Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26.
"Sudahlah, Mas. Berhenti bersandiwara dan lekas ceraikan aku, aku sudah lelah bermain-main dengan orang bod*h seperti mu asal kau tau!" ungkap Sarah pongah.
Dia sengaja berdiri angkuh di hadapan Bima untuk membuatnya sadar dengan siapa saat ini ia tengah berhadapan.
Sarah bukan lagi wanita lemah pemuja cintanya yang akan diam apapun yang hendak di lakukan Bima padanya. Dia kini telah berubah menjadi wanita kuat yang tak segan mendepak orang-orang yang berani bermain-main dengannya. Dan tak terkecuali Bima.
Bima lekas beringsut memeluk kaki Sarah, tak di pedulikannya rasa sakit di dada dan bibirnya yang sobek dan berdarah.
"Sayang, Sayang. Jangan bicara seperti itu, kita saling mencintai kan? iya kan? Kata kamu dulu kamu mau hidup sama aku sampai akhir hayat memisahkan kita bukan? tolong jangan berucap seperti itu, Sayang. Mas mohon maafkan ke khilafan Mas."
Nyonya Ellen menatap Bima dengan muak, namun dia enggan ikut campur akan keputusan yang sedang di pikirkan putrinya untuk bedebah itu.
"Mas, apa kamu sedang bermimpi? atau mengigau?" decih Sarah dingin.
Sarah bahkan sama sekali tidak mempedulikan harga diri Bima yang saat ini tengah terinjak di bawah kakinya.
Bima semakin tergugu di bawah kaki Sarah, rencananya semua berantakan dan dia masih tidak rela harus kembali menjadi orang miskin seperti sebelumnya.
"Tidak, Sarah. Sampai kapan pun Mas nggak akan pernah menceraikan kamu!" kekeh Bima tak goyah.
Baginya kini biarlah sejenak harga dirinya berada di bawah asalkan dia bisa tetep menjadi bagian keluarga Sarah, agar kesempatan mendapat bagian harta mereka kembali terbuka untuknya.
"Dasar laki-laki pengecut!" geram Tuan Bryan hendak meraih lagi Bima dan menghajarnya.
Namun Sarah mengangkat tangannya, meminta sang ayah untuk tenang sejenak.
"Sepertinya kamu perlu di sadarkan, Mas. Otakmu sepertinya sudah bergeser karna terlalu banyak berbohong, ah ... atau mungkin malah karna terlalu banyak perempuan yang sudah kamu bohongi?" sinis Sarah lagi.
Tuan Bryan di tarik mundur oleh Nyonya Ellen dan mereka menggiring Elina ke bawah, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya lebih dahulu. Meninggalkan Sarah dan Bima dengan urusannya.
Melihat kedua mertuanya turun menggunakan lift dengan membawa Elina, Bima melihat kesempatan di depan mata. Lekas dia berdiri dan memegang kedua bahu Sarah.
"Sarah, dengarkan Mas. Mas mencintai kamu dan hanya akan mencintai kamu. Tolong jangan meminta cerai dari Mas, tolong pikirkan lagi, Sayang. Apa semua kenangan kita selama ini tidak cukup membuat kamu bertahan?" cecar Bima mencoba meluluhkan lagi hati Sarah.
Tapi Sarah sudah kebal, apa yang di lakukan Bima ini sudah masuk ke dalam memorinya karena setiap Bima ingin Sarah tetap di sisinya maka dia akan mengeluarkan sejuta jurus kebohongannya agar Sarah luluh dan setelahnya akan kembali mengulang kesalahan yang sama, berulang kali.
"Kenangan yang mana yang kamu maksud, Mas? saat kamu menyuruhku keluar dini hari untuk mencari makanan? atau saat kamu memukuli aku dengan ikat pinggang? ah, atau ... saat kamu tertangkap basah sedang berdua di dalam kamar dengan ... Jeni?" desis Sarah dengan tatapan mata sedingin es di kutub Utara.
Bima termangu, bibirnya membuka dan menutup seperti hendak bicara namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Maaf, Mas. Keputusan ku sudah bulat, talak aku dan kamu bebas menjalani hidupmu seperti yang kamu inginkan." Sarah menepis tangan Bima yang masih bertengger di bahunya.
Sarah mundur selangkah agar sedikit menjauh dari jangkauan tangan Bima, dia sudah sangat jijik hanya dengan mengingat kalau dengan tangan itu pula Bima sudah menjamah wanita lain. Padahal dengannya sendiri masih bisa di hitung jari berapa kali Bima mau menyentuhnya, itu pula sebabnya hingga kini Sarah belum hamil.
"Tapi, Sayang ...." Bima mencoba kembali meraih Sarah, namun dengan sigap Sarah menjauh dengan ekspresi jijik di wajahnya.
Bima menatap sendu tangannya yang mengambang di udara, menyadari ternyata sesakit ini rasanya tak di inginkan.
"Menjauh dari ku, Mas. Aku sudah jijik sama kamu. Aku minta sekali lagi tolong jatuhkan talak tiga padaku!" sergah Sarah keras.
Bima sampai terjingkat di buatnya karna tak biasanya Sarah mengeluarkan nada suara meninggi seperti itu. Kemana Sarah yang lembut dan penuh pengertian dan selalu mengalah untuknya, Bima sama sekali tak menemukan lagi hal itu di diri Sarah yang sekarang ada di hadapannya.
"Jatuhkan talak mu, Mas! Sekarang!" cecar Sarah lagi saat melihat Bima justru diam tak bergeming.
Bima menggeleng cepat sampai air matanya keluar dari netranya, berjatuhan ke lantai mewakili hatinya yang baru tersadar kalau Sarah begitu bertahta di hatinya.
"Tidak! aku tidak bisa! aku mencintai kamu, Sarah!"
"Bohong! berhenti bersandiwara, Mas. Sudah tidak ada orang tua ku di sini, kamu bahkan bebas kalau kembali ingin memukuli aku. Tapi sayangnya, kali ini aku tidak akan diam, aku punya seribu cara untuk bisa melawanmu, Mas!"
"Tapi aku ... aku ... kenapa? kenapa ini? aku ... tidak rela berpisah dari kamu, Sarah." tubuh Bima luruh ke lantai dengan seluruh badannya terasa lemas.
Sarah menatap Bima khawatir namun setelahnya kembali tak peduli karna mengira Bima pasti sedang berakting lagi.
"Sudahlah, Mas. Berhenti memaksaku, aku sudah memutuskan kalau kita tetap akan bercerai walau kamu mau ataupun tidak!"
Bima menatap Sarah nanar, sudah tak ada cinta di mata wanita itu untuknya. Sangat kentara kalau di hati Sarah saat ini hanya ada kebencian yang bertumpuk tumpuk untuknya.
"Jadi bagaimana? apa kamu mau menjatuhkan talak di sini saat ini? atau aku harus menggugatmu di pengadilan?" tanya Sarah kesal.
Bima tak mampu bicara, hanya kepalanya yang terus menggeleng lemah sambil menunduk sedalam dalamnya.
Sarah mendesah berat. "Baiklah, sepertinya kamu lebih suka cara sulit daripada cara mudah, setelah ini pulanglah ... ambil semua barang barangmu dari rumah ku dan sampai jumpa di pengadilan."
Binar mata yang semula terbit saat mendengar Sarah memintanya pulang kembali meredup demi mendengar kalimat terakhir Sarah yang bermakna kalau dia sudah benar-benar tak ingin kembali pada Bima.
Sarah melenggang pergi meninggalkan Bima yang masih terpekur di tempatnya, menatap kepergian Sarah dengan nelangsa seakan separuh nafasnya turut pergi bersama menghilangnya Sarah di balik lift yang membawanya turun ke lantai dasar.
Bima tergugu di tempatnya, tangannya mengepal meninju lantai marmer sampai tangannya berdarah darah. Tapi sakitnya bahkan tak terasa karna Bima lebih merasakan sakit hatinya yang baru menyadari betapa dia membutuhkan Sarah.
"Kenapaaaa? kenapa kamu harus pergi, Sarah? kenapa rasa ini harus terlambat? aku yang bodoh! aku yang terlalu bodoh sampai baru menyadari kalau ternyata aku cinta sama kamu, Sarah! aku cintaaaaa!" jerit Bima frustasi.
Namun semua sudah terjadi, tak akan ada bubur yang bisa kembali menjadi nasi apalagi menjadi beras.