Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15 Rahasia dari Masa Lalu
Udara pagi masih berembun saat Galuh bersiap ke kampus. Di meja makan, Saras sudah duduk rapi dengan seragam kuliahnya. Ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, seolah semalam dengan semua pengakuan dan keputusan mereka membuatnya tumbuh beberapa tahun lebih matang.
"Lo yakin mau ikut kelas pagi ini?" tanya Galuh sambil mengancingkan kemejanya.
Saras mengangguk. "Kenapa enggak?"
"Ya... habis kejadian semalam. Gue cuma khawatir dia bakal ganggu lagi."
"Rangga bukan masalah besar. Gue bisa jaga diri." Saras tersenyum kecil. "Lagipula, sekarang gue punya lo."
Galuh tertawa pelan, lalu meraih tangan Saras dan menggenggamnya. “Kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu gue, oke?”
Saras mengangguk. Tatapan mereka saling mengunci sejenak sebelum akhirnya beranjak keluar menuju kampus.
---
Di kampus, seperti yang mereka duga, gosip sudah menyebar. Beberapa teman mulai berbisik saat melihat mereka datang bersama. Ada yang tersenyum menggoda, ada pula yang melirik penuh tanda tanya. Tapi ada satu yang lebih dari sekadar penasaran—Reza, teman sekelas Galuh yang dulu cukup dekat dengannya.
Saat jam istirahat, Reza duduk di samping Galuh yang sedang mengetik presentasi di laptopnya.
“Lo seriusan sama Saras?”
Galuh melirik sebentar. “Kenapa nanya gitu?”
“Ya, lo tahu sendiri. Cewek kayak dia... cakep, pinter, anak baik. Dan lo” Reza berhenti, ragu menyelesaikan kalimatnya.
Galuh menutup laptopnya pelan. “Dan gue apa?”
Reza mendesah. “Gue nggak bermaksud nyakitin, bro. Tapi masa lalu lo kan... ya lo tahu sendiri. Lo yang bilang sendiri ke gue dulu. Jangan sampai lo nyakitin dia karena lo belum kelar sama diri lo sendiri.”
Ucapan itu membuat Galuh terdiam cukup lama. Matanya kosong menatap meja.
Reza menepuk bahunya. “Gue cuma ngingetin. Gue seneng sih lo berubah, tapi jangan pakai topeng, Gal.”
---
Setelah pulang dari kampus, Galuh langsung masuk kamar. Saras, yang sedang duduk di ruang tengah sambil membaca, merasa aneh. Galuh bahkan tidak menyapanya seperti biasa.
Ia menghampiri kamar Galuh dan mengetuk pintu. “Galuh, lo kenapa?”
Tak ada jawaban. Saras menunggu beberapa detik, lalu mencoba membuka pintu. Tidak dikunci.
Galuh duduk di pojok tempat tidur, menatap dinding.
“Reza ngomong sesuatu ke lo?” tebak Saras, duduk di sampingnya.
Galuh hanya mengangguk. “Dia bener, Ras.”
“Bener soal apa?”
Galuh menatap Saras. “Lo terlalu baik buat gue. Gue punya masa lalu yang lo belum tahu.”
Saras menggenggam tangan Galuh erat. “Gue enggak butuh tahu semua detil masa lalu lo sekarang. Tapi kalau lo mau cerita, gue dengerin.”
Galuh menarik napas panjang, lalu mulai bicara.
“Waktu SMA... gue pernah di-drop out karena kasus perkelahian. Gue enggak pernah cerita ke siapa-siapa, bahkan ke nyokap gue. Gue pindah kota, ganti nama belakang. Gue pengin mulai dari awal. Tapi ternyata... masa lalu itu masih ngejar gue ke mana-mana.”
Saras menatap Galuh dalam diam. Tak ada rasa takut atau ragu di matanya.
“Gue tahu lo bukan orang sempurna, Galuh. Tapi bukan berarti lo enggak pantas bahagia. Semua orang punya masa lalu. Yang penting, sekarang lo berusaha jadi lebih baik.”
Galuh memejamkan mata. “Tapi kalau suatu saat masa lalu gue muncul dan nyakitin lo... gue gak bakal bisa maafin diri sendiri.”
“Galuh,” Saras menyentuh pipinya lembut. “Cinta itu bukan cuma soal nyaman pas bahagia. Tapi juga kuat pas luka.”
---
Malam itu, untuk pertama kalinya, Galuh menceritakan segalanya. Tentang perkelahian brutal yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah, tentang rasa bersalah karena memukul seseorang hingga koma, tentang penyesalan yang tak pernah benar-benar hilang.
Saras mendengarkan semuanya, tanpa memotong. Ia hanya menggenggam tangan Galuh sepanjang malam.
“Apa lo masih sering mimpiin kejadian itu?” tanya Saras pelan.
Galuh mengangguk. “Setiap malam. Tapi setelah kenal lo, mimpi buruk itu mulai berkurang.”
Saras memeluknya erat. “Berarti lo udah di jalan yang benar.”
---
Di tempat lain, Rangga sedang bertemu seseorang di sebuah kafe. Pria itu tinggi, berwajah keras, dengan mata tajam seperti silet. Namanya Arman—kakak dari siswa yang dulu pernah jadi korban perkelahian Galuh.
“Lo yakin dia kuliah di sini sekarang?” tanya Arman.
Rangga mengangguk. “Gue ngasih tahu lo karena gue tahu lo punya hak untuk tahu.”
Arman menatap jauh ke luar jendela. “Akhirnya... gue nemu lo lagi, Galuh.”
---
Beberapa hari setelahnya, suasana kembali tenang. Galuh dan Saras mulai menjalani hari-hari dengan lebih terbuka. Mereka tidak lagi menyembunyikan hubungan mereka, meski tetap menjaga batasan di depan teman-teman.
Namun Galuh merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ia merasa diawasi. Di parkiran kampus, ia sempat melihat sosok pria asing yang menatapnya tajam dari kejauhan. Tapi saat ia mendekat, pria itu menghilang begitu saja.
“Gue ngerasa aneh, Ras,” kata Galuh suatu sore.
“Kenapa?”
“Ada orang yang kayaknya ngikutin gue.”
Saras terdiam sejenak. “Lo pikir dia siapa?”
Galuh menggeleng. “Entahlah. Tapi firasat gue bilang, ini ada hubungannya sama masa lalu gue.”
---
Malam itu, mereka duduk di balkon atas kosan. Langit cerah, bintang-bintang bersinar lembut. Saras bersandar di bahu Galuh.
“Kalau suatu hari nanti, lo harus pergi ninggalin kota ini lagi… lo bakal kabur sendiri atau ngajak gue?” tanya Saras tiba-tiba.
Galuh menoleh cepat. “Gue nggak bakal ninggalin lo.”
“Tapi kalau itu satu-satunya cara buat lo aman?”
Galuh diam sejenak. “Kalau memang harus pergi, gue nggak mau sendirian. Tapi gue juga nggak mau narik lo ke dalam masalah gue.”
Saras menatap matanya. “Kalau kita udah jalan bareng, jangan tinggalin gue pas jalannya mulai susah.”
Galuh mengangguk. “Gue janji.”