru itulah yang membuatnya terdengar begitu menusuk, begitu dingin, seakan-akan Aruni melepaskan Bagaskara tanpa sisa rasa.
Bagaskara tertegun. Dia memandang Aruni dengan sorot mata yang sulit dibaca, seolah ia tidak menyangka Aruni akan merespons dengan sedingin itu. Ada sesuatu di wajahnya, ketidakpastian, mungkin juga penyesalan yang semakin dalam.
Aruni menarik tangannya perlahan dari lengan Bagaskara, menegakkan tubuhnya dengan penuh wibawa. Dia menatap pria itu dalam-dalam, satu tatapan terakhir yang mengandung ribuan rasa sakit atas penolakan dan ucapan Bagas tentang kesuciannya malam itu.
"Dan, setelah melihat sikapmu pagi ini, agaknya aku mengerti bahwa sejak awal aku memang bukan tujuan akhirmu."
.
.
Aruni tersenyum kecil, senyum yang penuh getir namun tegar sebelum akhirnya melangkah mundur, menciptakan jarak di antara mereka.
Setelah menyampaikan kata-kata yang mungkin sudah cukup untuk meluapkan isi hatinya, Aruni membalikkan badan dan menjauh dari Bagaskara.
Langkahnya begitu mantap, meski dadanya terasa sesak menahan ribuan emosi yang bergejolak.
Tanpa ragu, Aruni melangkah cepat ke arah Rajendra. Dia berhenti tepat di hadapan pria itu, menatapnya dengan sorot mata yang penuh keputusan.
Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, Aruni kembali menggenggam tangan Rajendra erat-erat, genggaman yang bukan hanya menuntut kehadiran, tapi juga mempertegas pilihannya.
Rajendra terdiam sejenak, meski tadi sudah Aruni lakukan, tetap saja dia terkejut. Namun, saat dia melihat kilatan kesedihan dan tekad di mata Aruni, ia menguatkan genggamannya.
Dia tidak akan bertanya, tidak mendesak. Dia hanya mengangguk kecil, seolah berkata, Aku mengerti, Aruni.
Tanpa membuang waktu, Aruni menarik Rajendra untuk pulang bersamanya, berjalan menuju pintu keluar rumah itu.
Mama mertuanya mencoba menahan, mereka berusaha bersikap baik dan hangat, tapi hanya Aruni tanggapi dengan kata-kata singkat, tapi terkesan cukup pedas untuk digunakan di hadapan mertua. "Lain kali saja, jangan memaksa karena saya tidak suka."
Ya, begitu cara Aruni pamit dan kembali melangkah. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti langkah menjauh dari luka, dari kebohongan, dari semua kepura-puraan yang telah melukai hatinya.
Dan, Rajendra yang di sebelahnya bisa menangkap hal itu. Dia tahu Aruni terluka, bahkan mungkin juga kecewa karena sejauh yang dia ketahui, hubungan antara Bagaskara dan Aruni sewaktu berstatus sebagai tunangan begitu baik, bahkan sudah terlihat sangat cocok sebagai pasangan.
Langit cerah membentang di atas kepala, dihiasi awan putih yang melayang perlahan, seolah menjadi saksi bisu keputusan besar yang baru saja diambil Aruni.
Aruni sedikit mempercepat langkahnya, seolah ingin segera menjauh dari rumah itu, dari semua perasaan yang memberatkannya. Rajendra memahami tanpa perlu bertanya. Dia menyesuaikan langkahnya, tetap menjaga irama langkah mereka agar tidak terputus.
Sesampainya di mobil, Rajendra dengan cekatan membukakan pintu untuk Aruni. Gadis itu melirik ke arahnya, ada senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya, lebih sebagai ungkapan terima kasih yang dalam daripada ekspresi bahagia.
Tanpa banyak bicara, Aruni masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang. Tangannya yang tadi erat menggenggam kini perlahan terlepas, meski rasa hangat itu tetap tinggal di sela-sela jarinya.
Rajendra menutup pintu dengan hati-hati, lalu segera mengitari mobil untuk masuk ke sisi kemudi. Suara lembut mesin mobil yang dinyalakan memecah keheningan pagi yang hening namun syahdu.
Sebelum memulai perjalanan, Rajendra sempat menoleh ke arah Aruni, memastikan keadaannya. "Aku baik-baik saja, Kak, cepat jalan," ucap Aruni secara tiba-tiba dan sukses membuat Rajendra meneguk salivanya susah payah. "Apa ekspresiku terlalu kentara?"
.
.
- To Be Continued -