Sembilan tahun yang lalu mas Alfan membawa pulang seorang gadis kecil, kata suamiku Dia anak sahabatnya yang baru meninggal karena kecelakaan tunggal.Raya yang sebatang kara tidak punya sanak keluarga.
Karena itulah mas Alfan berniat mengasuhnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan gembira. selain aku memang penyayang ank kecil, aku juga belum di takdirkan mempunyai anak.
Hanya Ibu mertuaku yang menentang keras keputusan kami itu. tapi seiring waktu ibu bisa menerima Raya.
Selama itu pula kehidupan kami adem ayem dan bahagia bersama Raya di tengah-tengah kami
Mas Alfan sangat menyayangi nya seperti anak kandungnya. begitupun aku.
Tapi di usia pernikahan kami yang ke lima belas, badai itu datang dan menerjang rumah tanggaku. berawal dari sebuah pesan aneh di ponsel mas Alfan membuat ku curiga.
Dan pada akhirnya semua misteri terbongkar. Ternyata suami dan anak ku menusukku dari belakang.
Aku terpuruk dan hancur.
Masih adakah titik terang dalam kemelut rumah tang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Sebenarnya Wanda wanita lugu. tapi karena hasutan orang tuanya dia ikut terbawa arus.
Orang tuanya ingin Wanda dan Fajar bersatu. Mereka tidak mau harta yang di miliki Fajar harus jatuh ke tangan orang lain. Itu adalah salah satu alasannya.
Tapi sayangnya Fajar sudah memiliki cintanya sendiri. Yaitu Mentari. Hal itu membuat orang tua angkatnya memutar otak untuk memisahkan Fajar dari Mentari.
Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk menjatuhkan Mentari di mata Fajar, tapi tidak pernah berhasil.
Seperti saat ini. Mengetahui Mentari tidak pulang, dia sudah menyusun rencana dengan rapi.
"Bang, kopinya.." Wanda meletakkan secangkir kopi di dekat Fajar.
Dengan memasang wajah sedih dia ikut duduk di dekat suaminya.
"Kenapa ya mba Mentari berbuat begini, atau jangan-jangan kalian sedang bertengkar?"
Fajar menggeleng.
"Kami tidak pernah berselisih paham selama ini. Mentari sangat pengertian, mungkin kalau ada sesuatu yang tidak dia suka, dia akan diam dan mengalah." Fajar menerawang mengenang kebaikan Mentari.
Wanda menarik nafas kesal. Mentari selalu yang terbaik di mata Fajar.
"Aku bukan nya ingin memperkeruh suasana, sama sekali bukan. Tapi ini sangat kebetulan. Kemarin aku berpapasan dengan Alfan mantan suami mba Mentari." ucapnya dengan hati-hati . Fajar langsung menoleh dengan wajah terkejut.
"Iya, Bang. semula aku ingin menghindarinya. Tapi dia bilang tidak akan menyakiti ku. Lalu dia bertanya tentang mba Mentari. Banyak sekali.. Dia juga bilang perasaan nya pada mba Mentari belum berubah.
Fajar terdiam.
Wanda berharap kalau Fajar mulai berprasangka buruk kepada Mentari.
"Tidak mungkin..! Tidak mungkin menghilangnya Mentari ada hubungannya dengan Alfan." Fajar berdiri dengan gusar. Rasa was-was dan cemburu mulai menggerogotinya.
Wanda tersenyum kecil melihatnya.
"Abang minum dilu kopinya biar lebih tenang. memang belum tentu mereka ada kaitannya, tapi kalau itu sampai terjadi?" ucap Wanda lagi
Fajar teringat permintaan Mentari agar dirinya menerima. Wanda sebagai istri seutuhnya. Lalu apakah itu hanya alasan kalau sebenarnya dia sudah jenuh menemani dirinya? Lalu setelah Wanda Masik dalam hidupnya dia akan pergi?
Tanpa sadar Fajar meneguk kopi yang di sodorkan Wanda sampai habis.
setelah itu dia terduduk lesu.
Bibirnya terus memanggil nama Mentari.
Fajar memegangi kepalanya yang terasa pusing.
"Kenapa, Bang?"
"Kepalaku pusing sekali.." Fajar merebahkan tubuhnya di sofa.
"Mau ku antar ke kamar?" tawar Wanda dengan semangat. Namun Fajar menggeleng.
Rupanya bubuk perangsang yang di masukkan emaknya sudah bereaksi.
"Aku tidak apa-apa, tolong jaga di depan pintu saja, siapa tau Mentari pulang." ucapnya dengan mata sayu.
Wanda sedikit jengkel. Dalam keadaan seperti itu saja dia masih menyebut nama Mentari.
"Abang tidak baik-baik saja. sebaiknya istirahat di kamar." usul Wanda sambil memapahnya ke kamar.
Fajar yang hampir kehilangan kesadaran menurut saja.
namun bukan kamar Fajar yang di tuju. Wanda membawa Dahar masuk ke kamarnya.
Setelah merebahkan tubuh suaminya. Wanda mengganti bajunya dengan baju milik Mentari yang sudah dia siapkan.
Mata Fajar menyipit memandangnya.
"Tari, kau datang? Iya, aku yakin kau akan datang..." Wanda hanya tersenyum sambil merebahkan tubuhnya di sisi Fajar. Fajar yang sudah di kuasai nafsu semakin bergairah melihat sosok Mentari dalam diri Wanda.
***
Tak terasa akhirnya pagi menjelang.
Sebelum Ryan bangun aku sudah harus pergi. Aku tidak mau dia merasa kehilangan saat aku tinggalkan.
Aku pandangi wajah tanpa dosa itu.
Sambil membelai rambutnya aku bisik kan di telinganya.
"Ibu janji, akan sering datang kesini. Dan bila tiba waktunya, ibu akan membawa mu."
Setelah bicara sejenak dengan pengurus panti, aku bergegas pergi.
Tak lupa aku sisipkan amplop di tangan pengurus
Isinya memang tidak seberapa, tapi bisa buat tambah-tambah uang jajan anak-anak.
Angin dingin menyergap saat tiba di tepi jalan. Aku pulang dengan taksi.
Harapanku mas Fajar akan baik-baik saja.
Sampai di rumah masih sangat lagi. Emak yang membukakan pintu.
"Baru pulang?" tanyanya datar. aku hanya mengangguk samar.
Suasana sepi sekali, dimana mas Fajar dan Wanda, apakah mereka?
Hatiku berdebar kencang. Apalagi Emak mengikuti gerak-gerik ku sejak tadi.
Aku masuk ke kamar ku. Sebenarnya aku berharap mas Fajar ada disana. Tapi kamar itu kosong, spray nya masih licin.
Pikiran ku mulai mengembara. Apakah rencana ku berhasil?
Tiba-tiba Wanda muncul di pintu dengan wajah sumringah penuh senyum.
Rambutnya masih terbalut handuk.
"Mba, baru pulang?"
Aku hanya bisa mengangguk.
"Mas Fajar...?" tanyaku dengan suara serak.
"Seperti yang mba rencanakan." jawabnya tersenyum.
Tidak tau dari datangnya, tiba-tiba air mataku terasa panas.
"Selamat, ya Wanda.." ucapku tersenyum di tengah derasnya air mata ku.
"Ini juga berkat rencana mba Tari."
Aku mengangguk kecil. Lalu minta ijin untuk membersihkan diri.
Setelah Wanda pergi.
Aku menutup pintu. Dadaku sesak oleh tangis yang tertahan. Aku luruh kelantai.
Sesakit inikah rasanya berbagi suami? Munafik kalau ada seorang istri yang bilang kalau dia ikhlas berbagi hati dengan wanita lain.
Setelah membersihkan diri aku keluar kamar. Tidak ada lagi air mata. Aku berusaha tegar di depan Emak dan Wanda.
Sat itu mas Fajar bangun dari tidurnya. Dia langsung kaget mendapati dirinya berada di kamar Wanda.
Dia buru-buru masuk ke kamarnya. Tapi di depan pintu kami berpapasan.
Antara kaget, sedih dan gugup.
Dia menatapku cukup lama.
Lalu menatap keadaannya yang bertelanjang dada.
"Maaf, Tari.." suaranya lirih hampir tak terdengar.
Sebisa mungkin aku mengatakan air mata agar tidak tumpah di depannya.
Mas Fajar bergegas mandi dan berpakaian.
Aku menyusulnya ke kamar.
Ku lihat duduk terpekur di tepi ranjang.
"Mas.." aku menyapanya pelan
"Kau darimana saja, kenapa kau lakukan ini semua?" tiba-tiba dia. Berlari dan menabrak kaki ku.
"Maafkan aku Tari. Aku sudah mengkhianati mu. Aku sudah menodai janjiku sendiri." dia menangis seperti anak kecil.
Aku membantunya berdiri. Ku usap air matanya sambil menggeleng.
"Siapa bilang kau sudah berkhianat? Justru kau sudah menang kau berusaha menjadi suami yang adil kepada kedua istri mu."
Dia memeluk ku dengan erat.
Rasa penyesalannya sangat dalam.
Itu kulihat dari caranya bersikap kepada Wanda sangat canggung.
Mas Fajar semakin perhatian kepadaku. Hal itu membuat emak dan Wanda dongkol kepada ku. tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Sampai suatu hari mas Fajar di buat kaget oleh pengakuan Wanda.
"Aku hamil, Bang..!"
Aku mengucap sukur dengan gembira.tapi tidak dengan mas Fajar. Dia terlihat murung setelah mendengar kabar itu.
Aku berusaha memberinya pengertian.
"Aku takut dengan kehadiran anak itu akan menjauhkan mu dariku." ucapnya jujur.
"Kenapa bisa begitu, mas? Aku tidak mengerti."
"Ini hanya perasaanku saja. Semoga tidak terjadi." jawabnya sambil merangkul ku dengan erat.
Malamnya aku sedang mengerjakan tugas kantor, saat itu ponselku berdering. Saat ku lihat ternyata dari nomor tidak di kenal.
Dengan malas ku angkat.
"Halo, siapa ini?"
"Apa kabar mu Mentari?"
Aku tersentak kaget. Suara itu sangat familiar di telingaku, Suara itu..?