Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Yuki menegang seketika saat merasakan gigitan kecil di daun telinganya. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya.
“Pangeran Riana…” bisiknya, hampir tanpa suara.
Namun, pria itu hanya mempererat pelukannya, tubuhnya yang hangat menyelimuti Yuki seakan ingin memastikan bahwa gadis itu tidak akan bisa pergi ke mana pun.
“Kau selalu mencoba menjaga jarak dariku,” gumam Pangeran Riana di dekat telinganya, suaranya terdengar dalam dan berbahaya. “Tapi kau tahu itu sia-sia, bukan?”
Yuki menggigit bibirnya, berusaha mengatur napasnya yang terasa berat. Dia tahu. Dia tahu betul bahwa sejak awal, dia tidak pernah benar-benar bisa lari dari pria ini.
“Diamlah di sini,” lanjut Pangeran Riana, jari-jarinya bergerak mengusap punggung Yuki dengan gerakan perlahan. “Jangan membuatku marah lagi, Yuki.”
Pangeran Riana mengangkat dagu Yuki dengan dua jarinya, memaksa gadis itu menatapnya. Tatapannya tajam, penuh dengan klaim dan kepemilikan yang tak terbantahkan.
“Jangan menantang kesabaranku, Yuki,” suaranya terdengar dalam, hampir seperti bisikan berbahaya di udara. “Aku bisa saja membuatmu tetap terjaga sepanjang malam… atau kau bisa memilih cara lain untuk menenangkanku lebih cepat.”
Yuki menggigit bibirnya, merasa kedua pipinya menghangat. Dia ingin menjauh, tapi pelukan pria itu terlalu erat. Dia mencoba mengatur napas, berpikir keras mencari cara untuk menghindari keinginannya.
“Aku lelah…” bisiknya akhirnya, mencoba mencari alasan.
Pangeran Riana tersenyum kecil—senyum yang sama sekali tidak memberi ketenangan. “Kalau begitu, aku akan memastikan kau tertidur dalam pelukanku. Tidak ada jalan lain, Sayang.”
“Pangeran, Apa Kau tidak merasa tempat tidur ini terlalu kecil untuk kita berdua” kata Yuki beralasan.
“Kalau begitu, Kau bisa tidur diatasku”
Yuki membelalakkan mata, terperangah mendengar jawaban Pangeran Riana yang begitu santai, seolah itu adalah hal yang wajar.
Wajahnya memanas, dan dia segera berpaling, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “A-aku tidak mengantuk,” katanya, berharap itu cukup sebagai alasan untuk menjauh.
Pangeran Riana hanya tersenyum kecil, menarik Yuki kembali ke dalam pelukannya. “Kalau begitu, biarkan aku yang meninabobokanmu,” bisiknya tepat di telinga Yuki, suaranya dalam dan penuh kepemilikan.
Yuki menggigit bibirnya, tahu bahwa semakin dia berusaha menghindar, semakin erat pria itu akan mengikatnya.
“Kenapa Kau jadi canggung setelah sebelumnya Kau seperti kucing liar yang mencoba memakanku ?” Tanya Pangeran Riana.
“Aku tidak memakanmu dan berhenti memanggilku kucing liar aku tidak suka” kata Yuki kesal. Dia membalikkan badan untuk menatap Pangeran Riana.
Pangeran Riana tertawa kecil, suara renyahnya memenuhi kamar yang masih diselimuti kehangatan malam. Dia menarik Yuki lebih dekat, mengusap punggungnya dengan lembut.
“Kau tidak suka?” ulangnya, nadanya menggodanya. “Tapi kau memang seperti kucing liar, Yuki. Menggigit, mencakar, lalu berpura-pura jinak saat merasa terpojok.”
Yuki mendengus kesal, menyembunyikan wajahnya di dada Pangeran Riana. “Aku tidak seperti itu,” gumamnya.
Pangeran Riana tersenyum, jari-jarinya bergerak santai membelai rambut Yuki sebelum dagunya bertumpu di atas kepala wanita itu. “Baiklah, kalau begitu, kau adalah kucing kecilku yang manja,” katanya pelan, nadanya lebih lembut namun tetap mengandung otoritas yang tak terbantahkan.
“Dan kucingku ini tidak akan pergi ke mana-mana, bukan?”
Yuki tidak menjawab. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, tapi jemarinya yang tanpa sadar mencengkeram pakaian Pangeran Riana cukup menjadi jawaban yang diinginkannya.
Pangeran Riana menundukkan kepala, mendekat hingga napasnya menghangatkan wajah Yuki. Tanpa memberi kesempatan bagi wanita itu untuk menghindar, bibirnya menemukan milik Yuki dalam ciuman yang dalam—menuntut dan mendominasi, seolah jawaban yang diinginkannya hanya bisa ditemukan di sana.
Yuki tersentak, jari-jarinya yang tadi mencengkeram pakaian Riana semakin erat, tapi dia tidak menolak. Ada sesuatu dalam ciuman itu yang membuatnya kehilangan kata-kata, kehilangan keinginan untuk melawan.
Pangeran Riana menariknya lebih dekat, memperdalam ciumannya, seakan memastikan bahwa Yuki tidak akan pergi ke mana pun. Bahwa hanya dia satu-satunya tempat Yuki kembali.
Pangeran Riana melepaskan ciumannya, menatap Yuki dalam-dalam, suaranya rendah namun sarat emosi. “Yuki… Apa kau yakin bisa melahirkan anak dalam perutmu?”
Yuki terdiam.
Pertanyaan itu seolah menghantamnya lebih keras daripada pukulan apa pun. Hatinya mencelos, dan untuk sesaat, ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Dia sudah tahu—sudah lama tahu.
Dokter Aurelian pernah mengatakan kepadanya bahwa tubuhnya hanya sanggup melahirkan tiga anak. Luka dari masa lalu, dari insiden mengerikan yang melibatkan Putri Marsha, telah meninggalkan bekas yang tidak akan pernah bisa hilang. Putri Marsha, wanita yang pernah mencoba menguasai Pangeran Riana, hampir merenggut segalanya dari Yuki, bahkan kemampuannya untuk memiliki keturunan.
Tapi ramalan mengatakan sesuatu yang lain.
Dia diramalkan akan memiliki empat anak.
Sebuah paradoks yang menghantuinya. Kenyataan yang bertentangan dengan takdir yang telah digariskan untuknya.
Namun, yang lebih menyakitkan dari itu semua adalah mengetahui bahwa Pangeran Riana tidak menginginkan anak lagi darinya. Bukan karena dia tidak menginginkan keluarga, bukan karena dia tidak ingin memiliki lebih banyak keturunan—tetapi karena dia tidak ingin kehilangan Yuki.
Yuki mengerti itu.
Pangeran Riana tumbuh dengan trauma kehilangan. Ibunya, Ratu Amelia, meninggal dunia sesaat setelah melahirkannya. Dan kini, Pangeran Riana dihadapkan pada kemungkinan yang sama—kehilangan wanita yang paling ia miliki, yang paling ia cintai, karena alasan yang sama seperti ia kehilangan ibunya.
Dan kini, di hadapan pria itu, Yuki justru tengah mengandung.
Tangannya secara refleks menyentuh perutnya. Masih datar. Masih belum terasa apa pun. Tapi di dalam sana, ada kehidupan. Kehidupan yang mungkin akan membawa kebahagiaan, atau justru membawa duka yang lebih dalam dari sebelumnya.
Dia menarik napas, menatap Pangeran Riana dengan tekad yang mulai tumbuh di matanya.
“Aku tidak tahu,” bisiknya. “Tapi aku ingin mencoba.”
Pangeran Riana terdiam lama. Jemarinya menyusuri rambut Yuki dengan gerakan yang nyaris ragu. “Yuki…”
Yuki mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan sorot mata yang penuh dengan tekad. “Aku ingin anak ini lahir, Pangeran.”
Mata Pangeran Riana meredup. Rahangnya mengeras, dan Yuki tahu, meskipun pria itu tidak berkata apa-apa, hatinya sedang berperang. Antara ketakutan dan harapan, antara kehilangan dan kebahagiaan yang mungkin tidak bisa ia genggam terlalu lama.
Dan untuk pertama kalinya, Yuki melihat ketakutan itu begitu jelas dalam tatapan pria itu.
Sejak awal, dia tidak menginginkan anak ini.
Makhluk itu… sesuatu yang tumbuh di dalam perut Yuki… bagi Riana, itu bukan anugerah, melainkan ancaman. Bukan hanya karena ramalan atau takdir yang tidak bisa ia kendalikan, tetapi karena Yuki sendiri.
Dia tahu betul betapa rapuh tubuh Yuki. Dokter Aurelian sudah menjelaskan segalanya, tentang batas yang dimiliki wanita itu, tentang betapa berbahayanya kehamilan ini bagi nyawanya. Jika dibiarkan, makhluk itu akan terus tumbuh, menghisap kekuatan Yuki, melemahkannya sedikit demi sedikit, hingga pada akhirnya… mungkin merenggutnya dari sisi Riana.
Itu tidak boleh terjadi.
Dia harus menyingkirkan anak itu.
Tapi satu hal yang menghentikannya—Yuki sendiri.
Setiap kali Riana berpikir untuk mencari cara agar kandungan itu hilang, dia tahu Yuki akan melawan. Dia bisa melihatnya sekarang, bagaimana tangan Yuki dengan refleks menyentuh perutnya, melindunginya, bahkan tanpa dia sadari.
Jika Riana mencoba mengambilnya… Yuki akan semakin melindunginya.
Dan itu membuat semuanya semakin sulit.
Pangeran Riana mengepalkan tangannya, mencoba menekan gejolak yang membakar dadanya. Dia tidak ingin anak ini. Tapi dia juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan Yuki.
Jadi apa yang harus dia lakukan?
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pangeran Riana merasa terjebak.
Walaupun anak yang dikandung Yuki adalah anaknya sendiri, perasaannya mungkin akan tetap sama—benci, muak, dan penuh ketakutan bahwa anak itu akan merenggut Yuki darinya. Namun, kenyataan yang ada jauh lebih buruk dari apa yang bisa ia bayangkan.
Ini bukan anaknya.
Ini adalah anak musuhnya.
Anak dari pria yang telah menghancurkan segalanya.
Sera telah merebut Yuki darinya. Memisahkan mereka dengan cara yang paling hina. Membuat Yuki menatap pria itu dengan kasih sayang yang tidak pernah bisa ia dapatkan sepenuhnya.
Dan sekarang… bahkan setelah kematian pria itu, Sera masih meninggalkan sesuatu dalam hidup Yuki. Masih menodai Yuki dengan keberadaannya.
Riana bisa menerima apapun. Pengkhianatan, perlawanan, bahkan kebencian Yuki terhadapnya. Tapi satu hal yang tidak bisa ia terima adalah kenyataan bahwa Yuki masih menyebut nama pria itu dalam tidurnya.
Masih memimpikannya.
Masih mendambakannya.
Seolah Riana tidak pernah cukup. Seolah keberadaannya tidak akan pernah bisa menghapus Sera dari hati dan pikiran Yuki.
Dan kini, wanita itu bahkan membawa darah pria itu di dalam tubuhnya.
Bagi Riana, itu adalah penghinaan yang tidak bisa diterima.
Darah musuhnya… tumbuh di dalam rahim wanita yang ia cintai lebih dari apapun.
Itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah ia biarkan. Sesuatu yang harus ia lenyapkan.
Tapi Yuki… Yuki tidak akan membiarkannya.
Riana tahu itu. Dia bisa melihat bagaimana wanita itu mulai membentuk benteng di sekeliling dirinya, bersiap untuk melindungi anak itu dengan segala yang ia miliki.
Dan hal itu membuat Riana semakin membenci segalanya.
Benci pada anak itu.
Benci pada Sera yang bahkan dalam kematiannya masih merenggut sesuatu darinya.
Benci pada Yuki… karena masih belum bisa sepenuhnya menjadi miliknya.
Namun yang paling ia benci—adalah dirinya sendiri.