Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Sirene meraung, menembus hujan yang mengguyur deras tanpa ampun. Cahaya merah dan biru berkedip cepat di genangan air yang mulai dipenuhi bercak-bercak merah pekat. Darah berceceran di mana-mana.
Jasad para bodyguard dan satpam yang sejak tadi tidak ada, ternyata di sembunyikan di samping rumah hingga darah mereka yang terkena hujan langsung membasahi halaman.
Hujan mengguyur halaman hingga basah, membasahi jejak-jejak yang tertinggal di pecahan kaca, ada juga setetes darah di kusen pintu, cipratan di dinding putih yang kini ternoda kelam.
Eleanor terduduk kaku di samping jasad orang tuanya. Bibirnya bergetar hebat, wajahnya sepucat mayat yang tergeletak di dalam sana. Matanya membelalak tak berkedip, napasnya tersengal naik turun tak teratur.
Petir menyambar langit, cahayanya menyilaukan sejenak sebelum gemuruhnya meledak, mengguncang bumi.
"Aaah!" Eleanor menjerit dan memeluk dirinya erat-erat.
Lututnya lemas. Napasnya terengah, matanya kosong namun membelalak, tubuhnya gemetaran tanpa henti.
"H-hujan… tidak… jangan hujan…" isaknya lirih, seolah berbicara pada langit.
Teriakan dalam kepalanya menggema lebih keras daripada suara hujan itu sendiri. Trauma lamanya kembali menghantam seperti ombak ganas, ia selalu takut hujan dan petir, selalu.
Dan malam ini, ketakutan itu menjadi mimpi buruk yang nyata. Lebih dari nyata. Lebih dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
Air mata bercampur dengan suara hujan yang turun, semakin membuat wajahnya yang dingin membiru.
Di tengah kekacauan itu, terdengar suara langkah kaki berat berlari menerobos hujan.
"Eleanor!!"
Suara itu sangat familiar bagi Eleanor. Sosok lelaki dengan payung biru di tangannya, berlari tanpa peduli pada cipratan lumpur dan darah yang menggenang.
Matanya terbelalak saat melihat istrinya, wanita yang hubungannya kini penuh jarak tengah berdiri seperti patung hidup di tengah neraka basah itu.
"Eleanor!" Sergey kembali memanggil, suaranya parau penuh rasa panik.
Tanpa pikir panjang, Sergey menjatuhkan payungnya, menerobos genangan merah itu, dan langsung memeluk tubuh istrinya yang gemetar hebat. Eleanor menjerit saat disentuh, seolah baru sadar akan kehadirannya.
"T-tidak… jangan… aku… aku takut…" isaknya, wajahnya menunduk ke dada Sergey, seluruh tubuhnya lunglai.
"Ini aku, Eleanor… ini aku… Sergey… aku di sini…" Sergey memeluk lebih erat, menahan tubuh Eleanor yang hampir jatuh ke lantai.
Tangannya menggenggam kepala istrinya, menutup telinga Eleanor dengan telapak tangannya, mencoba meredam suara gemuruh yang menggila.
"Aku di sini… aku tidak akan membiarkan kamu sendirian… aku janji…" suaranya bergetar, terdengar lebih seperti sumpah pada dirinya sendiri dari pada sekadar penenang untuk Eleanor.
Eleanor menangis tersedu di pelukannya, tubuhnya masih gemetar tak terkendali.
Sergey menatap sekeliling dengan pandangan kelam. Matanya menyapu ruangan yang penuh bercak darah, tubuh kedua mertuanya telah ditutupi kain putih oleh petugas medis. Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat.
"Aku minta maaf… aku terlambat…" Sergey berbisik lirih, mencium pelipis Eleanor yang dingin. "Aku minta maaf, Eleanor…"
Petir menyambar lagi, dan kali ini tubuh Eleanor mengejang, memeluk Sergey lebih erat seperti menggenggam satu-satunya sisa kehangatan di dunia yang telah membeku oleh duka.
Tangannya mencengkeram jas basah Sergey, seolah jika ia melepaskan, dirinya akan terhempas ke dalam kegelapan yang tak berujung.
"Ibu... dan Ayahku... mereka-"
"Shhh.. aku tahu, jangan menangis, Sayang. Aku di sini. Aku akan tetap di sini," Sergey membalas dengan suara lembut, meski dalam hatinya sendiri, badai tak kalah hebatnya berkecamuk.
Malam itu, di bawah hujan deras yang mengguyur darah, Sergey memeluk istrinya seakan-akan dunia di sekitar mereka telah runtuh dan memang, bagi Eleanor, dunia itu telah benar-benar runtuh.
***
Suara sirene mulai memudar, jasad orang tua Eleanor di bawa menuju rumah sakit untuk melakukan otopsi. Suaranya semakin samar tertelan hujan deras yang belum juga reda. Pelukan Sergey menguat, seolah tak ingin melepaskan Eleanor barang sedetik pun.
Namun, tatapan Eleanor mulai kosong. Pandangannya menerobos kabut air mata, seolah menembus waktu.
"Hujan… petir…" Eleanor bergumam pelan, namun di dalam pikirannya badai jauh lebih menggelegar.
Kilatan petir menyambar langit, cahayanya menyilaukan. Seolah menyulut sumbu ingatan yang selama ini terkunci rapat di sudut tergelap benaknya.
Dalam sekejap, tubuh Eleanor menegang. Napasnya tercekat.
"Jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan aku…" bisiknya berulang kali, tapi kalimat itu tidak untuk Sergey.
Pandangan matanya memudar dari kenyataan, terlempar ke sebuah hari lain yang kelam pada kehidupannya yang pertama, bertahun-tahun yang lalu sebelum ia mengalami transmigrasi.
Hari itu juga hujan turun dengan lebatnya, di sertai guntur yang menggelegar.
Petir mengoyak langit seperti cakar iblis. Di bawah guyuran hujan yang membasahi tanah berlumpur, sosok pria paruh baya terbaring di tanah. Tubuhnya berlumuran darah, napasnya terengah dengan suara nyaris tak terdengar.
"Emma…" suara pria itu serak, terbatuk darah, namun sorot matanya tetap lembut memandangnya.
"Tuan Ashton!!" Emma muda, dengan rambut basah menempel di wajah, berlutut di samping tubuh gurunya.
Suara isaknya bercampur dengan deru hujan yang menggila. Tangannya gemetar saat mencoba menahan luka di dada pria itu, namun darah terus merembes keluar, tak tertahankan.
"A-aku… aku bisa menyelamatkanmu… aku bisa…" ucapnya panik, bibirnya bergetar.
Sang guru menggeleng pelan, senyum tipis tersungging meski rasa sakit menggerogoti tubuhnya.
"Sudah terlambat, Emma…" gumamnya lemah. "Jangan menangis… ingat apa yang sudah kuajarkan padamu… kendalikan hatimu… jangan biarkan kejadian ini membuatmu lemah."
Namun hujan hari itu bukan sekadar cuaca. Hujan hari itu menjadi neraka bagi Emma muda.
Emma mencengkeram erat tangan gurunya yang mulai dingin, air mata bercucuran tanpa henti, bercampur dengan air hujan yang menetes dari dagunya.
"T-tidak… jangan pergi… jangan pergi… jangan tinggalkan aku!" teriaknya nyaring, namun hanya disambut oleh gemuruh petir yang membelah langit.
Suara itu menjadi saksi betapa ia kehilangan satu-satunya sosok yang berarti dalam hidupnya saat itu.
Dan tepat di hadapannya, nyawa gurunya memudar. Tatapan mata yang hangat itu meredup, tenggelam dalam kegelapan abadi.
"Emma…" adalah kata terakhir yang keluar dari bibir pria paruh baya itu, sebelum tubuhnya terkulai lemas.
Emma meraung histeris, jeritannya tertelan oleh derasnya hujan, namun luka di hatinya terus terpatri hingga bertahun-tahun kemudian.
"Eleanor!" suara Sergey menggema, memecah lamunannya.
Eleanor tersentak keras dari pusaran ingatan itu, matanya membelalak penuh ketakutan. Nafasnya memburu, tubuhnya menggigil seolah hawa dingin masa lalu masih membelenggu kulitnya.
"Aku… aku…" bibirnya bergetar hebat.
"Aku di sini, dengarkan aku," Sergey menangkup wajahnya, memaksa Eleanor menatap matanya. "Jangan melamun seperti ini, Lea. Kamu membuatku takut..."
Sergey mendekatkan keningnya hingga menempel di kening istrinya, suara Sergey bergetar, parau oleh cemas yang menumpuk.
"Aku… aku tidak peduli seberapa renggang hubungan kita," bisiknya lirih, nyaris putus asa, "Aku lebih suka kamu yang cerewet, marah-marah bahkan memakiku, jangan begini, Lea. Dadaku sakit melihatmu seperti ini..."
Tanpa di minta, air mata Sergey jatuh begitu saja di pipinya. Ia belum pernah melihat istrinya seperti ini, entah trauma apa yang ia miliki hingga melihat hujan dan petir sudah membuatnya sangat ketakutan.
Eleanor menutup matanya erat, air mata tak terbendung membasahi pipinya yang pucat pasi. Tubuhnya masih bergetar hebat, seakan tak mampu memproses kenyataan di hadapannya. Darah orang tuanya, hujan yang mengguyur tak kenal ampun, kilat petir menyambar seakan mengejek kelemahannya.
"Aku tidak kuat, Sergey…" isaknya parau, seperti anak kecil yang kehilangan arah di tengah badai.
"Aku tahu, aku tahu kamu takut, Eleanor," Sergey memeluknya semakin erat, seperti ingin menjadi perisai bagi istrinya yang rapuh.
Tangannya mengusap belakang kepala Eleanor dengan lembut, menenangkan meski dirinya sendiri dipenuhi kecemasan.
Hujan mengguyur tak kenal belas kasihan, menciptakan aliran air bercampur darah yang mengalir perlahan di halaman rumah orang tua Eleanor.
"Semua orang meninggalkanku, Sergey… semua orang…" isaknya lirih namun penuh luka yang menganga.
Sergey memejamkan mata menahan sesak yang mencengkeram dadanya. Ia menarik Eleanor lebih dekat, hampir menyatu, seolah ingin memindahkan semua rasa sakit istrinya ke dirinya.
"Tidak… tidak akan, Lea. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Aku di sini," Sergey berbisik, penuh tekad namun suaranya basah oleh duka. "Sekalipun dunia ini runtuh… aku akan tetap di sisimu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian."
Luka lama yang selama ini terkubur muncul ke permukaan, meluap bersama tragedi yang baru saja terjadi di rumah keluarganya.
Soo.... jangan lupa up tiap hari.. tiap waktu yaa Thor 👍😘😁😍😍