Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Masa Lalu Pilihan Mertua
Setelah merasa sedikit tenang, Diva mengabarkan bahwa ia sudah sampai kepada Arman.
"Bang, aku sudah sampai ya," tulisnya dalam pesan singkat.
Tak butuh waktu lama, Arman membalas, "Iya, sayang."
Diva tersenyum kecil, lalu meletakkan ponselnya di samping dan melanjutkan istirahat. Ia ingin menikmati waktu di rumah ini sebelum berbincang dengan kakaknya.
Saat sore tiba, Diva terbangun. Ia menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar sambil merasakan kehangatan tempat yang selalu ia rindukan. "Andai saja ibu dan bapak masih ada," batinnya lirih.
Perlahan, ia bangkit dan berjalan mengitari rumah. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini. Suasana tetap sama, meskipun terasa lebih sepi tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Saat langkahnya membawanya ke kamar mereka, hatinya mendadak terasa berat. Ia duduk di tepi ranjang, membiarkan jemarinya menyentuh selimut yang masih tersimpan rapi. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh.
"Ibu, Bapak… ternyata Diva tidak sekuat yang Diva bayangkan. Selama tujuh tahun ini, ibu mertua tidak pernah benar-benar menerima Diva," bisiknya dengan suara bergetar.
Mendengar isak tangis itu, Dira yang sejak tadi memperhatikan dari pintu segera mendekat. Ia meraih tubuh adiknya dan memeluknya erat.
"Aku tahu, Div… Aku tahu beban yang kamu tanggung begitu berat," ucap Dira dengan suara bergetar. "Kamu nggak perlu pura-pura kuat lagi. Kakak di sini, kamu nggak sendirian."
Diva semakin terisak dalam dekapan sang kakak. Setelah sekian lama menyimpan semuanya sendiri, akhirnya ada tempat untuknya bersandar.
Diva menghela napas panjang setelah menceritakan semua yang ia pendam selama ini kepada kakaknya, Dira, dan abang iparnya.
"Jadi itu semua yang kamu rasakan selama ini, Div?" tanya Dira dengan mata berkaca-kaca.
Diva mengangguk. "Iya, Kak. Aku selalu mencoba bertahan, tapi semakin lama, rasanya semakin sesak."
Abang iparnya, Reza, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang akhirnya angkat bicara. "Diva, ujian rumah tangga itu memang berbeda-beda. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, selama suamimu masih berpihak padamu, semua akan baik-baik saja. Yang jadi masalah adalah kalau dia mulai ragu dan goyah."
Diva terdiam, mencerna setiap kata yang baru saja ia dengar. Apa yang dikatakan kakaknya benar. Selama ini, Arman memang selalu berada di sisinya, tak peduli bagaimana sikap ibu mertua terhadapnya.
"Iya, Kak… selama Bang Arman masih bersamaku, aku seharusnya nggak perlu khawatir," ucap Diva lirih, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Sementara itu, di rumah, Ibu Susan kembali mengundang Raya. Saat wanita itu melangkah masuk, Arman yang baru pulang kerja tertegun sejenak.
"Loh, Ray? Kamu ke sini lagi?" tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.
Raya tersenyum lembut. "Iya, Arman. Aku diajak Ibu makan malam di sini," jawabnya santai.
Arman menatap ibunya sejenak, lalu mengangguk. Sebisa mungkin, ia berusaha tetap tenang meski ada perasaan aneh yang menggelitik hatinya.
Percakapan pun mengalir. Perlahan, suasana mulai terasa lebih nyaman. Ada kehangatan yang sulit ia jelaskan, terutama ketika melihat senyuman Raya—senyuman yang dulu pernah begitu ia cintai.
Ibu Susan yang melihat interaksi itu dalam diam bersorak senang. "Pelan-pelan, aku akan menyatukan mereka kembali," batinnya penuh kepuasan.
Diva menatap layar ponselnya yang masih tanpa balasan. Perasaan cemas mulai menyusup ke dalam hatinya, tapi ia menenangkan diri. "Jangan gegabah, Diva. Semua masih bisa dikendalikan," batinnya.
Informasi yang ia dapatkan tentang Raya sedikit melegakan hatinya. "Jadi kehidupannya sekarang tidak seperti dulu lagi. Tidak sekaya dulu. Apa yang dia cari dari Arman?" pikirnya.
Diva kembali mencoba menelpon, tapi panggilan itu lagi-lagi tidak diangkat. Dengan napas panjang, ia mengirim pesan lain.
"Bang, aku tadi coba telepon. Lagi sibuk ya? Kalau sempat, kabarin aku."
Setelah itu, ia meletakkan ponselnya dan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia tak ingin gegabah. Ia harus memastikan posisinya tetap kuat di hati Arman.
Arman menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang menampilkan panggilan tak terjawab dari Diva. Hatinya diliputi kebingungan. "Diva pasti curiga," pikirnya.
Di sisi lain, ada perasaan lega karena hubungannya dengan Raya kini membaik. "Kalau hanya berteman, seharusnya tidak masalah, kan?" batinnya mencoba membenarkan diri sendiri.
Ia lalu mengetik pesan untuk Diva.
"Maaf, tadi nggak sempat angkat telepon. Kamu baik-baik saja di sana?"
Setelah mengirim pesan, Arman melirik ke arah Raya yang sedang berbincang dengan ibunya. Perempuan itu tersenyum padanya, senyum yang dulu pernah membuatnya jatuh hati. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya.
"Aku sudah berjanji pada Diva," gumamnya pelan, mencoba menepis gejolak di hatinya.
Raya tersenyum tipis mendengar kata-kata orang tuanya. "Singkirkan istrinya?" Itu bukan hal mudah, tapi kalau ibu Arman sudah di pihaknya, setengah jalannya sudah terbuka.
Ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar sambil memikirkan langkah selanjutnya. "Diva memang istrinya, tapi aku cinta pertamanya. Kalau aku mainkan kartu dengan benar, Arman pasti akan berpaling."
Sementara itu, Arman dalam perjalanan pulang masih merasa aneh dengan perasaannya. Dia tahu harus menjaga batas, tapi kenapa ada perasaan nyaman ketika bersama Raya?
Saat sampai di rumah, ibunya menyambut dengan senyum penuh arti. "Gimana? Nyaman kan sama Raya? Kalian memang cocok, Man."
Arman hanya menghela napas. Ia ingin menepis keraguan dalam hatinya, tapi bayangan senyum Raya terus menghantui.
Saat duduk di meja makan, Arman merasa ada yang berbeda. Biasanya, Diva yang menyiapkan semua dengan senyum lembutnya. Kini hanya ada ibunya yang sibuk di dapur, sementara rumah terasa lebih sepi.
"Sarapan, Man. Untung Diva udah nyiapin kemarin, jadi ibu nggak repot," ujar Bu Susan sambil menyajikan makanan.
Arman hanya mengangguk, mulai menyendok nasi ke piringnya. Saat suapan pertama masuk ke mulut, ada perasaan aneh yang mengganjal bukan karena makanannya, tapi karena perasaan kehilangan yang mulai merayapi hatinya.
Di tempat lain, Diva yang masih di rumah kakaknya bangun lebih lambat dari biasanya. Tidur yang tidak nyenyak membuatnya merasa lelah. Ia meraih ponselnya, mengecek pesan dari Arman, lalu menghela napas.
"Aku harus tetap tenang. Aku ingin lihat seberapa setia Bang Arman tanpa aku di sana," batinnya.
Ia pun beranjak dari tempat tidur, berusaha menikmati waktunya bersama kakaknya sebelum kembali menghadapi kenyataan di rumah mertuanya.
Hari ini, Diva akan pergi ke minimarketnya untuk melihat-lihat perkembangan bisnisnya. Sekarang sudah ada cabang lain yang dikelola oleh Bang Reza.
Sambil sarapan, Dira bertanya kepada adiknya, "Oh iya, Div, kemarin kamu sempat bilang mau buka usaha. Kira-kira sudah terpikirkan belum?"
Diva mengangguk sambil mengaduk kopi di cangkirnya. "Udah, Kak, cuma tabunganku belum cukup," jawabnya dengan nada tenang.
"Kamu mau buka usaha apa? Kalau kurang, bilang saja sama Kakak. Nanti biar Kakak dan Abangmu yang menambah kekurangannya," tawar Dira.
Diva tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan perhatian kakaknya. "Nggak usah, Kak. Aku nggak mau merepotkan kalian. Lebih baik ditunda dulu, aku takut malah jadi masalah nantinya."
Dira menghela napas dan mengangguk mengerti. "Ya sudah, habis ini kita ke minimarket kamu, ya?"
"Iya, Kak," jawab Diva sambil menyelesaikan sarapannya.