NovelToon NovelToon
Malam Pertama Untuk Istriku

Malam Pertama Untuk Istriku

Status: tamat
Genre:Tamat / CEO / Penyesalan Suami / Menikah dengan Musuhku / Trauma masa lalu
Popularitas:19.2k
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.

Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.

Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.

Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku mencintaimu, Mira!

Bimo menatap Reyhan dan Hendi bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, tetapi ini bukan waktunya untuk emosi. Ia menarik napas dalam dan mencoba mengendalikan situasi.

"Ayo kita bicara di tempat yang lebih nyaman, di sini terlalu banyak mata dan telinga." kata Bimo, suaranya tenang namun tegas. 

Hendi mengangguk setuju. "Baiklah. Aku juga punya sesuatu yang ingin aku katakan."

Reyhan masih tampak gelisah, tetapi akhirnya ia menurut. Mereka bertiga berjalan menuju kafe kecil di sekitar rumah sakit, memilih tempat yang agak terpencil agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.

Setelah pesanan mereka tiba, Bimo meletakkan gelas kopinya dan langsung ke intinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mira masih hidup?" tanya Bimo pada Hendi. 

Hendi menghela napas panjang. Ia menatap kedua pria di depannya dengan ekspresi serius.

"Mira memang mencoba mengakhiri hidupnya, dia sudah tidak sanggup lagi, Reyhan. Setiap hari, dia merasa seperti hidup di dalam neraka… bersamamu." katanya pelan, matanya menerawang, seolah mengingat kembali kejadian itu. 

Reyhan mengepalkan tangannya di atas meja. Rahangnya mengeras, tetapi ia tidak menyela.

Hendi melanjutkan. "Aku menemukannya saat itu. Di apartemennya. Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa rasanya melihat Mira tergeletak di dalam bathtub dengan air yang sudah berubah merah. Aku benar-benar berpikir dia sudah pergi…"

Bimo menahan napas, sementara Reyhan hanya diam, ekspresinya sulit ditebak.

Hendi menelan ludah sebelum melanjutkan. "Tapi ternyata… dia masih hidup. Napasnya lemah, denyut nadinya hampir tidak terasa, tapi dia masih hidup. Aku langsung membawanya ke rumah sakit. Dan sejak saat itu, aku memutuskan untuk melindunginya."

Reyhan akhirnya membuka suara, suaranya parau. "Kenapa tidak memberitahuku?"

Hendi menatapnya tajam. "Untuk apa? Supaya kamu bisa menghancurkannya lagi?"

Reyhan terdiam.

Hendi mengepalkan tangannya. "Aku melihat bagaimana Mira setiap hari. Bagaimana dia berusaha bertahan setelah semua yang kamu lakukan. Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya lagi, Reyhan. Itu sebabnya aku membantu memalsukan kematiannya."

Bimo membelalakkan mata. "Jadi selama ini… kamu sengaja membuat semua orang percaya kalau dia sudah mati?"

Hendi mengangguk. "Aku tahu ini gila, tapi itu satu-satunya cara agar dia bisa bebas darimu, Reyhan."

Reyhan menatap kosong ke meja, dadanya terasa sesak.

"Jadi… dia benar-benar ingin menghilang dariku?" tanya Reyhan lirih.

Hendi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Reyhan dengan ekspresi penuh arti.

"Kamu sudah tahu jawabannya."

Suasana di antara mereka menjadi sunyi. Hanya suara detak jam di dinding kafe yang terdengar.

Reyhan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia ingin marah, ingin berteriak, tetapi di dalam hatinya, ia tahu… semua ini salahnya.

"Aku ingin menebus semuanya," katanya akhirnya.

Hendi tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam tawanya. "Menebus? Setelah kamu menghancurkan hidupnya, setelah kamu membuatnya memilih mati daripada hidup bersamamu? Kamu pikir permintaan maaf saja cukup?"

Reyhan menatapnya tajam. "Aku tidak butuh pengampunan. Aku hanya ingin dia kembali."

Hendi menggeleng pelan. "Mira bukan barang yang bisa kamu ambil kembali setelah kamu buang, Reyhan."

Bimo menatap Reyhan dengan prihatin. "Apa kamu benar-benar mencintainya, Rey?"

Reyhan terdiam. Selama ini, ia tidak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri. Tapi sekarang, saat Mira benar-benar jauh darinya, ia merasakan kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan.

"Aku tidak tahu…" jawabnya jujur. "Aku hanya tahu… aku tidak bisa kehilangan dia."

Hendi menghela napas panjang. "Terlambat, Reyhan."

Reyhan mengepalkan tangannya. "Tidak. Aku akan membuktikan bahwa aku pantas mendapat kesempatan kedua."

Hendi menatapnya tajam. "Kamu akan menyakitinya lagi."

"Tidak," kata Reyhan mantap. "Aku akan membuatnya mengingatku. Aku akan membuatnya memilihku."

Hendi menggeleng. "Kalau kamu benar-benar peduli padanya, kamu akan membiarkannya bahagia tanpa harus kembali padamu."

Reyhan menatap Hendi dengan intens. "Dan kalau aku adalah kebahagiaannya?"

Hendi terkekeh. "Kamu terlalu percaya diri."

Reyhan menyeringai kecil. "Kita lihat saja, Hendi."

Dan dengan itu, permainan baru pun dimulai.

Ruangan rumah sakit itu terasa begitu sunyi, hanya suara alat medis dan dengung pendingin ruangan yang terdengar. 

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Hendi. 

"Tentu saja, hanya tersisa luka ini, membuat wajahku tidak cantik lagi!" Mira terlekeh pelan. Ia duduk bersandar di tempat tidurnya, masih pucat setelah kecelakaan.

"Kamu ini sudah luka parah masih bisa bercanda," timpal Hendi. 

Di sampingnya, Hendi duduk dengan ekspresi waspada, sementara Reyhan berdiri di ambang pintu dengan sebuah kotak makanan di tangannya.

Hendi langsung waspada. "Apa yang kamu lakukan di sini, Reyhan?"

"Mira..." Reyhan mengabaikan Hendi. Ia melangkah masuk, tatapannya lurus ke arah Mira. 

Wanita itu menoleh sekilas sebelum kembali menatap jendela, seolah kehadiran Reyhan sama sekali tidak berarti baginya.

"Aku membawakan makanan," kata Reyhan, suaranya lebih lembut dari biasanya.

Mira tidak menjawab.

Reyhan menarik napas, lalu melangkah mendekat. "Aku tidak tahu makanan favoritmu, jadi aku membelikan beberapa jenis yang berbeda."

Hendi mengernyit. "Kenapa repot-repot, Rey?"

Reyhan tidak menggubrisnya. Ia meletakkan kotak makanan itu di meja kecil di samping ranjang Mira. Ada nasi hangat dengan lauk yang bervariasi, juga beberapa makanan ringan dan minuman.

"Aku tidak butuh ini." Mira menatap makanan itu dengan ekspresi dingin.

"Tapi kamu harus makan, kondisimu belum pulih." kata Reyhan, berusaha terdengar sabar. 

Mira mendengus sinis. "Kenapa kamu peduli?"

Reyhan terdiam sejenak. "Karena aku suamimu."

Mata Mira menajam. Ia berusaha duduk lebih tegak, meski kepalanya masih berdenyut karena luka di kepalanya. "Jangan main-main, Reyhan. Aku sudah bilang, aku tidak ingat menikah denganmu. Dan yang aku ingat… aku masih perawan."

Pernyataan itu seperti pukulan telak bagi Reyhan. Dadanya terasa sesak.

"Aku tidak pernah menyentuhmu, Mira. Tapi itu tidak berarti kita tidak menikah." katanya lirih. 

"Kalau kita memang menikah, pasti aku akan mengingatnya, kan?" Mira menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. 

Hendi menghela napas, merasa Mira semakin tertekan. "Reyhan, sudahlah. Jangan memaksanya."

Tapi Reyhan tidak menyerah. "Mira, aku mohon… hanya makan sedikit saja."

Mira menatapnya tajam, lalu tanpa peringatan, ia meraih kotak makanan itu dan melemparkannya ke tempat sampah di sudut ruangan.

Reyhan membeku.

"Berhenti bertingkah seolah kamu peduli, aku tidak butuh makanan darimu, tidak butuh perhatianmu, dan tidak butuh kau di sini!" kata Mira, suaranya penuh emosi. 

Hendi ikut terkejut dengan reaksi Mira, tetapi ia tidak menyalahkannya. Mira masih dalam kondisi rapuh, dan kehadiran Reyhan hanya membuatnya semakin tersudut.

Reyhan menatap tempat sampah itu. Kotak makanan yang tadi ia beli dengan hati-hati, kini tergeletak di sana seolah tidak ada nilainya. Hatinya sakit, lebih sakit dari yang pernah ia bayangkan.

"Mira… Aku hanya ingin menebus semuanya." suaranya serak. 

Mira terkekeh, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana. "Menebus apa, Rey? Aku bahkan tidak tahu apa yang kamu lakukan padaku."

Reyhan mengangkat wajahnya. Matanya yang biasanya penuh keangkuhan kini hanya menyimpan luka. "Aku tahu aku telah banyak menyakitimu."

Mira menatapnya dingin. "Kalau kamu benar-benar ingin menebus semuanya, tinggalkan aku."

Reyhan menelan ludah. "Aku tidak bisa."

"Kenapa? Kamu masih ingin menyiksaku?" Mira menantangnya. 

Reyhan menggeleng. "Karena aku mencintaimu, Mira."

Mira tertawa pahit. "Cinta? Kamu pikir aku akan percaya omong kosong itu?"

Reyhan tidak menjawab. Hanya tatapan matanya yang penuh kepedihan.

Akhirnya, Hendi berdiri. "Sudah cukup, Rey. Pergilah."

Reyhan masih menatap Mira, berharap ada sedikit saja keraguan di mata wanita itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kebencian dan kehampaan.

Dengan langkah berat, Reyhan berbalik dan berjalan keluar dari ruangan. Saat pintu tertutup di belakangnya, Mira meremas selimutnya, dadanya naik-turun menahan emosi yang meledak.

Hendi duduk kembali di samping Mira, menatap wanita itu dengan khawatir. "Kamu baik-baik saja?"

Mira menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Hendi. Aku benar-benar tidak tahu."

Di luar ruangan, Reyhan bersandar pada dinding koridor rumah sakit. Ia menutup matanya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Reyhan Pratama merasakan sakit yang luar biasa. Dan semua itu karena satu wanita, Miranda Sindu.

Rena berdiri di sudut koridor rumah sakit, matanya tak berkedip menatap adegan yang baru saja terjadi. Tangan yang menggenggam tas kecilnya bergetar hebat, tetapi bukan karena takut, melainkan karena amarah yang mendidih dalam dirinya.

Mata indahnya menyipit saat melihat Reyhan keluar dari kamar rawat Mira dengan wajah penuh luka. Luka yang seharusnya ia obati. Luka yang seharusnya ia sembuhkan. 

Tetapi nyatanya, semua perhatian Reyhan hanya tertuju pada Mira. Wanita yang seharusnya sudah mati.

Tangan Rena mengepal kuat.

Tidak seharusnya Mira masih hidup.

Rena masih mengingat dengan jelas malam itu, malam ketika ia memastikan bahwa kecelakaan itu terjadi. Ia telah menunggu di area parkir rumah sakit, mengamati Mira dan Hendi yang berjalan menuju mobil mereka. Semuanya terjadi begitu cepat. Sebuah mobil melaju kencang ke arah mereka, dan saat berikutnya, tubuh Mira sudah tergeletak di aspal.

Ia hampir bersorak gembira saat melihat darah mengalir dari kepala Mira. Saat itu, ia berpikir semuanya sudah selesai. Mira akhirnya lenyap dari kehidupan Reyhan. Namun, nasib berkata lain.

Mira masih hidup.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, Reyhan yang selama ini acuh tak acuh, kini justru berjuang mati-matian untuk Mira.

Apa yang kurang dari dirinya?

Rena menggigit bibirnya. Ia telah mengorbankan segalanya untuk Reyhan, tetapi yang pria itu lakukan hanyalah mengejar bayang-bayang wanita yang bahkan tidak mengingatnya.

"Apa aku kurang cantik?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa aku kurang setia? Aku selalu ada untukmu, Reyhan… aku bahkan bersedia menyingkirkan Mira demi kita!"

Matanya yang memerah beralih ke arah Reyhan yang kini bersandar di dinding koridor, tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Dari raut wajahnya, jelas sekali bahwa pria itu terluka.

Rena ingin tertawa.

Jadi begini rasanya melihat pria yang paling dicintainya hancur?

Apakah ini harga yang harus ia bayar?

Seketika, rasa sakit menggerogoti dadanya. Ia telah melakukan segalanya untuk memiliki Reyhan. Tetapi nyatanya, meski Mira telah terhapus dari ingatannya sendiri, Mira tetaplah pusat perhatian Reyhan.

Dan Rena… tetaplah bayangan di sudut.

Tanpa disadari, air mata mengalir di pipinya. Tapi bukan air mata penyesalan, ini adalah air mata kekecewaan, air mata kebencian, air mata yang melambangkan obsesi yang semakin dalam.

Mata Rena menajam. Jika kecelakaan itu tidak cukup untuk menyingkirkan Mira… maka ia harus mencari cara lain.

Ia menyeka air matanya dan membetulkan ekspresinya. Saat ini, ia tidak bisa terburu-buru.

Sambil tersenyum tipis, Rena berbalik.

"Jika Mira masih bisa kembali setelah “mati”, maka aku hanya perlu memastikan bahwa kali ini dia benar-benar pergi."

Bersambung... 

1
Serani Waruwu
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!