Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 15
Malam itu, apartemen Sofia dipenuhi dengan suara halus mesin jahit yang terus bekerja tanpa henti. Di ruang tamu yang kini berubah menjadi ruang kerja sementaranya, kain-kain yang baru dibelinya siang tadi terhampar di meja dan lantai. Beberapa pola desain yang digambarnya dengan tangan pun berceceran di sekitar kursi tempatnya duduk.
Sofia menghela napas sejenak, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Tangannya lincah menjahit bagian atas dress yang sedang ia rancang—sebuah gaun sederhana namun elegan yang bisa dipakai oleh semua kalangan. Ia ingin menciptakan busana yang tidak hanya nyaman, tetapi juga berkelas dan mudah dipadukan.
Sofia menatap hasil jahitannya dengan puas. Dress itu mulai terbentuk, meski masih dalam tahap awal. Ini adalah pertama kalinya ia menjahit setelah sekian lama, namun jari-jarinya masih ingat setiap teknik yang pernah ia pelajari saat muda dulu.
Tiba-tiba, suara ponsel yang tergeletak di dekat mesin jahit berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Sofia mengusap tangannya yang sedikit kotor karena kapur jahit, lalu mengambil ponselnya. Nama Rena—pengacaranya—tertera di layar.
"Halo, Rena," sapa Sofia sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
"Sofia, aku baru dapat kabar dari pengadilan," suara Rena terdengar serius. "Sidang mediasi pertama dijadwalkan dua minggu lagi."
Sofia mengangkat alis. "Cepat juga, ya."
"Iya. Tapi kau tidak perlu datang. Aku yang akan mengurus semuanya," ujar Rena tegas. "Aku tahu kau tidak ingin berurusan lagi dengan mereka. Lagipula, kita sudah punya bukti kuat, dan dengan video itu, Robin pasti tidak akan berani berbuat macam-macam."
Sofia terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. "Baiklah, aku serahkan padamu. Terima kasih, Rena."
"Sama-sama. Fokus saja pada bisnismu. Ini waktumu untuk hidup lebih baik," kata Rena dengan nada menyemangati.
Setelah menutup telepon, Sofia menghela napas panjang dan menatap dress yang masih dalam proses jahitan. Sidang mediasi pertama akan segera dimulai. Namun, tidak ada sedikit pun keraguan dalam hatinya.
Sofia telah melangkah maju. Tidak ada lagi yang bisa menariknya kembali.
Dengan semangat baru, Sofia kembali menghidupkan mesin jahit dan melanjutkan pekerjaannya.
*****
Di sebuah restoran mewah dengan ruangan privat, cahaya lampu temaram menambah suasana intim antara dua orang yang sedang menikmati makan malam. Vanessa duduk di seberang Robin dengan senyum penuh kemenangan. Malam ini terasa lebih menyenangkan baginya, karena akhirnya Sofia benar-benar pergi dari kehidupan Robin.
Vanessa meletakkan garpunya dengan anggun lalu berkata, "Akhirnya, semua berjalan sesuai keinginan kita. Sofia pergi, dan sekarang rumah itu hanya milikmu dan anak-anakmu. Kenapa tidak sekalian kau usir pembantu-pembantu tua itu juga?"
Robin tersenyum tipis sambil menyeruput anggur merahnya. "Tidak perlu terburu-buru. Biarkan saja mereka bekerja. Lagipula, mereka masih berguna." Ada sedikit keengganan di suara Robin, mendengar ucapan Vanessa.
Vanessa tersenyum kecil sambil menyandarkan dagunya di tangannya. "Lebih baik kau tidak datang ke sidang mediasi nanti," katanya dengan nada lembut namun penuh makna. "Untuk apa repot-repot? Bukankah lebih baik jika kau tidak muncul sama sekali?"
Robin meletakkan gelasnya dan menatap Vanessa. Sebenarnya, dia pun berpikir hal yang sama. Dia tidak punya niat untuk bertemu Sofia lagi, apalagi setelah ancaman terakhir wanita itu.
Robin dan Vanessa tahu betul bahwa jika mereka berusaha mempersulit perceraian ini, maka video perselingkuhan mereka akan tersebar ke publik. Itu adalah risiko yang terlalu besar bagi reputasi mereka.
"Kau benar," ujar Robin akhirnya. "Aku akan membiarkan pengacara yang mengurusnya. Tidak ada gunanya datang ke persidangan hanya untuk mendengar ocehan Sofia."
Mata Vanessa berbinar. "Bagus. Dan setelah semuanya selesai, kapan kau akan menikahiku?" tanyanya manja.
Robin tersenyum dan mengulurkan tangannya, dengan lembut mengusap kepala Vanessa. "Setelah pengadilan resmi memutuskan perceraian kami," katanya tenang. "Kita harus tetap menjaga citra. Jika kita menikah sebelum sidang putusan, orang-orang akan mulai curiga. Lagipula, aku tidak ingin ada masalah baru yang muncul."
Vanessa menatap Robin dengan mata berbinar. "Baiklah, aku akan menunggu," katanya penuh keyakinan. Wanita itu sudah tidak sabar akan menjadi pendamping hidup Robin.
Malam itu, keduanya melanjutkan makan malam dengan suasana hati yang lebih ringan. Mereka pikir semua sudah berjalan sesuai rencana.
Meski di hati Robin, pria itu merasakan sesuatu yang mengganjal tetapi pria paruh baya itu tidak tahu apa yang salah. Namun, mengingat jika dirinya bisa bersatu dengan orang yang dicintainya, membuat Robin mengabaikan perasaan tidak enak itu.
*****
Beberapa hari berlalu, dan akhirnya dress pertama buatan Sofia selesai. Dress itu memiliki desain yang elegan namun tetap sederhana, cocok untuk semua kalangan. Sofia memegang gaun itu dengan penuh kepuasan sebelum akhirnya memutuskan untuk mencobanya sendiri.
Dia berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memperhatikan bayangannya dengan seksama. Dress itu pas di tubuhnya, menonjolkan aura anggun dan berkelas tanpa kesan berlebihan. Sofia berputar perlahan, melihat setiap sudut desain yang telah ia jahit dengan tangannya sendiri.
"Ini … lebih baik dari yang kupikirkan," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Tak ingin menyia-nyiakan hasil karyanya, Sofia mengambil ponselnya dan mulai memotret dress tersebut dari berbagai sudut. Setelah merasa cukup puas dengan hasil fotonya, dia mengunggahnya ke media sosial miliknya, menuliskan caption sederhana:
"Sebuah awal yang baru. Dress pertama hasil desain dan jahitan sendiri. Semoga bisa menjadi langkah pertama menuju mimpi yang lebih besar."
Baru sepuluh menit berlalu, ponsel Sofia tiba-tiba berdering. Dia melihat layar dan tersenyum saat nama yang muncul adalah Rena.
"Halo, Rena?" jawab Sofia dengan nada santai.
Di seberang telepon, terdengar suara sahabatnya yang penuh semangat. "Sof! Aku baru saja lihat postinganmu! Astaga, dress itu cantik sekali! Aku ingin satu! Bisa buatkan untukku?"
Sofia terkejut sejenak sebelum tertawa kecil. "Kau serius?"
"Tentu saja! Aku ingin menjadi klien pertamamu," kata Rena tegas. "Bahkan aku akan membayar penuh. Aku yakin dress ini punya potensi besar, Sof. Kau berbakat! Oh, dan aku juga bisa membantumu mempromosikannya. Banyak temanku yang suka fashion, aku bisa mengenalkan mereka padamu."
Sofia tersenyum, hatinya terasa hangat. "Terima kasih, Rena. Aku benar-benar menghargainya."
"Sudah jadi tugas sahabat untuk saling mendukung," jawab Rena santai. "Aku yakin ini baru permulaan, Sof. Kita buat brand milikmu ini dikenal banyak orang!"
Sofia mengangguk meski tahu Rena tidak bisa melihatnya. Setelah panggilan berakhir, Sofia menatap cermin lagi. Kali ini, dia melihat sosok wanita yang berbeda. Wanita yang tidak lagi terpuruk, tetapi siap bangkit dan meraih impian yang telah lama dia lupakan.
Ini adalah awal dari perjalanannya. Dan dia tidak akan pernah mundur lagi.