“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Jangan Kegeeran, Pak Wira!
Ketika semuanya sudah siap, Wira kembali ke ranjang dan duduk di tepi tempat tidur. Aqila langsung menyambut botol susu yang diberikan Wira, menyedotnya dengan lahap. Senyum kebahagiaan muncul di wajah pria itu. Ada perasaan berbeda dalam hatinya—perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menikmati momen ini, melihat putrinya menyusu dalam dekapannya.
Tatapannya kemudian beralih pada Chaca. Wanita itu masih terlelap, napasnya teratur, wajahnya begitu tenang. Wira menatapnya lebih lama, mengamati setiap detail wajah istrinya. Ada kelelahan yang tersembunyi di balik kedamaian itu, ada kepedihan yang ia tahu telah lama dipendam. Perlahan, tanpa berpikir panjang, ia mendekatkan wajahnya, lalu mengecup pipi Chaca dengan lembut.
Hatinya berdebar. Sentuhan itu terasa begitu berbeda. Lalu, dengan keberanian yang entah datang dari mana, ia menggerakkan jarinya, menyentuh bibir ranum istrinya yang masih terpejam. Wira menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin mengecup bibir itu, tetapi ia menahan diri. Ia tahu, Chaca belum siap menerimanya. Namun, hanya dengan menyentuhnya saja, ada sesuatu yang menghangatkan dadanya.
Chaca menggeliat sedikit, mungkin merasakan sentuhannya. Wira buru-buru menarik tangannya, khawatir wanita itu terbangun dan kembali menunjukkan sikap dinginnya. Ia menarik napas dalam, lalu kembali fokus pada Aqila yang kini sudah mulai kenyang. Bayi itu membuka matanya, menatap Wira dengan tatapan polos yang begitu meneduhkan.
"Papa ada di sini, Sayang," ujar Wira dengan suara lembut. "Papa akan selalu ada untukmu."
Tanpa ia sadari, Chaca mulai membuka matanya perlahan. Ia melihat pemandangan yang jarang ia temui—Wira yang sedang menggendong Aqila dengan penuh kasih sayang. Seketika hatinya terasa aneh. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya, tetapi ia buru-buru menepisnya.
"Pak Wira ngapain di sini? Kenapa bisa ada di kamar saya lagi!" Suara Chaca terdengar serak karena baru bangun.
Wira menoleh, sedikit terkejut karena Chaca sudah bangun. Di balik wajah tegasnya, pria itu tersenyum kecil. "Aqila lapar, jadi saya buatkan susu. Saya tidak mau membangunkan kamu."
Chaca terdiam. Ia menatap Wira dengan pandangan yang sulit diartikan. Pria itu tampak berbeda. Tidak ada sikap acuh seperti biasanya, tidak ada wajah datar yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Yang ada kini hanyalah seorang pria yang sedang berusaha menjadi ayah.
"Terima kasih," ucap Chaca lirih, hampir tak terdengar.
Wira mengangkat alis, tidak menyangka akan mendengar ucapan itu dari bibir Chaca. "Apa kamu baru saja berterima kasih pada saya?"
Chaca menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya. "Jangan kegeeran, Pak. Saya hanya menghargai usaha Anda. Tapi itu tidak mengubah apa pun."
Wira tersenyum, kali ini lebih lebar. "Tidak apa-apa. Saya tidak mengharapkan perubahan instan. Tapi saya ingin kamu tahu, saya sungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari hidup kalian."
Chaca menatapnya sejenak, lalu kembali berbaring, membelakangi Wira. "Terserah Pak Wira saja. Saya sudah muak mendengar janji-janji palsu, dan saya tidak mengharapkan belas kasihan dari Pak Wira.”
Wira tahu, ini bukan tanda penolakan sepenuhnya. Ini adalah dinding pertahanan yang Chaca bangun selama ini, dan Wira paham ia harus sabar untuk meruntuhkannya.
Ia menidurkan Aqila kembali di ranjang, memastikan bayinya nyaman. Kemudian, tanpa berkata-kata lagi, ia berbaring di sisi ranjang, tetap menjaga jarak agar tidak membuat Chaca merasa tidak nyaman.
Hening kembali menyelimuti ruangan, hanya terdengar napas teratur dari ketiganya. Namun, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Ada perasaan baru yang mulai tumbuh—entah itu harapan atau sekadar ilusi. Tetapi bagi Wira, ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih baik.
Dan ia berjanji, ia tidak akan lagi lari dari tanggung jawabnya. Tidak kepada Aqila. Tidak kepada Chaca. Tidak kepada perasaannya sendiri.
***
Pagi masih berembus pelan, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, di dalam mansion megah itu, suasana justru terasa begitu dingin dan hampa. Chaca bangun lebih awal dari biasanya setelah menyaksikan Wira menggendong Aqila dengan penuh kasih sayang. Hatinya terasa aneh, ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Namun, ia buru-buru mengenyahkan pikiran itu.
Tanpa banyak kata, ia beranjak dari ranjang, meninggalkan Wira yang masih sibuk dengan Aqila. Ia tidak ingin terlarut dalam kebingungan hatinya sendiri. Sejak dulu, ia sudah terbiasa bersikap mandiri, tidak bergantung pada siapa pun. Kini, setelah bertahun-tahun menghadapi kenyataan pahit bahwa almarhum suaminya lebih memilih wanita lain, ia tak ingin membiarkan dirinya goyah hanya karena sikap manis sesaat dari seorang pria yang baru menikahinya.
Setelah merapikan selimut dan memastikan Aqila nyaman di pelukan Wira, Chaca melangkah keluar kamar. Hawa pagi yang dingin menyambutnya saat ia berjalan menuju dapur. Beberapa maid sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk penghuni mansion, tetapi Chaca tidak bisa tinggal diam. Tangannya refleks mengambil celemek dan mulai membantu mengiris sayuran. Para maid yang melihatnya hanya bisa saling pandang, tidak berani mengusik kesibukan nyonya muda mereka.
"Nggak usah, Mbak Chaca. Biar kami saja yang mengerjakannya," ucap salah satu maid dengan sopan.
Chaca hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Saya butuh kesibukan. Lagi pula, saya juga biasa bantu-bantu, 'kan."
Mereka akhirnya membiarkan Chaca membantu, meskipun dalam hati mereka tahu bahwa ini bukan sekadar tentang memasak. Ada sesuatu yang ingin Chaca hindari—atau mungkin, seseorang.
Setelah beberapa saat, aroma masakan mulai memenuhi dapur. Chaca mengangkat wajahnya, merasa sedikit tenang setelah berkutat dengan pekerjaan. Namun, ketenangan itu sirna begitu saja ketika suara langkah kaki yang begitu familiar terdengar di ambang pintu.
"Chaca!"
Suara nyaring itu membuat semua maid yang ada di dapur langsung menunduk dan berpura-pura sibuk. Chaca sendiri tetap tenang, menaruh pisau di atas talenan dan berbalik, menatap wanita yang berdiri di sana dengan dagu terangkat angkuh.
Adelia!
Chaca tidak terkejut melihatnya di sini. Cepat atau lambat, wanita itu pasti datang. Namun, yang tidak ia sangka adalah ekspresi wajah Adelia yang begitu ketus dan penuh amarah.
"Kenapa kamu menyuruh Mas Wira datang ke sini? Apa kamu pikir dengan begini bisa menarik perhatiannya!" tudingnya, suara Adelia terdengar tajam, menusuk langsung ke dada Chaca.
Bersambung ... ✍️
lanjut
Chaca mulai merasakan kembali d saat dia d lecehkan..dn parah nya lg, dr tarikan napas..perlakuan kasar smp bentuk tubuh smua nya sama persis dgn kejadian naas waktu itu,,apakah yg melecehkan Chaca sebenar nya Wira? dn Ezzar yg jd kambing hitam nya karena kejadian nya pas d kamar Ezzar??
ooohh klo benar, kamu benar2 laki2 terlucknut Wiir..udh merampas sesuatu yg suci, setelah nya kamu seakan akan g terjadi apa2..
dn kamu membiarkan Adelia semena mena terhadap Chaca,,benar2 kamu laki2 tak punya perasaan..pendidikan kamu tinggi tp moral kamu noooll...