Maula, harus mengorbankan masa depannya demi keluarga.
Hingga suatu saat, dia bekerja di rumah seorang pria yang berprofesi sebagai abdi negara. Seorang polisi militer angkatan laut (POMAL)
Ada banyak hal yang tidak Maula ketahui selama ini, bahkan dia tak tahu bahwa pria yang menyewa jasanya, yang sudah menikahinya secara siri ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
"Maula, hari senin ayahnya anak-anak pulang, mungkin nanti Hazelnya akan nempel terus ke ayahnya. Pasti perlu waktu buat bujuk dia belajar. Kamunya di sabarin aja ya!"
"Iya bu, nggak apa-apa. Mungkin kangen juga kan lama nggak ketemu"
"Benar Maula, saya juga kangen sama dia. Sejak istrinya meninggal, dia jarang banget di rumah, selalu ambil pekerjaan sampingan kalau setelah pulang ngantor. Kadang saya suka kesal sendiri. Pulang cuma sebentar terus pergi lagi"
"Bukannya pak Aril seorang TNI bu, memang bisa kerja sampingan?"
"Bisa Maula, dan kerjaan sampingannya itu macem-macem, kadang jadi backingannya para pejabat, kayak pak bupati, gubernur, jadi backingannya SPBU, SPBU. Kadang kalau ada yang meminta bantuannya juga langsung gas. Dulu pas di Jakarta dia jadi bodyguard artis. Bayarannya nggak main-main, Maula. Tapi sayangnya anak ibu itu borosnya minta ampun, sangat loyal sekali pada rekan-rekannya. Atasannya saja sering dia traktir. Kadang saya heran, dia udah boros, dapat istri pun boros juga" Bu Ella menjeda kalimatnya untuk mengambil napas sejenak. Aki sendiri diam sambil menunggu wanita ini kembali menceritakan anak serta menantu.
"Dua-duanya itu sama-sama ingin selalu di pandang paling wah. Nggak pernah setiap kali liburan mereka di rumah aja, nggak pernah, Maula. Pasti kalau nggak jalan-jalan ya ngemall, kalau ada tarikan donasi, mereka pasti nyumbangnya nggak main-main, pasti paling tinggi, makannya sudah bertahun-tahun berumah tangga, mereka belum punya rumah"
"Tapi meski si Dewi boros, ibu salut sama dia. Dia nggak pernah mengabaikan suami dan anak-anaknya, setiap malam mau tidur, dia selalu telfon saya buat bilang maaf karena udah boros"
"Mbak Dewi sadar diri juga kalau dia boros ya bu?" Tanyaku.
"Iya, Maula. Dia nggak pernah marah kalau di katain istri boros, cuma nyengir aja udah. Dan ibu maklum, dulunya kan dia dokter, gayanya pasti mewah, kayak Airin. Dia juga rela mengorbankan karirnya demi keluargan. Satu hal lagi kebaikan Dewi" Ujarnya tanpa beralih menatapku. "Dia nggak pernah ngeluh, tahu situasi kapan harus boros kapan harus lebih hemat. Pokoknya kalau uangnya menipis, dia berusaha keras buat hunting pengeluaran, jadi nggak nuntut Aril harus dapat uang lagi"
"Pokoknya dia baik, Maula. Hanya satu keburukannya, hidup boros" Tambah bu Ella dengan ekspresi serius. "Klop banget lah kalau sama si Aril. Ibarat botol tuh ketemu sama tutupnya"
"Pasti asyik rumah tangganya ya bu?"
"Asyik banget Maula. Nggak pernah berantem, dan kalau berantem malah kesannya lucu"
"Sayang banget ya bu, mbak Dewi nggak ada umur panjang"
Bu Ella mengangguk sedih kemudian bersuara.
"Kasihan anak-anak. Masih kecil sudah nggak ada ibu. Dan kalau Aril mau menikah lagi, semoga istrinya bisa sayang juga ke anaknya"
"Aamiin, semoga saja ya bu"
Bu Ella mengulas senyum tipis.
Sementara aku menyorot iba, seraya berucap dalam hati.
Semoga ibu tirinya nanti nggak kejam seperti ibu tiriku.
"Oh ya bu, tadi ibu bilang mbak Airin seorang dokter, dokter apa? Dines di rumah sakit mana?"
"Iya Maula, dia dokter bedah, sebelumnya bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta, tapi sekarang sudah pindah di sini, di area Surabaya aja"
"Sejak kapan pindahnya, bu?"
"Ya itu sejak Dewi meninggal. Dia juga sempat nangani Dewi waktu itu" Jawabnya membuatku jadi berfikiran negatif.
Detik itu juga aku teringat akan kalimat Hazel sekitar dua bulan lalu.
'Giliran Aril yang ingin ku bunuh?'
"Apa jangan-jangan?" Gumamku lirih.
"Jangan-jangan apa, Maula?"
Aku tersentak, lalu tersenyum kaku. "Nggak apa-apa bu" Sahutku gugup.
"Ibu, sudah selesai PRnya" Tiba-tiba Naka bersuara sambil melangkah menghampiriku yang ada di ruang makan lantai dasar
"Okay nanti ibu periksa ya"
"Belajarnya kan sudah, PR nya sudah di kerjain, besok hari sabtu juga libur, Sudah boleh main ponsel, bu?"
"Boleh, tapi sebentar aja ya, tiga puluh menit saja"
"Satu jam ya bu?" Tawarnya merayu.
"Empat puluh menit" Kataku, lalu melirik bu Ella yang malah tersenyum sambil menatap cucu laki-lakinya.
"Empat puluh lima menit"
"Okay, empat puluh lima menit, tapi nanti malam sudah tidak boleh main hp. Cuma boleh nonton tv sampai pukul sembilan, setelah itu langsung tidur"
"Siap bu. Makasih" Balasnya girang, lalu berlari menaiki tangga.
"Pelan-pelan naik tangga, Naka!" Seru sang nenek, masih dengan senyum bertahan di bibirnya.
Anak itu menyahut iya dengan suara keras.
"Makasih ya Maula, sudah mengembalikan keceriaan mereka"
"Saya di sini kerja bu, dapat bayaran, jadi nggak perlu berterimakasih"
"Aril pasti senang sekaligus kaget melihat perubahan anak-anaknya, apalagi Hazel yang sudah bersedia masuk sekolah lagi"
Kini ganti aku yang tersenyum meresponnya.
Lalu hening, dari kami sama-sama diam.
Beberapa menit kemudian, ingatanku mendadak jatuh pada ucapan mr F saat di telfon tadi pagi.
Akupun berinisiatif untuk meminta izin libur mumpung sedang duduk dan mengobrol santai dengan bu Ella.
Memberanikan diri, aku mencoba mengutarakan niatku.
"Bu Ella" Panggilku sedikit ragu. Wanita yang menjadi lawan bicaraku ini langsung menoleh ke arahku.
"Iya, Maula?"
"Rencananya hari minggu saya mau minta izin libur, boleh saya libur, bu?"
"Ya tentu boleh dong Maula, selama tiga bulan bekerja kan kamu belum pernah sekalipun libur"
"Tapi boleh nggak kalau saya kembali ke sininya pas hari senin, saya usahain sepagi mungkin"
"Boleh, nggak apa-apa nggak perlu datang terlalu pagi, nanti anak-anak biar saya yang urus sama ninik. Senin ayahnya juga pulang, nanti saya suruh ayahnya jemput anak-anak, jadi kamu bisa datang di siang hari atau sorenya"
"Makasih bu!"
"Sama-sama" Bu Ella menyunggingkan senyum, lalu bertanya. "Ada acara apa Maula?"
"Nggak ada acara apapun, bu. Cuma pengin nemenin ayah" Bohongku.
Miris, bukan keluargaku yang akan aku temui, melainkan suami siriku.
****
Dua hari kemudian, tepatnya di hari minggu, sebelum pergi aku berpamitan pada anak-anak bahwa aku akan pergi hari ini, Hazel sempat ingin ikut denganku ketika sang nenek memberitahunya kalau Airin akan datang kemari.
Kini aku sedang berusaha keras membujuknya agar tetap berada di rumah.
"Ibu cuma pergi sehari doang, nak. Besok pagi sudah balik lagi ke sini" Kataku. Kami duduk berdampingan di sofa ruang tv di lantai dua depan kamar kami.
"Tapi ada tante Airin" Jawabnya dengan suara tertahan. Mungkin sebentar lagi tangisnya akan pecah.
"Dengar ibu baik-baik!" Ku sisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Tante Airin nggak akan pernah bunuh ayah, bu Maula akan cari tahu dan akan bilang ke ayahnya Hazel nanti, supaya ayah bisa lebih waspada terhadap rencana jahat tante Airin"
Anak itu diam, sepasang matanya menyorot penuh takut sekaligus khawatir.
"Pokoknya ibu akan cari cara supaya apapun rencana tante Airin, semuanya akan gagal. Dan sebelum tante Airin melakukan rencananya, ibu akan lebih dulu memberinya pelajaran, ibu akan menggagalkannya, bila perlu nggak usah tante Airin datang-datang lagi kesini"
Entahlah, anak ini mengerti atau tidak dengan kata-kataku. Dan entah cara apa yang akan aku lakukan, yang pasti untuk saat ini aku berusaha membuat ketakutan Hazel menghilang, dan dia bisa bersikap lebih berani.
"Hazel nggak mau ayah terluka kan?"
"Eugh" Jawabnya sambil mengangguk.
"Kalau begitu, Jangan ada rasa takut, Hazel hatus jadi anak pemberani dan kuat demi ayah, Hazel harus jadi anak hebat demi lindungi ayah. Rasa takut bisa Hazel kalahkan dengan keberanian, kalau Hazel nggak berani, Hazel akan semakin takut, lantas bagaimana dengan ayah?"
"Kasihan dong ayah kalau anak-anaknya pada takut, iya kan?"
Lagi-lagi anak itu menganggukkan kepala. "Ayah itu semakin hari semakin tua, tenaganya semakin sedikit. Beda dengan Hazel dan mas Naka yang semakin hari semakin besar, otomatis tenaga kalian akan semakin kuat, dan Hazel tahu untuk apa tenaga mas Naka dan Hazel"
Hazel bergeming dengan mata menatapku penuh lekat.
"Untuk melindungi ayah kalau ayah kenapa-kenapa"
"Tapi ibu benar balik lagi ke sini ya?" Lirihnya. Nadanya bergetar seperti mau menangis.
"Ya iya dong, nanti kalau ibu nggak balik lagi, siapa yang ngurusin mas Naka dan Hazel, siapa yang bantu anak-anak baik ini ngerjain PR, antar sekolah, dan nemenin main"
"Janji"
"Janji nak" Aku tersenyum gemas. Ternyata anak-anak itu sangat menyenangkan. Bisa menjadi hiburan di kala lelah ataupun merasa kesepian. Bisa mengalihkan pikiran kita dari hal-hal yang membuat kita toxic, maupun saat sedang merindukan seseorang.
"Ibu pergi dulu, ya"
Meski berat tetap saja anak itu mengangguk.
"Ingat harus berani, harus kuat jangan menyerah, mengerti"
"Ngerti" Balasnya.
"Ayo kita ke bawah, mas Naka pasti nungguin Hazel buat main bareng"
"Hazel mau main congklak sama mas Naka"
"Okay, main sepuas Hazel, tapi jangan lupa waktunya makan harus makan, waktunya bobo siang harus bobo"
"Iya, ibu" Seolah-olah Hazel dan juga Naka begitu luwes memanggilku dengan sebutan itu. Tak ada keraguan atau canggung sedikitpun.
Ku gandeng tangan Hazel lalu, bersama-sama mengayunkan kaki.
Sebelum aku pergi, sudah pasti aku berpamitan pada bu Ella. Aku juga meminta pengawasan bik Ninik dan juga pak Sholeh untuk menjaga anak-anak dengan baik.
Sebelum ke apartemen, aku akan ke rumah Lulu dan menghabiskan waktu liburku di sana.
Sampai berjam-jam kemudian, aku yang sudah meinggalkan rumah Lulu, kini sedang ada di supermarket untuk membeli apapun yang aku butuhkan. Dan saat ini aku tengah menunggu antrian kasir untuk membayar barang belanjaanku.
Ku lirik jam di tanganku yang sudah menunjuk pukul lima sore.
Sedari tadi mr F juga menelfonku, namun tak ku angkat karena aku sedang fokus berbelanja.
Kemungkinan pria itu sudah berada di apartemen saat ini.
....
Sudah 24 episode ini, masih mau lanjut?
berharap maura jodohnya pak TNI