Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 : Game of Survival
~Happy Reading~
24 Mei 2015 (Malam Teror)
Memasuki lorong-lorong yang suram, ada sesuatu yang menakutkan tentang gedung sekolah setelah hari gelap, atau dalam hal ini, tepat setelah fajar.
Semuanya sama, persis seperti sat kau meninggalkannya seusai bel terakhir. Tidak ada yang dipindahkan atau diubah. Satu-satunya yang terdengar saat kau melangkah di lorong panjang ini hanyalah suara napasmu dan suara sepatumu sendiri yang berdecit-decit. Rasanya seakan-akan kau memergoki gedung sekolah di tengah-tengah kehidupannya yang lain, kehidupan gelapnya yang berlanjut setelah semua murid dan guru dari alam manusia beristirahat di rumah.
Kapten Namgil yang berjalan paling depan menarik pintu hingga terbuka. Semburan udara yang panas dan pengap menyambutnya. Dia melangkah memasuki koridor sambil menunggu sampai matanya menyesuaikan diri dengan cahaya redup.
Di sisi kanan ada kotak kaca tempat menyimpan piala-piala. Sebuah trofi perak tergeletak di dalamnya. Sementara satu lemari lagi masih kosong.
Menghiasi dinding koridor, tampak spanduk berwarna biru kusam yang sudah sobek. Bunyinya: AYO, PEJUANG! SIKAT TERUS!
Sepatu kets Junseok berdebam-debam di atas lantai yang keras. Mengikuti rombongan yang terus berjalan melewati pintu bertuliskan Ruang Majelis Perwakilan Kelas (organisasi di sekolah yang bertugas mengawasi kinerja OSIS. MPK juga berfungsi sebagai wadah aspirasi siswa kepada pihak sekolah). Loker-loker berjejer di sisi kiri dan kanan. Junseok sesekali melongok ke dalam ambang pintu yang terbuka, mengintip meja dan bangku-bangku masih tersusun rapi, seolah-olah siap menyambut para murid. Gambar peta dunia menghiasi tembok kelas. Rumus-rumus menghiasi papan-papan tulis. Pasti ada petugas piket yang sengaja tidak menghapusnya dan buru-buru kabur demi janji kencan.
"Aku benci suasana sekolah di malam hari," ucap Jiha dengan tampang sayu nan romantis. Atau memang tampang cewek itu dari sononya begitu gara-gara bentuk matanya? Mungkin Junseok yang terlalu berharap.
"Aku tidak pernah suka film horror tentang sekolah," sambung Jiha, karena cowok itu cuma diam melongo bodoh memandangi wajahnya.
"Kenapa tidak suka?" sahut Junseok, kali ini tatapannya bergeser beberapa inci ke bawah, mengamati bibir seksi Jiha.
"Karena itu yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan di siang hari suasana sekolah sudah suram, menonton film horror tentang hantu sekolah memaksaku untuk membayangkan sesuatu yang tidak-tidak pada saat melamun di kelas atau sendirian di toilet."
"Hmm." Junseok manggut-manggut, buru-buru berpaling dari bibir. "Kalau menurutku suasana sekolah di malam hari justru bagus untuk konsentrasi."
"Konsentrasi?" Jiha tercengang.
"Dulu, menjelang ujian mid-semester aku mengungsi dari rumah ke sekolah, bermalam dengan teman-temanku. Soalnya aku tidak pernah bisa belajar di rumah gara-gara ayah dan ibuku berisik."
Jiha ingin sekali bertanya: Berisik kenapa?
Mendadak Jiha ingat harus tahu diri. Ada batasan dan area abu-abu yang belum saatnya dimasuki.
Meskipun...
Okelah, cowok itu sudah mengetahui jenis bacaan Jiha dan semesum apa Jiha.
Rasanya tidak adil, dia bisa masuk seenaknya sementara Jiha tidak.
Sudahlah, bodo amat. Toh cowok itu barangkali juga bodo amat dengan segala tata krama dalam memulai hubungan serta area abu-abu dalam membangun chemistry.
"Orang tuamu sering ribut?" tanya Jiha.
Junseok menatap lurus ke titik terjauh di depan. "Aku tidak mau membahas mereka saat ini."
Wow... fantastic! Ketika Jiha berusaha menunjukkan setitik kepedulilan, malah ditangkis balik pakai jawaban tidak niat semacam itu.
Jiha kesal. Tau gitu mending dia sok-sok misterius juga, jangan beberkan semuanya.
Langkah-langkah kaki tujuh orang itu seperti bergema di koridor panjang. Mereka berbelok, lalu berbelok lagi, sesekali Junseok mengintip ke ruang-ruang kelas.
Kedua tangan Yoohan terbenam dalam-dalam di saku celana pendek baggy-nya, bulir-bulir keringat mengalir turun di keningnya. Suara aneh yang muncul tiba-tiba membuatnya menghentikan langkah.
Dia mendengar suara garukan... di ... lemari sapu?
Sesuatu di dalam lemari itu menggaruk-garuk permukan pintu dengan sepenuh tenaga.
Srekkk... srekkk.. srekkk...
Yoohan menelan ludah. Memutuskan tak ingin tahu apa yang bersembunyi di dalam lemari.
Dia meneruskan langkah.
"Jadi... apa yang dikatakan ibumu waktu mengantarmu ke sekolah pagi tadi?" Haekyung menyamakan langkahnya dengan langkah lambat Taera, mundur, mundur, mundur, mundur, berjalan tepat di sisi cewek itu.
Taera senyum kecut. "Ibuku tidak terlalu senang. Dia bilang aku harusnya di rumah bantu-bantu beres-beres atau menjaga ketiga adik-adikku yang masih kecil-kecil."
"Kau punya adik yang masih kecil-kecil? Rumahmu pasti rame ya."
"Bukan rame lagi. Bencana!" Seulas senyum muncul sembari mengingat tingkah laku adik-adiknya. "Adikku yang nomer dua masih SD kelas 6, yang nomer tiga baru masuk TK, yang bungsu masih balita. Aku disuruh-suruh eomma terus, kalau ada apa-apa aku yang diomeli."
"Disuruh-suruh?" Haekyung geleng-geleng sambil tersenyum kecil. "Disuruh memandikan? Disuruh memasak?"
"Hal-hal kecil seperti menggantikan popok, membedaki badan, dan menjejalkan nasi ke mulut mereka juga menjadi kewajibanku di rumah. Aku kadang-kadang bingung, yang punya anak sebenarnya ibuku atau aku sih? Kenapa aku merasa akulah ibu mereka?"
Haekyung mendengus geli. "Baguslah. Itu artinya kau sudah punya bekal untuk masa depan, mengurus anak-anak kecil."
Hampir saja Haekyung kelepasan menyebut "anak-anak kita".
"Kalau disuruh memilih, antara mengikuti hukuman atau mendekam di rumah 24 jam mengurus bocah-bocah berisik itu, aku lebih memilih di rumah saja mengurus mereka. Yaaa... baiklah, aku kadang-kadang benci tugas dan tanggung jawabku sebagai kakak sulung yang seakan-akan dunia bakalan runtuh kalau aku malas-malasan. Aku malas mendengar adikku menanyakan semua hal seperti "Kenapa langit berwarna biru?" "Kenapa kucing anaknya banyak?" "Kenapa Diego temannya Dora berpetualang sendirian?" Sumpah! Aku pusing memikirkan jawabannya. Aku juga pusing melihat dia berlarian mengejar si Thomas kereta bodoh, lalu giliran dia jatuh aku yang dimarahi, katanya aku tidak mengawasi adikku dengan baik. Helooo." Taera memutar mata. "Andai saja aku punya remote kontrol ajaib yang bisa menyetop gerakan orang sesuka hati."
Haekyung senyam-senyum. "Adik-adikmu kayaknya lucu-lucu."
Taera menggerung frustasi. "Lucu apaan! Kau belum merasakan tinggal sehari dengan mereka."
"Aku tidak keberatan tinggal sehari dengan mereka," tukas Haekyung di bibir. Lebih tidak keberatan tinggal selama-lamanya dengan kakak mereka, sahutnya menggunakan suara batin.
"Serius nih?" Taera cekikikan, dia lupa diri tiap kali cerita soal adik-adiknya. "Tapi jangan pusing ya dengar mereka ngoceh. Jangan pusing"
Taera terus menyerocos, sementara Haekyung secara sukarela mendengarkan semua ceritanya. "Aku takut berubah seperti orang tuaku. Mereka kaku dan tidak seru."
"Perubahan seperti itu tidak dapat dihindari," ucap Haekyung. "Itu akan terjadi."
"Apa yang akan terjadi?" Taera menoleh.
"Saat kita beranjak dewasa, sebagian hati kita akan mati, hati yang menoleransi kegilaan dan senang-senang semata, mungkin itulah sebabnya orang-orang tua selalu menemukan sisi buruk dari semua hal yang kita anggap menyenangkan."
"Mereka berpikir jauh ke depan." Taera senyum tipis. "Sangat jauh..."
"Mm..." Haekyung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pertanda masih ada ganjalan yang belum tersalurkan. "Taera-ah."
"Ya?"
"Aku..." Haekyung menggaruk-garuk ujung hidungnya. "Masih kepikiran dengan kata-katamu di perpustakaan tadi."
Taera terdiam sesaat.
Haekyung berdehem. "Ini bukan tentang Jiha, ini tentang sudut pandangmu melihat Jiha dan komplotannya. Kalau boleh—"
"Silahkan saja," sambar Taera.
Haekyung bengong selama dua detik. Serius nih dipersilahkan?
"Oke." Haekyung berdehem lagi. "Aku mengatakan ini bukan untuk menghakimi atau bermaksud sok tahu, tapi sebagai murid Seoryeong Academy yang lolos dengan kemampuan dan usahamu sendiri, kau patut berbangga diri. Bukan mengajarimu sombong, tapi kadang-kadang, kita perlu show off sedikit kepada mereka. Maksudku, kau juga pantas berada di sini. Kau pantas menjadi murid Seoryeong Academy. Menurutku, kau adalah cewek paling keren di Seoryeong. Dan aku tidak mengatakan ini semata-mata untuk mencuri hatimu, aku mengatakan ini karena kau memang pantas diperhitungkan. Tidak ada seorang pun yang boleh mengatakan sebaliknya padamu atau menjatuhkan harga dirimu. Mereka tidak berhak melakukan itu, mereka cuma sekumpulan anak manja dan mereka tidak boleh tertawa di atas penderitaanmu lagi." Haekyung berbisik dengan tatapan serius. "Jika berhadapan dengan golongan manusia yang merasa punya lebih banyak uang dibandingkan Tuhan, kau tidak boleh merendah, karena memang itulah kerjaan mereka, mencari makhluk hidup yang tidak sekaya mereka untuk disiksa, dihina, dan dikucilkan."
Dalam suasana remang-remang dan seram, Taera sempat-sempatnya tersenyum tulus semanis madu. "Makasih sudah mengingatkan."
"Sama-sama." Haekyung garuk-garuk leher, grogi.
Yang memimpin di depan adalah Namgil dan Sojin. Mereka berdua gusar. Berbeda dari kawan-kawannya yang mencoba rileks dengan cara mengalihkan pikiran ke topik-topik netral di luar gedung terkutuk ini, mereka justru pusing memikirkan jalan keluar dari sini.
"Aku heran kenapa Dongwon ssaem belum juga kembali," Sojin melangkah cepat-cepat dengan tampang cemas. "Padahal terakhir kami ngobrol dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi terburu-buru. Untuk apa dia meninggalkan kita tanpa pengawasan? Dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab."
Namgil geleng-geleng. "Ada terlalu banyak keganjilan, aku kembali memikirkan kata-kata Haekyung soal hukuman detensi kita yang seakan-akan diatur di hari yang sama dan ya… dia benar, ini terlalu kebetulan. Tapi aku masih bingung motif dibalik ini apa? Siapa sih yang berwenang memutuskan seorang murid pantas dijebloskan ke ruang hukuman detensi?" tanya Namgil.
"Setahuku sih kepala sekolah," jawab Sojin. "Semua harus mendapat persetujuannya dan surat teguran darinya. Lalu karena terus-menerus kepikiran, aku menelusuri situs web resmi sekolah ini, rupanya mereka masih menyimpan foto para musisi jebolan sekolah ini dalam arsip, dari yang terbaru sampai yang zaman dahulu kala. Saat itu aku lagi keasikan melihat-lihat arsip foto tahun 1980-an, ketika menemukan foto wajah anak perempuan yang familier."
"Maksudmu foto Oh Jeongyeon?" tebak Yoohan.
"Memang dia," sahut Sojin. "Ada sekitar empat atau lima foto, dan bukan cuma itu, ada juga foto-foto kepala sekolah kita yang sekarang, Bu Seoyeon, sedang bermain flute bersama Oh Jeongyeon."
Sojin dan otaknya yang kritis mulai menduga bahwa Bu Seoyeon merupakan rantai penghubung kepada Oh Jeongyeon.
"Kalian nggak akan percaya apa yang kutemukan berikutnya di database alumni." Sojin kentara girang bukan main berhasil memecahkan sebagian teka-teki.
Benak Namgil berpacu saat dia mencoba menebak-nebak.
"Beb?" Sojin menggoyangkan telapak tangan bolak-balik di depan matanya. "Kau masih di sana?"
"Masih," sahut Namgil. "Aku sedang mengirim informasi terbaru ke otakku."
"Lalu apa yang kau temukan di database alumni?" desak Yoohan.
"Rupanya nama gadis Lee Seoyeon sebelum menikah adalah Oh Seoyeon, dia kakak Jeongyeon."
"Apa?" Jiha yang diam-diam mencuri dengar berhenti melangkah. Begitu pula yang lain. "Kepala sekolah kita ada hubungan darah dengan Jeongyeon?"
Perjalanan mereka berhenti di tengah-tengah koridor karena satu pengakuan mengejutkan yang diungkap Sojin.
"Oh Seoyeon dulunya seorang virtuoso cello, sedangkan adiknya adalah pemain flute paling berbakat di sekolah. Lalu Jeongyeon sakit meningitis dan nggak ada yang tersisa dari Jeongyeon selain beasiswa atas namanya."
Sojin melewatkan fakta ini: Kematian gadis sebaik Jeongyeon menyisakan luka mendalam bagi orang-orang terdekatnya.
"Mungkin nggak sih, orang tua kita ada hubungannya dengan kematian Oh Jeongyeon?" tanya Yoohan.
"Aku masih sangsi soal itu," ucap Sojin. "Lagipula ada terlalu banyak geng wanita di sekolah. Orang tua kita bukan satu-satunya."
Yoohan mengedikkan bahu. "Kalian ingat reaksi Dongwon ssaem tadi? Sepertinya masih ada yang ingin dia sampaikan tentang mereka, belum sempat dia ungkapkan lebih tepatnya. Tapi terpotong gara-gara telpon masuk."
Namgil dan Sojin terdiam, membenarkan.
"Ibuku jelas-jelas bukan orang yang seperti itu," bantah Taera.
"Ibuku juga," ucap Jiha tidak terima ibunya dituduh sebagai akar segala kekacauan.
"Itu kan menurut kalian. Orang-orang bisa berubah. Meski sampai detik ini ibuku masih sangat tertutup tentang teman-teman sekolahnya," kata Yoohan muram.
Disaat semua orang sibuk memperdebatkan apakah ibu mereka geng pembully Jeongyeon, iseng-iseng Junseok mengintip di pintu ruangan staf kebersihan, dia melihat sosok pria tua kecil dan keriput dengan mata cerah berbinar dan bertubuh bungkuk berdiri di belakang pilar. Junseok tidak yakin orang itu... benar-benar orang atau sesuatu yang lain. Tapi agak aneh sih bapak itu berdiri dibelakang pilar sendirian, seakan-akan sedang bersembunyi, atau menunggu seseorang.
Kakek itu memakai kardigan warna hijau hutan serta celana wol tua yang terawat. Dia tersenyum dan mengangguk kecil, sekonyong-konyong Junseok mencium bau hangat tembakau pipa.
Dia sudah mati, pikiran itu tiba-tiba melintas.
Nah, ini yang gila. Junseok merasa kakek itu beda dari sosok lain. Langsung saja dia merasa nyaman. Mungkin dia harusnya dibawa ke rumah sakit jiwa, tetapi Junseok benar-benar merasa kakek itu orang mati yang paling tidak jahil. Junseok balas tersenyum ramah pada pria tua itu, dan dibalas anggukan kecil oleh si kakek ramah.
"Kau mengangguk pada siapa?" Haekyung rupanya mengawasi,
"Ada kakek-kakek," ucap Junseok.
Haekyung ikut mengintip di pintu.
Tidak ada siapa-siapa.
Haekyung memandang curiga bocah itu. "Kau bisa melihat hal-hal aneh?"
Junseok nyengir. "Kadang-kadang, kalau setannya ingin pamer. Hidungku yang lebih peka."
"Berarti kau sering mencium bau-bau tidak wajar di sekolah ini?"
"Bau-bau tidak wajar sih sering, misalnya bau kentut teman-teman kampretku. Jujur saja, aku mendingan mencium sekelebat aroma tidak enak itu daripada aroma tidak enak makhluk dunia lain yang kepingin eksis. Mereka biasanya suka bikin shock dengan bau anyir darah serta tubuh mayat yang sudah membusuk."
"Bisa nggak sih kalian pindah ke chanel lain?" protes Jiha si telinga peka. "Aku tidak mau mendengar itu disebut-sebut di dekat telingaku. Atau mending kalian jauh-jauh deh."
"Sori, manis." Junseok terkekeh sambil mengedipkan mata. "Mulai detik ini kau harus terbiasa ya kalau mau jadi cewekku."
Cowok ini... sumpah, kok ada orang jujurnya kelewatan macam Junseok?
Jiha dilanda perasaan itu lagi. Perasaan tak terjelaskan yang mungkin dalam bahasa lain ada tiga puluh kata untuk menggambarkannya, namun tidak ada satu pun kata dalam bahasa Korea yang bisa menjelaskan fenomena sekujur tubuhnya yang mulai geli, jantung yang berdebar, serta darah panas yang mengalir deras ke wajahnya. Dan tangan yang di luar kendali ingin sekali mengenggam tangan Junseok yang tergantung bebas di bawah sana.
Diam-diam Jiha melirik tangan besar cowok itu. Ugh! Otak! Masih sempat-sempatnya! Lampu remang-remang mendukung sih.
Jiha berdehem. "Bau itu yang kau cium saat di gudang buku?"
Junseok mengangguk. "Bau itu… bau tidak enak yang sama di setiap ruangan di sekolah ini, di koridor, di toilet, di lantai atas. Mengikutiku kemana-mana. Waktu awal-awal aku tidak tahu bagaimana cara mengenyahkannya, tapi lama-lama, setelah aku tidak menganggapnya sebagai gangguan lagi, bau-bau aneh yang mengikutiku perlahan menghilang sendiri. Hanya kadang-kadang saja kalau emosiku sedang memburuk, ada bau aneh yang lewat."
"Kau bisa berkomunikasi dengan mereka?" Namgil mendekat dengan raut penasaran.
Junseok mencibir. "Boro-boro berkomunikasi, interaksi mereka paling-paling senyum creepy."
"Terus siapa kakek-kakek yang kau lihat tadi?" Yoohan dan jiwa keponya beralih ke Junseok. "Apa dia salah satu korban yang mati saat pembantaian di tahun 1985? Siapa dia?"
"Benar juga, setahuku sih, ketika makhluk-makhluk tak kasat mata menunjukkan eksistensi dirinya, berarti memang ada yang ingin mereka sampaikan," cetus Haekyung.
"Mana kutahu!" jawab Junseok rada nyolot. "Sudah kubilang aku tak bisa berkomunikasi dengan mereka!"
"Kebetulan salah satu dari "mereka" menyapaku di perpus. Kalian mau lihat?" Sojin menatap kawan-kawannya seolah menantang.
Junseok bersedekap. Senyum kelincinya tak kalah menantang. "Show me."
Sudah satu menit yang lalu Jiha melihat wajah mengerikan dalam rekaman itu, tapi sampai sekarang dia belum bisa mengenyahkan suara 'merdu' si hantu pucat sialan. Suaranya seperti tersangkut di telinga Jiha dan terkurung selama-lamanya di dalam telinga. Membuat otaknya gila.
Handycam milik Sojin sudah berpindah tangan sebanyak puluhan kali. Semuanya—mines Jiha—ramai-ramai berebut ingin melihat tampang si hantu pucat. Awalnya Junseok, lalu dioper ke Haekyung, kemudian direbut Yoohan, habis itu disodorkan ke Taera dan Namgil, lalu Haekyung dan Yoohan, berpindah tangan lagi ke Taera dan Namgil, waktu gilirannya Junseok melihat kedua kali, Jiha buru-buru berpaling. Lebih baik dia memandangi bercak-bercak tembok.
"Mereka kembali..."
Junseok memencet tombol replay. Hingga suara mengerikan itu terdengar kembali. Kali ini dalam mode slow motion.
"Me-re-kaa kem-baalii..."
Jiha berdecak emosi. Diulang sekali lagi telinganya bisa berdarah. "Hei, sudah cukup. Daripada makhluk itu, aku lebih sudi kalau suaramu yang diulang sebanyak mungkin."
"Ciee... Jiha. Gombal apa takut?" ledek Sojin.
"Bohong tuh. Dia bilang begitu karena takut, mujinya tidak iklas." Haekyung ikut mengompori.
Dengan patuh Junseok mematikan handycam lalu dia serahkan pada Sojin. Untung Junseok sangat manis pada gadis kesayangannya itu. Dia tahu Jiha agak sensitif soal beginian.
"Apa maksudnya mereka kembali...?" Taera mengernyit. "Siapa yang kembali?"
"Ngomong-ngomong, kok wajah cewek ini agak familier ya? Kayaknya aku pernah melihat dia di suatu tempat," gumam Namgil mengelus dagu. "Hmm... tunggu ya, kupikir-pikir dulu... hmm.. kayaknya... oh, sip! Aku ingat sekarang. Wajah wanita ini pernah kutemukan di arsip foto-foto lama staf pengajar."
"Staf pengajar? Jadi dia guru?" tebak Yoohan yang langsung dibalas anggukan pelan dari Namgil.
Sojin men-zoom out wajah pucat wanita itu yang cuma kelihatan separuh memenuhi layar. "Barangkali salah satu korban. Mungkin bu guru ini mati karena tragedi."
"Tunggu tunggu, apa cuma aku yang gagal paham?" sergah Taera hampir depresi. "Kenapa dia bolak-balik menyebut mereka sudah kembali? Maksudnya siapa?"
Tiba-tiba saja terdengar bunyi berdentam-dentam solsepatu.
Wajah-wajah itu membeku ketakutan. Ada bunyi langkah dari ujung sana.Langkah-langkah itu memantul dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Sepertilangkah orang yang sedang berlari.
"Aaaaaaaaa!" Sojin menjerit.
Tujuh orang itu berlari menyusuri koridor tanpa diberi komando lagi.
Rasanya tangga yang mereka daki tadi tidak sepanjang ini. Sepatu kets milik mereka berdentam-dentam di anak tangga. Tapi suara langkah laki-laki yang mengejar mereka bahkan lebih keras lagi. Rasanya seperti dikejar-kejar oleh seratus orang, bukan cuma satu.
Berusaha menarik napas, dengan jantung berdentam-dentam dan telinga berdengung, para remaja itu buru-buru menapaki tangga. Buru-buru sampai di puncak tangga sambil tersengal-sengal, berjuang agar tidak tersandung.
Derap langkah pria itu memantul tepat di belakang punggung mereka. Suara tawa gilanya bergema di lorong gelap. "Kalian mau kemana? Ayo main petak umpet. Main petak umpeeet~"
Jiha merasa napasnya sudah di ujung tanduk, ujung sepatu Taera tersandung di anak tangga, untung Jiha yang berada di belakang gadis itu sigap menahan punggungnya sebelum tergelincir dari pijakan.
Sebuah pintu besar berwarna kelabu menghadang di depan sana, Namgil dan Yoohan yang berlari paling depan tidak sempat berhenti, mereka sama-sama menabraknya.
Sementara di belakang terdengar suara langkah orang yang mengejar mereka.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Namgil dibantu Yoohan mendorong pintu itu dengan pundak, lalu berusaha mendobraknya dengan sepenuh tenaga. Satu kali, lalu sekali lagi.
Pintu itu tidak bergerak sedikit pun.
Langkah orang tadi semakin dekat!
Mereka terperangkap!
"Coba sekali lagi!" pekik Sojin dengan suara seperti orang tercekik. Dia juga baru tiba, berhenti sejenak untuk menghirup persediaan oksigen.
Fokus perhatian kembali terpusat ke pintu. Tenaga mereka bertambah, dibantu tendangan Junseok, Haekyung, dan Sojin. Berganti-gantian mereka menendangi pintu.
Kali ini berhasil. Pintunya terbuka menimbulkan bunyi gesekan keras di lantai.
Tujuh orang itu tergesa-gesa memasuki pintu. Sambil terengah-engah, Namgil yang masuk paling belakang merapatkan kembali pintu di depannya. Ternyata ada gerendel. Namgil menggunakan gerendel karena kenop pintu rusak setelah mereka dobrak. Begitu logam besi masuk ke lubang gerendel, bunyi dentuman keras menghantam pintu, mereka kompak terperanjat dan melotot.
Orang tadi terkunci di balik pintu ini.
"Kita selamat!" seru Taera, nyaris berpelukan mesra dengan Jiha.
Belum waktunya bergembira.
Pintu di depan mereka digedor-gedor.
"Kalian tidak bisa lolos!" seru laki-laki berjubah tadi dari balik pintu.
Bunyi kepalan tinjunya lebih keras daripada guntur.
Tawa bengisnya menandakan permainan baru saja dimulai.
Junseok langsung meraih tangan bayi Jiha dan menggenggamnya sementara orang itu terus menggedor-gedor pintu.
Namgil meraih Sojin dan menenggelamkan tubuh sang kekasih dalam pelukannya. Tubuh Namgil hangat dan lembut, Sojin mencium sedikit perpaduan keringat dan aroma pewangi kain. Sojin mencoba memeluknya kembali, tetapi tidak bisa. Dia terlalu terpaku dan takut untuk sekedar membalas pelukan.
"Kalian tidak bisa lolos!" Orang itu menggeram sekali lagi. "Kalian takkan bisa keluar dari sini!"
Ancamannya membuat ketujuh remaja dibalik pintu merinding.
"Jangan ganggu kami..." Taera memohon dengan suara yang kecil sekali. "Biarkan kami pulang..."
"Ada apa sebenarnya?" pekik Jiha. "Kenapa kami dikejar-kejar terus?"
Gedoran di pintu berhenti.
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami