NovelToon NovelToon
LINTASAN KEDUA

LINTASAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / SPYxFAMILY / Identitas Tersembunyi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:19.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.

Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.

Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?

Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.

Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Terlambat

Lintasan Tengah Kota – Malam Hari

Malam itu, lintasan kosong. Lampu-lampu gantung bergetar tertiup angin, menciptakan bayangan seperti siluet hantu masa lalu.

Aylin berdiri di pinggir aspal. Jaketnya terbuka sedikit, memperlihatkan liontin kecil peninggalan sang kakek. Motor tua yang telah diperbarui menderu pelan di sampingnya, seolah tahu siapa yang akan mengendarainya malam ini.

Ia menatap jalan panjang di depannya, hening. Dalam pikirannya, masa lalu terputar seperti film hitam putih—ibunya yang terdiam menatap pintu tanpa suara, ayahnya yang tak pernah pulang, dan seorang lelaki tua yang selalu ada… dalam bayangan.

“Lintasan kedua ini... bukan tentang ayahku. Bukan tentang lelaki pengecut yang meninggalkan ibuku demi wanita lain.”

“Ini tentang seseorang yang lebih besar. Lelaki yang berdiri diam dalam bayangan, melindungi banyak nyawa. Lelaki yang dunia hitam pun segani...”

Dia menatap ke depan. Suara knalpot dari kejauhan semakin dekat. Entah siapa yang datang—teman atau lawan. Tapi Aylin bergeming.

Dia menatap ke depan. Sorot lampu dari kejauhan memecah kegelapan.

“Dan malam ini... aku bawa darahnya.”

Tangannya meremas grip motor. Lampu depan menyala.

Dan di antara denting rantai besi dan desiran malam, Aylin bersiap—untuk perjalanan yang tak pernah benar-benar jauh dari takdirnya.

***

Langit menjelang subuh – Atap markas Rayyan

Angin dini hari berembus dingin, membawa aroma logam dan kabut tipis dari kejauhan. Kota masih terlelap. Dari atap markas Rayyan, lampu-lampu pelabuhan tua terlihat seperti bintang yang jatuh ke laut.

Aylin berdiri di tepian dinding pengaman, menatap jauh ke horizon, mengenakan jaket kulit usang milik kakeknya. Di tangannya, helm tua berukir singa masih ia genggam erat. Napasnya terlihat samar-samar di udara.

Langkah lembut menyusul dari belakang. Akay.

Ia tak berkata apa-apa saat menghampiri Aylin, hanya berdiri di sisinya. Bahu mereka saling bersentuhan, hangat melawan udara dingin.

“Masih sempat ragu?” tanya Akay pelan.

Aylin menggeleng, tapi matanya tidak lepas dari langit. “Bukan ragu. Takut, iya.”

Akay tersenyum tipis. “Takut berarti kamu masih manusia.”

Aylin menoleh. “Aku takut kehilangan lagi, Kay. Setelah semua yang kita lewati… aku takut kalau ini perjalanan yang nggak ada jalan baliknya.”

Akay memutar tubuhnya, lalu perlahan menangkup wajah Aylin. “Kalau kita pulang... kita pulang berdua. Atau kita nggak pulang sama sekali.”

Aylin menatap dalam ke matanya, dan di situlah—semua rasa gugup, semua kecemasan, dan semua cinta yang mereka kubur selama ini, tumpah begitu saja.

“Kay…”

Akay mendekat. Kening mereka bersentuhan. Hening.

“Aku akan lindungi kamu. Bukan karena kamu punya liontin. Tapi karena kamu adalah... rumahku.”

Aylin menutup matanya. “Jangan pernah berhenti jadi rumahku, ya.”

Dan di bawah cahaya bulan terakhir malam itu, mereka saling mencium—lama, pelan, penuh janji yang tak terucap.

Sebelum dunia mereka kembali jadi medan perang.

***

Langit Istanbul belum benar-benar terang ketika roda pesawat menyentuh landasan. Aylin menggenggam tangan Akay erat, seolah napasnya tertinggal di tanah air. Meski udara dingin musim semi menyambut mereka dengan desahan angin Timur, di dalam dadanya ada badai yang belum juga reda.

Bandara sepi. Terlalu sepi.

Seorang pria muda dengan jas panjang warna abu-abu menunggu di ujung koridor. Ia tak membawa papan nama, tapi Akay langsung mengenalinya.

"Itu orang Tuan Zayn," bisiknya.

Aylin mengangguk pelan.

Pria itu menunduk sopan. “Tuan dan Nyonya sudah ditunggu. Kendaraan dan penginapan sudah disiapkan. Jalur aman. Kita tidak akan lewat imigrasi.”

Mereka dibawa keluar lewat lorong rahasia, lalu masuk ke dalam mobil hitam berlapis baja. Mesin melenguh pelan, meninggalkan bandara menuju jalanan tua yang memeluk pinggiran kota.

Sepanjang perjalanan, Aylin menatap ke luar jendela. Reruntuhan kuno, pilar-pilar retak, dan gerbang-gerbang batu yang setengah tertelan waktu menyapa mereka. Istanbul, kota yang menyembunyikan sejarah dalam napasnya sendiri.

"Perpustakaan Tertutup..." gumamnya. "Kau yakin tempat itu benar-benar ada?"

Akay meliriknya. “Kalau liontinmu bisa membuka proyektor dari motor kakekmu dan memunculkan peta yang tak tercatat di sistem manapun, aku yakin.”

Aylin menggigit bibir. Ia masih mengingat sorot bangga Bismo saat peta itu muncul—urat rute ke kota tersembunyi yang konon berada di bawah Konstantinopel. Dan titik merah… berdenyut seperti jantung masa lalu yang belum padam.

***

Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, di sebuah rumah joglo yang berdiri kokoh. Rumah milik mendiang nenek Aylin—saksi bisu masa kecilnya yang penuh kehangatan dan kenangan.

Tapi malam ini, keheningannya terasa berbeda.

Tiga sosok berpakaian hitam turun dari mobil listrik hitam matte yang berhenti tak jauh dari gang kecil di belakang rumah. Langkah mereka senyap, nyaris tak terdengar di atas trotoar berlapis batu alam. Salah satunya membawa alat pemindai kecil, menyalakan layar biru transparan. “Energi magnetik residual terdeteksi. Liontin itu pernah ada di sini.”

Yang memimpin misi itu—seorang wanita muda berambut perak pendek—mengangguk. “Black Nova tidak boleh gagal malam ini. CEO ingin hasilnya sebelum matahari terbit.”

Namun saat mereka mendekat, seseorang melangkah keluar dari bayangan beranda. Seorang pria berambut putih dan tubuh tegap, berdiri dengan tangan terlipat.

“Kalian melangkah terlalu dekat ke tempat yang bukan milik kalian,” ucap pria itu, berdiri tenang dengan senapan pendek di tangannya. Tubuhnya kekar, wajahnya bersih tanpa ekspresi.

Wanita itu mendongak. “Kami hanya menelusuri jejak. Ini misi pengamatan.”

“Tak ada yang perlu ditelusuri di tempat ini.”

Lampu-lampu di sekitar rumah menyala otomatis. Sinar hangat namun mencurigakan. Empat pria bersenjata ringan muncul dari berbagai sudut—atap, samping pagar, bahkan dari pos satpam yang tampak seperti bangunan kosong. Wajah-wajah tajam, mata waspada. Mereka tidak berbicara. Mereka hanya menatap.

Pria berambut putih melangkah maju. “Kalian datang dengan sopan, pulanglah dengan sopan. Dan ingat ini: dunia sedang berubah. Dan kalian tidak di pihak yang benar.”

Wanita dari Black Nova mendesis, lalu menekan sesuatu di alat komunikasinya. “Misi gagal. Mereka sudah lebih dulu mengunci lokasi.”

Sementara itu, pria berambut putih menatap mereka tajam. “Sampaikan pesan ini pada CEO kalian: dunia teknologi tak selalu bisa menaklukkan masa lalu. Karena beberapa rahasia... hanya bisa dijaga oleh darah.”

Dengan langkah teratur, Black Nova mundur. Misi usai—untuk malam itu.

Tapi perang sudah dimulai.

Beberapa menit setelah kepergian Black Nova.

Wanita bertopi rajut berdiri di ambang pintu ruang tamu. Matanya menyapu setiap sudut. Hening. Tapi ada jejak: secangkir teh masih hangat di meja sudut. Buku kecil tertinggal dalam posisi terbuka.

"Ini bukan rumah yang ditinggalkan karena waktu—ini rumah yang ditinggalkan dengan sengaja."

Kazehaya menunduk, memungut potongan kecil kain dari lantai kayu yang retak—sobekan jaket militer. Pandangannya kemudian terangkat ke atas lemari, di mana sebuah foto tua terpajang. Wardhana, berdiri di depan laboratorium kecil. Sorot matanya tajam, seperti tahu rahasia dunia.

Wanita bertopi rajut menahan napas. “Gadis itu... dia pasti menuju ke tempat itu.”

Kazehaya mengangguk perlahan. “Dia sudah bergerak. Dan kita terlambat.”

Langkah mereka berpadu saat meninggalkan rumah. Di dalam mobil, layar digital menyala, memunculkan peta kota tua yang dulu menjadi bagian proyek rahasia bersama Wardhana.

“Kalau kita bisa menebaknya,” ujar wanita itu pelan, “mereka juga bisa.”

Kazehaya mengepalkan tangan di setir. “Dan itu artinya... perlombaan baru saja dimulai.”

***

Di belahan dunia bagian lain

Mobil yang ditumpangi Akay dan Aylin berhenti di pelataran sebuah rumah tua, tertutup tanaman rambat dan pagar besi berkarat. Di dalamnya, alat-alat klasik bertebaran, termasuk motor tua warisan kakeknya yang kini sudah diperbaharui.

“Kompas mekanik,” Aylin membisikkan nama yang Bismo berikan.

Dari kejauhan, azan Subuh berkumandang. Suaranya menggema lirih, seolah menyatu dengan udara Istanbul yang penuh rahasia.

Akay menarik napas. “Mulai dari sini, kita tidak bisa kembali.”

Aylin memutar liontin di lehernya, lalu mengangguk. “Aku tahu. Tapi bukankah kita memang ditakdirkan untuk membukanya?”

Akay menatapnya dalam, lalu menyerahkan helm berukir singa ke tangannya. “Kalau kita gagal, dunia mungkin tetap sama. Tapi kalau berhasil… sejarah akan menatap kita dengan nama baru.”

“Penjaga,” bisik Aylin.

Helm terpasang. Motor menyala dengan dentuman halus namun mantap. Cahaya peta holografik kembali muncul, melayang di antara mereka, mengarahkan ke lorong tersembunyi di bawah kota.

Dan mereka pun melaju, menuju bayang-bayang masa lalu yang belum selesai dituliskan.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Puji Hastuti
Mantab, tim yang hebat
Puji Hastuti
/Good//Good//Good//Good/
Siti Jumiati
semakin kesini semakin seru...semakin bikin dang dig dug... semakin bikin penasaran... semakin nagih... dan semakin kereeeeeeeen... semangat kak lanjut...
fri
gasss terus Thor...💪
abimasta
untung jantungku masih aman thor
Siti Jumiati
satu kata cerita kakak luar biasa, bikin deg deg kan bikin senan jantung,bikin penasaran,bikin q gk bisa tidur karena gk sabar ingin baca cerita kelanjutannya.../Heart/ kereeeeeeeen.../Good//Good//Good/
ilhmid
gila, makin epik gini
phity
mamtap thor aku suka
phity
astaga aku baca sambil teriak2....hhhh
sum mia
akhirnya bisa ngejar sampai disini lagi .
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
durrotul aimmsh
luar biasa....kyak lg nonton film action
asih
😲😲😲😲 kakak sampai hafal nama² jenis senjata
sum mia
emang seru kak.... sangat menegangkan .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sum mia
meski banyak jalan terjal dan banyak ujian semoga mereka tetap baik-baik saja .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
naifa Al Adlin
keren lah kak nana/Good/
Hanima
lanjut kk
ilhmid
mendebarkan💔
sum mia
masih penasaran....

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sum mia
makin menegangkan

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
asih
hahhhh Masih slamet AA couple
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!