Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Jangan Ada Lagi Air Mata
“Ya aku cemburu. Puas kamu!”
Tanpa Gena ketahui, Jenar menahan senyum mendengar pengakuannya. Muka lelaki itu tampak memerah karena kelepasan bicara.
“Kamu ... cemburu lihat aku sama dokter Hanif?” tanya Jenar penuh harap.
Karena takut ucapannya membuat Jenar salah paham—atau bahkan mungkin merusak hubungannya dengan Jenar, Gena menjawab—
“Ya, aku cemburu. Kenapa harus dokter Hanif yang kamu ajak nongkrong? Kalau kamu butuh teman bercerita, aku kan selalu ada buat kamu. Selain itu, aku juga cemburu sama kamu yang memiliki waktu banyak untuk bersantai, sementara aku di sini kesulitan mengurus Jihan. Setidaknya, tahan keinginan kamu untuk bersantai itu setelah Jihan dapat orang tua adopsi.”
Konyol memang. Gena mengarang alasan yang sebenarnya masuk akal, tapi tetap terdengar konyol seolah-olah ia melarang Jenar menikmati masa muda. Gena tahu ia berlebihan di sini. Akan tetapi, akan lebih bahaya lagi jika ia menunjukkan perasaannya pada Jenar—yang bahkan belum tentu memiliki perasaan yang sama dengannya, pikir Gena.
“Jadi kamu marah aku ketemu sama dokter Hanif karena nganggap aku nggak peduli sama Jihan?”
“Lain kali ingat waktu aja. Kamu juga harus bilang ke aku sama siapa kamu ketemu di luar sana. Gimana pun, partner kamu sekarang itu aku. Aku berhak tau semua aktifitas kamu dan orang yang dekat sama kamu.”
Jenar tersenyum miris. Lagi, ia salah paham. Ia pikir tadinya Gena cemburu karena lelaki itu memiliki perasaan terhadapnya. Ternyata malah cemburu karena tidak bisa bebas sepertinya.
“Kamu nggak tau tadi Dokter Hanif bilang apa sama aku di kafe?”
Gena langsung menggeleng. “Itu bukan urusanku,” elaknya.
Jenar menelan kekecewaan. Namun sebisa mungkin ia memasang wajah tenang dan tegar untuk menutupi kegelisahannya. Sumpah, sehari ini Jenar begitu capek. Capek dengan pikirannya sendiri, capek pula dengan perasaannya pada Gena yang terus bertumbuh.
“Aku istirahat dulu,” pamit Jenar yang langsung menuju kamar dan meninggalkan Gena sendirian di ruang tamu.
Baru saja ia mendudukkan badannya di bibir ranjang, suara Gena kembali terdengar—
“Kalau udah siap beres-beres, langsung ke ruang makan, ya? Aku masak dulu.”
Dapat Jenar dengar setelahnya suara langkah Gena yang perlahan menjauh dari kamar itu. Jenar menghela napas berat, lantas merebahkan badannya sejenak di atas kasur nan empuk. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit kamar.
Gena, kenapa kamu bersikap seolah kamu menyukai aku, tapi nyatanya kamu nggak punya perasaan apa-apa ke aku? Aku takut nggak bisa lupain kamu.
****
Balado telur dan sayur nangka menjadi menu makan malam mereka. Keduanya agak canggung setelah kejadian tadi. Mereka hanya ngobrol seperlunya.
Gena, pencipta kecanggungan itu akhirnya berniat mencairkan suasana. Ia membahas perihal orang tua asuh Jihan. Tadi, saat Jenar pergi dengan dokter Hanif, Gena sejujurnya telah memilih siapa yang berhak mengadopsi Jihan. Untuk itulah ia coba menyampaikannya pada Jenar malam ini.
“Oh ya, Je. Perihal orang tua asuh, sebenarnya aku udah dapatin siapa pemenangnya. Tapi kita perlu beberapa kali lagi lihatin apa dia sanggup mengurus Jihan atau enggak. Nggak bisa sekali coba aja. Aku sih tertarik sama yang terakhir tadi. Dia telaten mengurus anak.”
Jantung Jenar mencelus mendengarnya. Wajahnya berubah murung, seperti tidak rela dengan keputusan Gena. Dan ternyata, hal itu disadari oleh Gena.
“Kenapa kamu murung?” tanya Gena, bingung.
“Aku ... boleh jujur, nggak?”
“Jujur tentang?”
Jenar menarik napas dalam-dalam, lantas berkata. “Sebenarnya ... aku nggak mau Jihan lepas ke tangan siapa pun.”
Gena tercengang mendengarnya. “Lho, kenapa tiba-tiba? Bukannya kamu yang kemarin semangat nyariin orang tua asuh buat Jihan?”
Mata Jenar terasa perih. Sosok Gena kian memburam di pelupuk matanya karena terhalang cairan bening.
“Kemarin memang aku yang semangat. Tapi, setelah aku pikir-pikir, aku nggak mau lepasin Jihan sebagai satu-satunya peninggalan almarhum Kakakku dilepas ke orang lain. Aku nggak bisa bayangin gimana hancurnya Kak Leknor kalau tahu hal ini. Aku ngerasa berdosa banget...”
“Jadi, aku berubah pikiran. Aku memutuskan ingin merawat Jihan langsung dengan tanganku sendiri. Aku udah mulai sayang sama Jihan. Sayang banget malah,” jujur Jenar.
Gena memijat kepalanya yang berdenyut. Sejujurnya, ia juga memiliki pemikiran yang sama dengan Jenar. Ia ingin merawat bayi itu. Gena pun merasa kasih sayangnya pada Jihan semakin bertambah setiap harinya. Setiap melihat Jihan, ia jadi teringat dengan mendiang kakaknya.
“Ya ... sebenarnya aku juga pengen mengasuh Jihan. Kalau itu mau kamu, oke, aku nggak akan kasih Jihan ke orang tua asuh mana pun.”
Jenar tersenyum mendengarnya. Tapi senyum itu tidak bertahan lama saat Gena berkata—
“Sebagai gantinya, aku akan mengambil hak asuh Jihan. Jihan akan tinggal sama aku. Fair kan?”
Senyum Jenar meredup, berganti sorot protes. “Tinggal sama kamu? Maksud kamu, kamu mau ngambil hak asuh Jihan sepenuhnya dari tangan aku?!”
“Lebih tepatnya, aku yang akan merawatnya. Kamu masih bisa melihat Jihan. Tapi dia akan tinggal sama aku.”
Sederhana, tapi membuat Jenar merasa lebih sakit dibanding waktu Gena mencari kandidat orang tua asuh.
Jenar tidak terima. Jihan harus ikut dengannya. Tidak ada yang bisa mengambil Jihan darinya.
“Kenapa kamu jadi seenaknya begitu? Aku tante Jihan. Untuk urusan hak asuh, jelas Jihan harus jatuh ke tangan aku! Apalagi aku perempuan!”
“Terus? Aku nggak berhak dapat hak asuh Jihan? Aku ini adik kak Astri—Mamanya Jihan. Untuk soal waktu mengasuh, aku punya banyak waktu. Sementara kamu adalah wanita karir yang sibuk sama pekerjaan kantor. Mana mungkin kamu memiliki waktu luang untuk mengasuh Jihan?”
Jenar tetap tidak terima. Akhirnya terjadilah pertengkaran ringan antara mereka. Dari ringan, sampai keduanya saling sakit hati dan pusing dengan perdebatan ini.
“Gena, tolonglah. Cuma Jihan satu-satunya keluarga yang aku punya. Dia harus sama aku,” Jenar tetap bersikeras.
“Kamu ini keras kepala sekali. Rasa sayang aja nggak cukup untuk menghidupi Jihan, Je. Harus ada waktu luang, harus telaten, harus mampu menafkahi dia. Nggak semua hal bisa kamu gampangin.”
“Kamu yang terlalu menggampangkan sesuatu!”
Mendengar hal itu membuat Gena lelah. Ia merasa capek berdebat dengan Jenar hingga akhirnya berdiri dari meja makan.
“Terserah kamu lah! Aku capek ngadepin kamu!”
Hanya itu yang Gena katakan, sebelum akhirnya keluar dari ruang makan—bahkan keluar dari rumah itu.
Tinggal Jenar sendiri. Dadanya terasa sempit seperti habis dihimpit benda berat. Jenar susul Gena yang pergi tanpa pamit, air matanya jatuh berderai memandangi lelaki itu yang kini menghilang di balik pintu.
Tubuh Jenar jatuh ke lantai. Ia terisak, merasa ditinggalkan untuk kesekian kalinya. Sudah tahu Jenar trauma dengan perpisahan. Lantas kenapa Gena bersikap seolah ingin meninggalkannya?
Kata ‘capek’ yang Gena ucapkan bermakna dalam untuk Jenar. Setakut itu Jenar orang-orang pergi darinya karena ‘capek’. Ia pun takut Gena mengambil Jihan dan membawanya pergi. Karena saat ini hanya Jihan yang Jenar punya.
Jenar terduduk letih dengan posisi menekuk lutut seraya menenggelamkan wajahnya di sana. Bahunya naik turun karena menangis.
“Kenapa, sih, Kakak ninggalin aku begitu cepat? Hidup aku kacau sekarang tanpa Kakak,” lirih Jenar.
Bersamaan dengan itu dapat Jenar rasakan sebuah sentuhan di bahunya. Jenar mendongakkan wajah, mendapati Gena berdiri di hadapannya sembari melempar tatapan sendu.
Gena meraih tangan Jenar untuk membantunya berdiri. Saat posisi mereka sudah berhadapan, Gena berujar, “Aku nggak akan ninggalin kamu....”
Dan setelahnya Gena raih tubuh itu dalam dekapan hangat. Jenar menenggelamkan wajahnya di dada bidang Gena. Ia menangis di sana, membuat kemeja yang Gena kenakan basah.
“Maaf tadi udah bentak kamu. Aku hanya kebawa perasaan. Maaf banget,” bisik Gena.
Tanpa disadari matanya juga memerah. Lelaki itu terlihat akan menangis karena teringat pada kakaknya. Ternyata, pembahasan tentang Jihan sama-sama membuat mereka terluka.
“Hei, dengerin aku.” Gena melepas pelukan mereka, lantas menyeka air mata Jenar. “Aku selalu di sini buat kamu. Soal Jihan, kita jalani aja dulu. Aku nggak bisa jamin apa kita bisa bahagiain Jihan. Tapi, kita bisa berusaha untuk selalu membahagiakan Jihan. Aku nggak akan kasih Jihan ke siapa pun. Kita yang salah di sini karena mikirin nasib kita aja. Dengan tega kita ngasih Jihan ke orang lain,” papar Gena.
“Nggak lagi. Jihan ... anak kita,” tutupnya.
Jenar menghela napas lega. Seakan tercabut duri menyakitkan yang menancap di dadanya. Kini ia sudah sedikit tenang. Merasa lega karena Jihan tidak akan diadopsi siapa-siapa. Mungkin ke depannya mereka akan membuat jadwal mengasuh Jihan agar adi untuk mereka berdua.
“Gena, makasih udah ngertiin aku...”
“Sama-sama, Jenar.”
Setelah puas bicara dari hati ke hati, mereka berdua sepakat masuk ke kamar Leknor dan Astri yang telah lama tak berpenghuni. Tidak sanggup rasanya masuk ke kamar ini sendiri. Jenar sakit tiap kali melihat barang peninggalan almarhum kakaknya itu.
Kamar ini masih sama seperti dulu. Ah, bahkan, saking tidak beraninya masuk ke kamar ini, baju-baju yang berserakan di atas ranjang itu masih sama posisinya seperti hari terakhir Astri dan Leknor hidup—sebelum kecelakaan terjadi.
Aroma khas Leknor dan Astri menyeruak di kamar ini. Rasa-rasanya Jenar mau pingsan jika menuruti emosionalnya. Tapi kali ini ia lawan rasa sakit itu. Kamar ini harus dibersihkan. Jika tidak, mau sampai kapan ia biarkan barang-barang di kamar ini berantakan?
“Kalau kamu nggak kuat, kita keluar aja. Kapan-kapan aja kita beresin.”
Jenar menggeleng. Dengan menguatkan hati, ia berkata—
“Ayo kita bersihin kamar ini bareng-bareng. Kalau enggak sekarang, kapan lagi?”
“Ya udah, kita hadapin ini bersama.”
Dan akhirnya, untuk pertama kali setelah sekian lama, mereka membersihkan kamar kakak-kakak mereka. Keduanya sama-sama menangis. Tapi, bukan tangis yang membuat keduanya frustrasi, melainkan tangis untuk membersihkan perasaan dari segala sakit tak berkesudahan.
Pokoknya, setelah ini jangan lagi ada air mata...
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇