Menikah dengan pria yang bahkan belum pernah ia temui? Gila!
Ceira Putri Anggraini tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang gadis yatim piatu yang berjuang di tengah kemiskinan, kini ia menjadi istri dari Daniel Dartanto, pria berusia 30 tahun yang kaya, dingin, dan penuh misteri.
Pernikahan ini terjadi karena utang budi. Tapi bagi Daniel, Ceira hanyalah kewajiban.
Satu atap dengan pria yang nyaris tak tersentuh emosi, Ceira harus bertahan dari tatapan tajam, sikap dingin, dan rahasia besar yang disembunyikan seorang Daniel.
Namun, semakin lama ia mengenal Daniel, semakin banyak pertanyaan muncul.
Siapa sosok yang diam-diam Daniel kunjungi di rumah sakit?
Kenapa hatinya mulai berdebar di dekat pria yang awalnya ia benci?
Dan yang paling penting—sampai kapan ia bisa bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nedl's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 Memulai Lembaran Baru?
Daniel Dartanto melangkah masuk ke rumah dengan langkah mantap. Pikirannya masih dipenuhi dengan percakapannya bersama Bunga. Gadis itu telah membuka matanya setelah sekian lama terbaring dalam koma, tetapi bukan itu yang memenuhi benaknya saat ini.
Yang memenuhi benaknya adalah Ceira.
Bunga telah menyadarkannya bahwa masa lalu adalah sesuatu yang tak bisa ia genggam lagi. Ia harus maju, dan maju berarti menerima kenyataan bahwa sekarang ia memiliki seseorang di sisinya. Pernikahan ini memang dimulai sebagai bentuk balas budi, tetapi entah sejak kapan, ia mulai melihat Ceira bukan hanya sebagai tanggung jawab, melainkan sebagai seseorang yang ingin ia jaga.
Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju kamar. Namun, sebelum masuk, ia menoleh ke arah ruang tamu, melihat ibunya yang tengah duduk di sofa dengan wajah sedikit lelah.
“Mama.”
Gina Dartanto menoleh, sedikit terkejut melihat putranya yang seharusnya masih di kantor. “Kamu sudah pulang?”
Daniel mengangguk, lalu melirik ke sekeliling. “Ceira di mana?”
Wanita itu tersenyum tipis. “Di kamar. Seharian dia lebih banyak istirahat.”
Daniel tak membalas, hanya mengangguk sebelum kembali melangkah menuju kamar mereka. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, suara ibunya kembali terdengar.
“Kamu tahu, Daniel?”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh. “Apa?”
“Ceira menunggumu seperti nya.”
Daniel mengernyit. “Menunggu?”
Gina tersenyum lembut. “Dia nggak mengatakannya, tapi mama bisa melihatnya. Dia mungkin terlihat biasa saja, tapi matanya selalu melihat ke arah pintu setiap kali terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Dia pasti kecewa saat tahu kamu nggak bisa menjemputnya tadi. Lagian kerjaan Mulu yang dipentingkan, istrinya engga."
Daniel terdiam. Kata-kata ibunya seperti menghantam sesuatu dalam dirinya.
Ceira menunggunya?
Ia menarik napas panjang sebelum mengangguk dan membuka pintu kamar.
...----------------...
Ceira berdiri di balkon, menikmati angin sore yang berembus lembut. Udara sore di awal musim semi ini terasa menyegarkan, memberi ketenangan setelah seminggu lebih ia terjebak dalam rumah sakit.
Namun, suara pintu kamar yang terbuka membuatnya sadar bahwa ketenangannya akan segera berakhir.
Daniel.
Ceira mendengar langkah kaki mendekat sebelum akhirnya suara rendah suaminya terdengar di belakangnya.
“Kamu bisa kembali sakit jika terkena angin sore. Nggak baik. Ayo masuk, sudah mau magrib juga.”
Ceira mendengus, lalu berbalik dengan mata sedikit melotot kesal. “Baru juga aku menikmati udara segar, kamu udah mulai ceramah huftt?”
Daniel menatapnya tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu di matanya yang berbeda dari biasanya.
Ceira hendak melanjutkan protesnya, tetapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, tiba-tiba Daniel melangkah mendekat dan…
Memeluknya.
Erat.
Ceira membeku di tempat.
Jantungnya berdegup kencang.
Apa-apaan ini?!
Daniel tidak pernah—tidak pernah—melakukan hal seperti ini sebelumnya. Setidaknya tidak tanpa alasan, tidak tanpa ada yang memaksanya, dan tidak sehangat ini.
Ceira tidak tahu harus merespons seperti apa. Apakah ia harus mendorongnya? Atau bertanya apa yang terjadi? Tapi pelukan Daniel begitu erat, begitu nyata, begitu berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Ceira mengangkat tangannya dan dengan ragu menepuk punggung Daniel.
Daniel mengeratkan pelukannya untuk beberapa saat sebelum akhirnya melepaskan dengan perlahan. Namun, tangannya masih bertahan di bahu Ceira, menatapnya dengan mata yang kini penuh ketegasan.
“Ayo kita menjalani pernikahan ini dengan lebih serius.”
Ceira menatapnya, masih belum sepenuhnya memahami maksudnya. “Apa?”
Daniel menatapnya dalam-dalam. “Mari kita saling membuka hati satu sama lain. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik, dan aku ingin kamu juga melakukan hal yang sama.”
Ceira masih diam, mencoba memahami kalimat itu dengan lebih baik.
Daniel menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, tapi penuh keyakinan.
“Aku ingin menjalani pernikahan ini bukan hanya karena balas budi.”
Ceira menelan ludah. Jantungnya masih berdetak tak karuan. “Kamu serius?”
Daniel mengangguk. “Ya.”
Ceira menggigit bibirnya. Ada perasaan aneh yang perlahan mengisi dadanya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Keheningan menyelimuti mereka.
Daniel menatap wajah Ceira, memperhatikan setiap detailnya. Matanya, bibirnya, ekspresi bingung yang justru membuatnya semakin ingin melindungi gadis ini.
“Tapi…” Ceira akhirnya bersuara, meskipun terdengar ragu. “Kenapa tiba-tiba?”
Daniel menghela napas panjang. “Karena aku menyadari satu hal.”
“Apa?”
Daniel tersenyum kecil, sesuatu yang jarang sekali terlihat di wajahnya. “Aku menyadari bahwa hidupku sekarang adalah kamu.”
Ceira membelalakkan mata.
Kalimat itu … terlalu mendadak. Terlalu mengejutkan.
Tapi di saat yang sama … Terlalu membahagiakan bagi Ceira.
Ceira menatap Daniel lama, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Namun, tidak ada. Yang ada hanyalah ketulusan.
Hatinya mulai terasa hangat.
Pelan-pelan, senyum kecil terukir di wajahnya. “Baiklah,” katanya akhirnya.
Daniel mengernyit. “Baiklah?”
Ceira mengangguk. “Baiklah, kita bisa mencoba menjalani pernikahan ini dengan lebih serius.”
Daniel menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Ceira tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa pernikahan ini benar-benar memiliki arah.
Bukan lagi karena terpaksa.
Bukan lagi karena balas budi.
Tapi karena hati mereka mulai saling menerima.
Dan mungkin…
Hanya mungkin…
Ini awal dari sesuatu yang lebih indah.
...----------------...
Malam telah larut ketika Ceira keluar dari kamar mandi, mengenakan piyama satin berwarna lembut yang terasa nyaman di kulitnya. Rambut panjangnya masih sedikit basah, menjuntai hingga punggung. Ia melangkah perlahan ke dalam kamar, menatap ranjang besar yang kini sudah dihuni oleh seseorang yang menjadi suaminya—Daniel Dartanto.
Biasanya, Daniel akan langsung menghindari nya ke ruang kerja dan tidur di sana, jika mereka menginap di rumah mertuanya. Namun, malam ini sedikit berbeda.
Daniel menepuk sisi kasur kosong di sebelahnya, ekspresinya santai tapi tetap penuh wibawa. “Tidurlah di sini,” ucapnya.
Ceira menelan ludah. Kenapa ini terasa seperti keputusan besar dalam hidupnya?
“Aku … aku bisa tidur di sofa, atau mungkin—”
Daniel menghela napas, memotong kalimatnya. “Kita sudah sepakat untuk menjalani pernikahan ini dengan lebih serius, Ceira.”
Ceira terdiam. Oh Tuhan, kenapa rasanya jantungnya berdetak begitu cepat? Ia tahu Daniel tidak akan melakukan hal aneh padanya, tapi tetap saja … Ini pertama kalinya mereka benar-benar tidur bersama dalam arti yang sesungguhnya.
Ragu-ragu, Ceira melangkah menuju ranjang. Dalam hatinya, ia sudah mulai mengutuk dirinya sendiri.
"Ini serius? Aku akan tidur di sebelahnya? Bagaimana jika … jika dia tiba-tiba melakukan sesuatu? Oh nggak, nggak mungkin! Daniel bukan tipe seperti itu … kan?
Namun, sepertinya keheningan malam ini terasa lebih mengintimidasi dibanding sebelumnya.
Dengan sangat hati-hati, Ceira naik ke atas ranjang dan berbaring di sisi yang paling jauh dari Daniel. Ia bahkan mencoba menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya, seolah itu bisa menjadi benteng pertahanannya.
Tapi, yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaan.
Tiba-tiba, sebuah lengan hangat melingkar di pinggangnya, menariknya mendekat dalam pelukan yang begitu erat.
Ceira menegang.
Jantungnya seperti ingin melompat keluar dari dadanya.
“D-Daniel…” suaranya hampir tidak terdengar.
Daniel hanya menggumam pelan, matanya terpejam seolah ia sudah hampir tertidur. “Kamu terlalu jauh. Aku hanya memastikan kamu tidak jatuh dari ranjang.”
Ceira ingin protes. "Astaga, alasan macam apa itu?!"
Namun, pikirannya seketika buyar saat ia menyadari betapa dekatnya mereka. Napas Daniel begitu terasa di puncak kepalanya, dan tubuh mereka kini hampir tidak memiliki celah. Ceira bahkan bisa mencium aroma khas pria itu—campuran dari sabun, peppermint, dan sesuatu yang membuatnya sedikit pusing … pusing dalam cara yang aneh.
Dengan hati-hati, Ceira menoleh sedikit, diam-diam mencuri pandang ke arah wajah Daniel. Ya Tuhan …
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memperhatikan suaminya. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang sempurna, dan bibirnya yang tampak begitu lembut. Jika dipikir-pikir, selama ini ia terlalu sibuk tidak memperdulikan pernikahan ini hingga lupa bahwa Daniel sebenarnya … sangat tampan.
Tidak, tidak, tidak! Apa yang baru saja ia pikirkan?!
Ceira buru-buru mengalihkan pandangannya, takut kalau-kalau pikirannya semakin liar. Namun, tepat saat itu, suara Daniel terdengar di dekat telinganya.
“Kamu sedang apa?”
Ceira langsung membeku.
Sial!
Daniel belum tidur?!
Gadis itu buru-buru menggeleng, meskipun ia tahu bahwa pria itu tidak akan bisa melihatnya dalam kegelapan. “Ng-nggak ada,” jawabnya cepat.
Namun, Daniel malah tersenyum kecil. “Kamu lagi mengamatiku, ya?”
Ceira merasa wajahnya langsung memanas. “Ih eng-enggak kok! Siapa juga yang mengamati siapa? Aku hanya … hanya sedang berpikir.”
“Oh ya?” Daniel menaikkan sebelah alisnya, meskipun dalam gelap, Ceira bisa merasakannya. “Berpikir tentang apa?”
Ceira mendesah, mencoba mengatur napasnya. “Tentang … bagaimana aku bisa berakhir seperti ini.”
Daniel tersenyum lagi, tapi kali ini ada sesuatu di matanya yang berbeda. Lembut. Hangat.
“Dan apakah itu sesuatu yang buruk?” tanyanya.
Ceira terdiam. Ia sendiri tidak tahu harus menjawab apa.
Sebelumnya, ia memang selalu merasa bahwa pernikahan ini adalah beban. Tapi … malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang berubah. Ada sesuatu yang perlahan mulai tumbuh di dalam hatinya.
Ia tidak menjawab. Tapi ia juga tidak berusaha menjauh.
Daniel menatapnya dalam-dalam, lalu tanpa banyak bicara, ia kembali menutup mata. Tangannya masih tetap melingkar di pinggang Ceira, membuat gadis itu merasa terjebak dalam kehangatan yang anehnya… tidak lagi terasa mengganggu.
Ceira masih bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang menggema di telinganya.
Ya Tuhan… Apakah ini benar-benar awal dari sesuatu yang lebih indah?
Dan dengan pikiran itu, perlahan, matanya ikut terpejam.
BERSAMBUNG.....
maka nya aku baru baca prolog nya
oh ya kak jangan lupa baca novel aju judul nya Istri kecil tuan mafia