Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarang Harpy
{{Jangan lupa Like dan Komen setelah membaca}}
_____________________________________________
Setelah pertempuran berakhir, Wira berdiri di atas mayat monster dengan tangan terlipat di dada. Ia memandang ke arah sekelompok Kobold yang kembali dengan langkah ragu-ragu, termasuk pemimpinnya, Konjing. Mereka adalah para pengecut yang sebelumnya memilih melarikan diri saat pertarungan berkecamuk.
"Karena kalian memilih untuk tidak bertarung," kata Wira dengan nada dingin, "kenapa kalian tidak mencoba membuat diri kalian berguna dengan memanen inti kristal dari mayat monster?"
Konjing dan kelompoknya saling pandang. Mereka tidak punya pilihan lain. Di sekitar mereka, para penambang bersenjata tengah beristirahat sambil memandang sinis. Dengan enggan, para Kobold itu mengangguk dan mulai mengeluarkan senjata seadanya, seperti pisau tumpul, tombak kecil dari tulang, dan senjata rakitan lain yang tampak tidak lebih baik dari ranting kayu.
Hingga masalah yang sudah dapat diprediksi pun terjadi. Ketika mereka mencoba memotong kulit tebal monster untuk mengambil inti kristal, senjata mereka bahkan tak mampu membuat sayatan kecil.
"Kenapa ini begitu sulit?" keluh salah satu Kobold sambil berusaha keras menekan pisaunya. "Padahal senjata tulang yang dipakai para penambang itu bisa memotong kulit monster seperti tahu." Beberapa Kobold lainnya mengangguk setuju. Bahkan ada yang sampai mematahkan senjata mereka dalam usaha sia-sia itu.
Melihat pemandangan itu, Wira menyeringai sinis. Ia mengeluarkan pisau tulang buatannya. Pisau itu berkilat tajam, memancarkan aura dingin yang mencerminkan kekuatannya.
Dengan gerakan lambat, Wira menyayat kulit tebal monster seolah itu hanya lapisan tipis daun pisang. Daging terbuka dengan mudah, memperlihatkan jantung berisi kristal metalik berkilauan yang segera ia ambil.
Kelompok Konjing ternganga melihat ketajaman pisau Wira. Rasa sesal membanjiri hati mereka. Mereka ingat betul bagaimana mereka pernah menolak membeli senjata buatan Wira, karena merasa itu hanya tipu daya seorang penjual licik yang memanfaatkan keadaan.
Melihat wajah-wajah putus asa itu, Wira tahu ini adalah peluang emas. Ia memasukkan pisau tulangnya kembali ke sarung dan berkata dengan nada seorang pebisnis, "Aku bisa meminjamkan pisau buatanku. Dengan itu, kalian bisa melakukan pekerjaan ini dengan efektif."
Mata para Kobold langsung berbinar penuh harapan. Namun, senyum Wira yang muncul berikutnya membuat mereka kembali waspada. "Tentu saja, ada biaya sewa untuk setiap jam peminjaman pisau ini," lanjutnya dengan nada ringan.
Harapan di wajah para Kobold berubah menjadi keterkejutan. Konjing melangkah maju, wajahnya merah padam. "Apa?! Bagaimana biayanya bahkan menjadi dua kali lipat dari harga senjata yang kau tawarkan sebelumnya!" Sorakan amarah Kobold terdengar di belakang Konjing.
Wira mengangkat bahu acuh tak acuh, tidak peduli dengan protes itu. "Senjata sebelumnya masih dalam tahap uji coba. Sekarang, setelah terbukti efektif melawan monster, sudah sewajarnya aku menaikkan harga. Bahkan, aku berencana menaikkan harga jualnya tiga kali lipat."
Mata para Kobold membelalak, rahang mereka hampir terjatuh ke tanah, saat mendengar harga yang melambung tinggi bagai balon helium. Sementara itu, para penambang yang sudah memiliki senjata buatan Wira bersyukur dalam hati. Mereka senang membeli senjata berkualitas di harga awal.
Konjing mengepalkan tangan, marah oleh keserakahan manusia di depannya. Tapi ia tahu tak ada pilihan lain. Mereka butuh pisau itu untuk membuktikan diri dan tidak lagi dipandang rendah.
"Dengan berat hati, kami menerima tawaranmu," gumam Konjing.
Senyum puas menghiasi wajah Wira. Kini, para Kobold dari kelompok Konjing sibuk memanen kristal dengan pisau tulang pinjaman. Mereka akhirnya bisa berkontribusi, meski harus membayar harga mahal untuk sebuah pelajaran.
Jangan sekalipun meremehkan buah karya dari tangan seorang Jo Wira.
***
Tugas para pengumpul tidak hanya mengambil kristal dari monster yang dikalahkan, tetapi juga mengumpulkan buah dan herbal dari hutan yang mereka lewati. Konjing dan kelompoknya mengikuti instruksi Wira dengan patuh, terikat oleh perjanjian yang telah mereka sepakati.
Saat menjelajah, Wira menemukan buah aneh yang menarik perhatiannya. Bentuknya menyerupai peach, tetapi berwarna ungu dan aromanya lebih harum. Dengan penasaran, ia menggigit buah tersebut.
"Oh, baunya sangat harum... dan rasanya manis sekali," ujar Wira sambil menikmati setiap gigitannya.
Rasanya seperti perpaduan antara mangga dan manggis. Jelas ini adalah buah dari tanaman yang telah bermutasi.
"Sangat menyegarkan," gumamnya puas.
Buah itu tumbuh liar dalam jumlah banyak, sehingga semua orang bisa ikut menikmatinya. Untuk sesaat, mereka melupakan menyelamatkan Konlot.
Namun, momen tenang itu tak berlangsung lama. Setelah puas menikmati buah, Wira dan yang lainnya kembali melanjutkan perjalanan. Pertempuran tak terelakkan ketika monster terus bermunculan. Beruntung, para penambang bersenjata semakin mahir bertarung.
Wira tidak lagi khawatir dengan garis depan dan bisa fokus mengembangkan kreativitasnya, dan kali ini dia sedang fokus meramu herbal.
Waktu berlalu, tiga jam sejak mereka meninggalkan gua tambang. Tiba-tiba, Kinta menyalak tajam, matanya mengarah ke langit. Semua mata mengikuti arah pandangnya dan melihat sekawanan burung besar beterbangan di sekitar gua di tebing curam.
"Harpy..." Wira menyipitkan mata, memastikan penglihatannya. "Itu pasti sarang Harpy."
Konjing tampak bersemangat. "Akhirnya, kita hampir sampai! Putraku pasti di sana!"
Namun, tebing yang menjulang tinggi menjadi tantangan besar.
"Bagaimana kita bisa naik ke sana?" tanya salah satu Kobold dengan nada cemas.
Wira berpikir keras. Setelah beberapa saat, matanya membelalak seperti menemukan solusi cerdas. "Aku tahu! Kita bisa meminta Malika untuk melempar kita ke atas."
Semua orang terdiam. Mereka teringat bagaimana monster yang dilempar Malika dengan telekinesis berakhir hancur menjadi jus daging akibat tekanan yang ekstrem.
"Ehm, mungkin bukan ide terbaik..." gumam seorang Kobold, wajahnya pucat.
"Kalau begitu, kita memanjat saja?" saran yang lain.
"Ide buruk!" protes seorang penambang. "Saat memanjat, kita akan jadi sasaran empuk serangan Harpy."
Beberapa ide lain muncul. Ada yang mengusulkan untuk naik di punggung Kinta atau Malika sambil memanjat. Namun, tubuh Kinta yang besar dan berat membuat hal itu tidak mungkin dilakukan.
Wira menghela napas panjang. Kepalanya bekerja mencari solusi. Tiba-tiba, matanya kembali berbinar, seakan menemukan ide baru. Namun semua orang justru skeptis, meresa Wira kembali mendapatkan ide konyol lainnya.
***
Wira meminta semua orang untuk menebang pohon dan mulai merakit sebuah perahu besar yang cukup untuk menampung mereka semua. Kebingungan meliputi wajah para penambang dan kelompok Kobold, termasuk Konjing. Mereka tidak bisa memahami kenapa di tengah hutan ini, Wira justru ingin membangun perahu.
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Wira berbalik dan berlari cepat ke arah tebing. Dengan teknik Samber Gledek, tubuhnya melesat seperti kilat. Ia bergerak dengan lincah, kakinya menapaki permukaan vertikal tebing seolah berjalan di tanah datar. Gerakannya begitu cepat dan efisien, seperti seorang ninja yang sedang kesetanan.
Semua orang hanya bisa ternganga melihat Wira mulai berjalan di tebing. Tatapan mereka penuh rasa takjub sekaligus kebingungan yang menghiasi wajah mereka.
“Kalau dia bisa naik seperti itu, kenapa harus repot-repot membuat perahu?” gumam salah seorang penambang.
“Manusia ini benar-benar aneh...” bisik salah satu Kobold sambil menggaruk kepala.
Sementara di bawah mereka masih bertanya-tanya, Wira sudah mencapai puncak tebing. Di sana, ia menemukan apa yang dicarinya. Hamparan kristal angin berkilauan, tertanam di sela-sela batu karang.
“Sempurna. Ini adalah ladang kristal angin,” ujarnya pelan, senyum puas terukir di wajahnya. Dengan cekatan, ia memanen kristal-kristal tersebut, tangannya bergerak cepat agar tidak menarik perhatian para Harpy yang sedang menjaga sarang.
Setelah mengumpulkan cukup banyak kristal, Wira menatap ke bawah tebing. Ia menarik napas dalam, lalu melompat dari ketinggian seratus meter. Tubuhnya melesat turun seperti anak panah.
Beberapa detik sebelum menyentuh tanah, ia mengaktifkan kristal angin di tangannya. Sebuah gelombang udara meledak lembut di bawah kakinya, membuat tubuh Wira melayang di udara sebelum akhirnya mendarat dengan anggun.
Semua orang yang menyaksikan pendaratan itu terperangah. Mata mereka membelalak kagum, seakan baru saja melihat keajaiban.
“Bagaimana... bagaimana dia bisa melakukan itu?” gumam Konjing, rahangnya hampir jatuh.
Wira berdiri tegak dan tersenyum tipis. “Oke, semuanya, Kita akan membuat kapal terbang.” ucap Wira dengan semangat, namun tidak ada respon, mereka tidak mengerti apa yang Wira pikirkan.
mohon berikan dukungannya