Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nabil bisa berjalan
Heru datang dengan membawa tiga bungkus nasi goreng.
Bagi Santi, itu sudah tergolong makanan mewah. Selama berumah tangga dengan Bayu, ia lebih sering makan sisa. Bisa makan enak hanya ketika Anita, mantan majikannya, memberinya.
Sedangkan bagi Heru, nasi goreng seperti itu adalah kenikmatan yang langka. Ia hanya sempat sekolah sampai kelas empat SD. Setelah ibu dan ayahnya meninggal, ia sempat dititipkan ke pamannya, Pak Ahmad. Namun, istri Pak Ahmad tidak menyukai keberadaannya. Akhirnya, Pak Ahmad hanya bisa membantu secara diam-diam—kadang memberi roti basi, kadang sekantong beras sisa.
Untuk bertahan hidup, Heru melakukan apa saja. Mulai dari menanam dan memanen padi, membersihkan kebun, mengepel rumah, menjadi kuli cuci, bahkan kadang ikut kerja kasar sebagai kuli bangunan dengan upah dua puluh ribu sampai lima puluh ribu rupiah. Ia tidak pernah menyalahkan siapa pun atas nasibnya. Tapi sikapnya pada Santi kerap dingin. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami Santi—Bayu—pernah berselingkuh, bahkan dengan orang yang dekat dengannya.
Baru saja dua sendok nasi goreng masuk ke mulut Heru, terdengar suara keras dari luar.
“Heru! Di mana kamu?!”
Heru berdiri perlahan dan melangkah ke depan pintu. Seorang pria berbadan besar dengan wajah ketus berdiri di ambang pintu.
“Heru, balikin uang itu! Kamu mencuri, ya?!”
Heru menatap lurus. “Mana buktinya kalau saya mencuri?”
“Buktinya? Nasi goreng itu!” tunjuknya kasar. “Tadi kata tukang nasi goreng, kamu bawa uang lima puluh ribu. Dapat uang dari mana kamu kalau bukan mencuri?!”
Santi yang mendengar dari dapur segera muncul, membawa pisau dapur yang masih basah.
“Itu uang dari saya,” ucap Santi, matanya menatap tajam ke arah pria itu.
“K... kamu ada di sini?” gumam Herman, pria itu, terkejut.
“Ya, ada. Ada apa kamu menuduh adik saya mencuri?” tanya Santi tenang namun penuh tekanan.
“Karena dia beli nasi goreng. Saya tahu dia nggak punya uang. Dia juga nggak dibayar waktu bantu di acara hajatan.”
Santi menghela napas. “Aneh sekali. Hanya karena adik saya bisa beli nasi goreng, kamu langsung menuduhnya mencuri? Kalau memang adik saya mencuri, katakan siapa yang di curi, di mana kejadiannya, kepan kejadiannya, siapa saksinya?”
“Dia pasti mencuri! Dia mana mungkin mampu beli nasi goreng semahal itu!”
“Saya katakan sekali lagi, itu uang saya. Dan saya bisa membuktikannya.”
Tatapan Santi tak bergeser sedikit pun dari wajah Herman. “Sekarang kamu jawab—bukti apa yang kamu bawa untuk menuduh adik saya mencuri?”
“Alah, jangan banyak bicara. Cepat balikin uang itu!” bentak Herman. Ia mulai melangkah, tangannya ingin menyentuh bahu Heru.
“Jangan coba-coba sentuh adik saya. Kalau tidak, akan saya robek perutmu.”
Suara Santi rendah, tapi tajam. Pisau dapur yang sudah dia siapkan sejak tadi kini teracung di tangan kanannya. Wajahnya tak lagi penuh sabar seperti biasanya. Ada luka yang terlalu dalam yang selama ini ia diamkan.
Hari ini ia tidak akan tinggal diam. Hari ini, dia tidak akan lagi dipojokkan. Dia bahkan telah berniat membeli golok baru. Karena kadang, orang lebih percaya pada tajamnya senjata ketimbang bukti kebenaran.
Herman terperanjat. Dia tidak menyangka Santi bisa seberani itu. Matanya membelalak. Detik berikutnya, ia berbalik dan lari tunggang langgang, seperti tikus basah yang kepergok mencuri.
Santi menarik napas panjang. Pisau masih di tangan. Ia masuk ke rumah sambil menahan amarah dan getir yang mendidih.
Namun langkahnya terhenti. Matanya terbelalak.
“Nabil...”
Anak itu berdiri. Tubuh kecilnya bergetar. Kakinya masih goyah. Tapi dia... berjalan.
Satu langkah... dua langkah...
“Ma... mah...” gumam Nabil.
Air mata Santi luruh seketika. Ia merentangkan tangan. “Sini, Sayang... sini ke Mama.”
Langkah kecil itu makin dekat. Walau tertatih, Nabil berhasil sampai ke pelukan ibunya.
“Ma... mah...” ulangnya, terbata-bata. Tapi jelas. Penuh makna.
Santi memeluknya erat. Ratusan malam tanpa tidur, ribuan doa yang ia panjatkan, semuanya terjawab pagi ini.
Anaknya bisa berjalan. Di rumah tempat ia dulu dilahirkan.
Meski baru di usia lima tahun. Meski terlambat bagi ukuran orang lain. Tapi bagi Santi, tidak ada kata terlambat.
Bahkan andai Nabil tak pernah bisa berjalan pun, Santi tetap akan menyayanginya. Tetap akan menjadi benteng hidupnya.
“Nak, kita makan dulu, ya,” ucapnya lembut.
Nabil tak menjawab, hanya tersenyum. Senyum itu—langka. Biasanya hanya muncul saat dia makan roti. Tapi hari ini, senyum itu berbeda.
Nabil melangkah pelan ke arah Heru. Sampai di hadapannya, ia menepuk-nepuk paha Heru, lalu membuka tangan kecilnya seolah ingin dipeluk.
Heru langsung berjongkok. “Ih... ganteng banget keponakan Mamang,” ucapnya gemas.
Ia memeluk Nabil.
Santi terperangah. Baru kali ini Nabil mau dipeluk orang lain selain dirinya. Bahkan saat Bayu—ayah kandungnya—mendekat, Nabil selalu menangis. Tapi tidak dengan Heru.
“Makan dulu, yuk,” ajak Heru.
“Yukkk!” sahut Nabil, lantang dan jernih.
Santi tertawa kecil. Sekaligus terharu.
Itu kali pertama Nabil membalas ajakan orang lain dengan kata-kata.
Berarti... Nabil mengerti.
Mereka duduk melingkar di atas tikar yang sudah lusuh.
Nasi goreng sederhana itu terasa seperti hidangan istimewa malam itu.
Nabil terus memperhatikan cara Heru makan, matanya tak berkedip seolah sedang belajar.
Ketika Santi hendak menyuapinya, Nabil menggeleng pelan.
Tangannya yang kecil menunjuk ke arah sendok.
Santi tercenung sejenak, lalu menyodorkan sendok itu kepadanya.
Dengan hati-hati, Nabil menggenggam sendok seperti yang dilakukan Heru. Tangannya masih agak gemetar, tapi tekadnya kuat.
Lalu, perlahan… ia menyuap makanannya sendiri.
Lahap. Penuh semangat. Tanpa belepotan. Persis seperti Heru yang makan selalu bersih, tanpa sisa, bahkan cara menyeka mulut pun Nabil tiru dengan detail.
Santi menatapnya dengan mata berkaca.
Ini adalah keajaiban.
Belum juga semalam mereka kembali ke rumah peninggalan orang tuanya, Nabil sudah menunjukkan kemajuan luar biasa.
Ia bisa berjalan, meski tertatih. Ia mulai berani berinteraksi dengan orang lain, bahkan dipeluk.
Dan sekarang… ia makan sendiri.
Santi hampir tak percaya.
Dulu, orang-orang menyebut Nabil “anak buto ijo”, menyamakannya dengan makhluk aneh. Mereka bilang anaknya cacat, beban, tidak akan bisa tumbuh normal.
Tapi hari ini, Nabil membuktikan sesuatu.
Bahwa ia bukan anak yang kekurangan.
Ia hanya anak yang haus akan kasih sayang.
Anak yang selama ini hanya butuh penerimaan.
Butuh tempat pulang yang tulus dan orang-orang yang melihatnya dengan cinta, bukan cacian.
Air mata Santi jatuh diam-diam.
Ia tahu sekarang, bahwa kadang, keajaiban bukan datang dari mukjizat langit…
Melainkan dari hati-hati tulus seperti milik Heru.
Malam itu, Nabil memilih tidur bersama Heru.
Santi tersenyum melihat keduanya berbaring berdampingan.
Nabil—yang dulu bahkan tak mau disentuh siapa pun selain dirinya—kini bisa merasa nyaman bersama Heru.
Bagi Santi, itu lebih dari cukup.
Lebih dari doa-doa yang telah ia panjatkan selama bertahun-tahun.
Pagi tiba, embun masih menggantung di dedaunan.
Santi bangun lebih awal dan segera menuju kamar mandi. Tempat itu masih bersih, rapi, dan terawat. Ia sempat tertegun.
“Heru…” bisiknya lirih.
Adik kecilnya itu benar-benar menjaga rumah peninggalan orang tua mereka dengan sepenuh hati. Rumah yang dulu penuh kenangan dan kesedihan, kini terasa hidup kembali.
Namun, saat Santi membuka dapur, matanya menyapu satu sudut yang kosong.
Tak ada kompor gas.
Ia keluar rumah, dan mendapati tungku kayu di sudut dapur belakang—sederhana, tapi bersih. Di situlah Heru selama ini memasak.
Santi terdiam sejenak. Angin pagi menyentuh pipinya, seperti mengingatkan: hidup tak akan mudah, tapi selalu ada jalan.
Ia membulatkan tekad.
Dia akan membeli kompor gas dengan uang dari pemberian warga.
Ia juga sudah punya rencana—akan membuat gorengan dan berjualan keliling kampung. Demi Nabil. Demi Heru. Demi keluarga kecil mereka.
Dengan cekatan, Santi mulai menyalakan tungku. Api menyala pelan. Ia sudah terbiasa. Bara dan asap bukan hal baru baginya.
Namun, tiba-tiba...
Brak! Brakk!
Pintu rumah digedor keras dari luar.
Suara benturan kayu menggema.
"Heruuu...!"
Suara perempuan terdengar lantang, nyaring, dan penuh emosi.
Santi menoleh cepat. Dadanya berdegup lebih kencang. Siapa pagi-pagi begini datang dengan amarah?