GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30. Obat Mujarab yang Menenangkan Jiwa
Tyas menghela napas kas4r, matanya tertuju pada Kaesang yang duduk di seberang meja. Masa lalu Kaesang, dengan semua beban dan cerita beratnya, terbayang jelas di benaknya.
Dia tahu, tak semudah itu seorang anak remaja dapat melewati masa-masa sulit seperti yang dialami Kaesang. Masih duduk di bangku sekolah menengah, Kaesang harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang mengubah dirinya. Bukan karena pembvllyan yang dia alami, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam, yang melibatkan keluarganya.
"Yang, mungkin kalo aku liatnya dari sudut pandang orang lain aku akan ngomong kalo kamu itu lebay. Kamu terlalu baperan sampai nggak bisa menilai sesuatu dengan baik ...
Tapi, Yang mama kamu udah menyesalinya. Dia ada alasannya kan ngelakuin itu? kamu jangan lah marah kayak gini, nggak baik. Dia mama kamu," Tyas berusaha menasehati Kaesang. Ia ingin mengingatkannya bahwa memaafkan adalah jalan terbaik.
Namun, Kaesang, dengan sifatnya yang keras kepala, tak mudah luluh. Luka yang ditimbulkan oleh orang yang dengan sengaja menyakiti perasaannya masih terasa perih. Ia belum siap untuk melupakan rasa sakit itu.
Kaesang yang melihat respon Tyas sama saja dengan orang lain segera saja marah. Tatapannya langsung menusuk tajam ke arah Tyas, seakan ingin membakar habis wanita itu dengan sorot matanya yang penuh api.
"Ternyata kamu sama aja ya, Dear. Nggak ada bedanya dari orang lain!" kata Kaesang. Kemarahan terpancar jelas di wajahnya. Tyas, yang peka terhadap perubahan suasana hati Kaesang, menyadari bahwa responnya tidak disukai bahkan membuat Kaesang marah.
Dengan cepat, Tyas meraih tangan Kaesang, tatapannya sendu dan dalam. Kaesang tidak menepis tangan Tyas yang menggenggam erat tangannya. Namun, matanya tetap tertuju ke depan, seakan enggan untuk menatap Tyas.
"Yang, maafin aku kalo ucapanku tadi salah. Aku nggak bermaksud buat kamu marah. Maafin aku ya, jangan marah lagi." Tyas berusaha membujuk Kaesang dengan kata-kata rayuannya.
Kaesang yang keras kepala dan berhati batu menghela napas panjang, lalu perlahan menoleh ke arah Tyas. Senyum tipis terkembang di bibir Tyas, dan senyum itu terpantul di wajah Kaesang.
Kaesang mengkode Tyas untuk mendekat kearahnya dengan melambaikan tangannya. Tyas bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Kaesang. Saat Tyas berdiri tepat di hadapannya, Kaesang pun berdiri dan memeluknya erat.
Tyas menenggelamkan wajahnya di dada bidang Kaesang. Di sana, di antara debaran jantung Tyas, Kaesang merasakan seperti berada di taman bunga yang indah. Bunga-bunga berwarna-warni bermekaran, menebarkan aroma harum yang menenangkan pikirannya.
Kaesang memeluk Tyas erat, merasakan kedamaian yang tak terlukiskan. Pelukan itu bagaikan obat mujarab yang menenangkan jiwanya. Dia ingin terus memeluk Tyas, merasakan hangatnya tubvh Tyas, dan menikmati ketenangan yang terpancar dari pelukan itu.
"Dear, kalau aku meluk kamu lama, kamu nggak keberatan kan? Rasanya tenang banget saat meluk kamu gini. Semua rasa kesalku, masalah serasa sirna. Kamu bener-bener obat terbaik buatku, Dear. Aku mencintaimu." Tak terhitung lagi berapa kali Kaesang mengungkapkan cintanya kepada Tyas, dan Tyas pun merasakan hal yang sama.
Dia merasa bahagia saat memeluk Kaesang, melihatnya tenang di pelukannya. Menjadi satu dengan Kaesang seperti ini, terasa hangat dan nyaman.
"Peluk aja terus, Yang," bisik Tyas, suaranya lembut. "Aku suka kamu meluk aku gini. Hangat banget, rasanya kayak di rumah. Aku juga pengen meluk kamu terus, ngerasain kehangatan tubvh kamu." Senyum tipis mengembang di bibirnya, dan dia pun semakin mengeratkan pelukannya, melingkarkan tangannya di punggung Kaesang.
Tak lama setelah itu, Kaesang dan Tyas melepaskan pelukan mereka. Kaesang meraih ponselnya dari meja, berniat melihat jam. Tapi begitu layar ponsel menyala, beberapa pesan dari Rudi muncul di notifikasi, bahkan ada panggilan tak terjawab.
Kaesang langsung membuka aplikasi pesan dan mencari nomor Rudi. Sejurus kemudian, ia membaca rentetan pesan yang membuat keningnya berkerut. Tyas, yang melihat Kaesang begitu serius menatap ponselnya, langsung bertanya.
"Kenapa, Yang?" tanya Tyas, matanya melirik ke arah ponsel Kaesang.
Kaesang menoleh kearah Tyas, ekspresi wajahnya tetap sama. Tidak berubah. "Ehm, ini Dear, Rudi, dia ngirimin pesan banyak banget, bahkan juga ada nelpon tadi. Aku bales pesannya dulu ya," ujar Kaesang. Tyas mengangguk pelan.
Tyas kembali mendudukkan bok0ngnya di kursi, tangannya meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Alisnya bertaut, sedikit mengerut, saat membaca pesan yang baru saja masuk. Sementara itu, Kaesang tampak serius membaca pesan dari Rudi, jari-jarinya bergerak cepat menghapus satu persatu pesan yang dikirimkan oleh Rudi.
(Kae)
(P)
(P)
(Woyyy, kuprett)
(Manekin hidup!!!)
(Kae)
(Lo dimana?)
(Bu Tyas ada sama Lo nggak? Orang tuanya nyariin nih, tadi mereka ke rumah nenek gue dan nanya ke gue)
(Mereka marah gitu, Bu Tyas pergi nggak bilang-bilang. Mereka lagi di rumah sekarang. Barusan dari rumah nenek gue lagi)
(Kae, Lo ajak Bu Tyas pulang ya kalo dia ada sama Lo. Kasian, orang tuanya nyariin)
(Yaudah sorry kalo gue ganggu Lo sama Bu Tyas. Gue cuma mau ngomong itu aja)
(Bawa Bu Tyas pulang ya Kae, jangan malah Lo unboxing! Lama-lama medeni juga Lo!)
(Kae, BAWA BU TYAS PULANGGG)
Di pesan terakhir yang Rudi kirimkan, dia ada menuliskan pesannya dengan huruf kapital semua. Setiap huruf dalam pesannya ditulis dengan huruf besar, seolah-olah dia sedang berteriak melalui layar ponsel. Kaesang menggelengkan kepalanya melihat pesan Rudi itu, setelahnya dia menoleh kearah Tyas yang juga sedang fokus dengan ponselnya.
"Dear, tadi Rudi ngirimin pesan. Katanya orang tuamu lagi nyariin kamu. Mereka pergi ke rumah nenek Rudi dan marah-marah gitu." ujar Kaesang, menceritakan isi pesan Rudi yang baru saja diterimanya.
Tyas menoleh kearah Kaesang dan berdiri. Pandangannya terpaku pada Kaesang, dipenuhi rasa cemas yang menggerogoti hatinya.
"Iya, Yang aku tau. Tadi ehm Daniel ngasih tahu aku kalau ayah sama bunda lagi nyariin aku, marah-marah katanya. Kita pulang sekarang ya, Yang, aku khawatir banget. Mereka suka ngambek kalo aku pergi nggak pamit," ujar Tyas, suaranya sedikit gemetar.
Mendengar Tyas menyebut nama Daniel dan Daniel yang memberitahu Tyas soal orang tuanya, wajah Kaesang langsung berubah masam. Dia cemberut, rahangnya mengeras. Marah.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Kaesang mengangguk dan berbalik, melangkah pergi dari restoran. Tyas buru-buru mengikutinya.
Keduanya menaiki mobil Kaesang. Di sepanjang perjalanan, suasana hening menyelimuti mereka. Kaesang melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, mengantarkan Tyas pulang.
Tak lama kemudian, mobil itu berhenti tepat di depan rumah Tyas. Ia segera turun, lalu melambaikan tangan pada Kaesang yang langsung melajukan mobilnya pergi. Tyas berlari kecil menuju pintu rumah yang terbuka lebar.
Ia masuk dan mendapati kedua orang tuanya sudah duduk di ruang tamu, wajah mereka tampak marah. Tyas menghampiri mereka dan men-ci-um tangan kedua orang tuanya.
"Dari mana aja kamu, Yas, kok jam segini baru pulang?!" tanya Bunda Tyas, nada bicaranya dan tatapan matanya dipenuhi rasa curiga. Ayah Tyas pun juga menatap tajam kearah Tyas, meminta penjelasannya.
Bunda Tyas bangkit berdiri dari duduknya setelah tanpa sengaja dia melihat sebuah kalung indah yang tergantung di leher Tyas. Seolah terhipnotis, pandangannya tertuju lurus pada kalung itu.
"Yas, itu kalung dari siapa? kok bagus banget." tanya Bunda Tyas, matanya berbinar-binar.
"Apa jangan-jangan itu dari Daniel ya? kamu nerima cinta Daniel? tadi dia itu datang kesini, ngasih kamu barang-barang mewah. Kalung itu dari dia ya?
Tadi kamu pulang jam berapa, terus sekarang dari mana? apa kamu habis sama Daniel?" Bunda Tyas terlihat sumringah, mengira Tyas sudah menerima cinta Daniel. Matanya terus tertuju pada kalung cantik di leher Tyas.
Tyas menutup kalung itu dengan tangannya, wajahnya berubah muram. Marah dan kecewa terpancar jelas di wajahnya.
Dengan pandangan mata tajam, Tyas mundur satu langkah ke belakang. Napasnya memburu, dada terasa sesak.
"Ternyata kalian nggak berubah ya. Yang ada di pikiran kalian tetap Daniel, Daniel dan Daniel terus!
Kalian nggak pernah mikirin perasaan aku. Udah berapa kali aku bilang sama kalian kalau aku itu nggak suka sama Daniel. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama dia. Kapan sih kalian bisa mengerti?!" Tyas bicara dengan nada tinggi, suaranya bergetar menahan emosi.
"Kalian inget ya, kalung ini, bukan Daniel yang memberikannya. Tapi seseorang yang aku cintai. Dia pacarku sekarang. Mau kalian itu merestui atau tidak aku tetap akan berhubungan sama dia. Aku mau istirahat, Yah, Bun. Aku ke kamar dulu."
Tyas membalikkan badan dan bergegas menuju kamarnya. Kedua orang tuanya tercengang mendengar ucapan Tyas. Mereka terdiam, seolah terpaku di tempat, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamar Tyas.
Sesampainya di depan pintu kamar yang tertutup, Bunda Tyas menggedor-gedor pintu dengan keras, seruannya memanggil nama Tyas terdengar nyaring.
"Yas, Tyas, buka Yas!!" Teriakan dan teriakan terus terlontar dari bibir bunda dan ayah Tyas. Mereka terus menggedor pintu kamar Tyas, tapi tak ada jawaban. Samar-samar dari dalam kamar, kedua orang tua Tyas mendengar ada suara tangisan. Tangisan pelan dari Tyas, tapi masih terdengar jelas di telinga mereka.
"Tyas, buka Yas. Jangan kayak anak-anak gini. Tyas!!" Teriakan mereka menggema di lorong, diiringi ketukan pintu yang semakin keras. Lama-kelamaan, teriakan mereka mereda, kalah oleh kelelahan yang merayap di tubuh mereka.
Dengan langkah gontai, mereka berbalik dan meninggalkan kamar Tyas. Langkah mereka mengarah ke ruang tengah, tak terlalu jauh dari kamar Tyas. Di sana, mereka akan menunggu, berharap Tyas akan segera keluar.
Bersambung ...