Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 35 orang lama.
Pelajaran kembali berlangsung, namun suasana yang hangat tadi seakan mulai berubah. Aletha merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Angkasa. Ia menjadi lebih pendiam, tidak lagi sesering itu melemparkan senyuman atau mengirim pesan singkat seperti biasanya. Aletha mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi sulit untuk mengabaikan perubahan kecil itu.
Ketika bel tanda pulang berbunyi, Aletha membereskan buku-bukunya sambil melirik ke arah Angkasa, yang tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Biasanya, Angkasa akan menunggu di pintu kelas untuk memastikan mereka pulang bersama. Namun kali ini, dia keluar lebih dulu tanpa berkata apa-apa.
Aletha menatap punggung Angkasa yang menjauh. Ia merasa bingung sekaligus khawatir. Ada apa? Apa dia melakukan sesuatu yang salah? Pikiran-pikiran itu terus mengganggu sepanjang perjalanan pulang.
Saat tiba di rumah, Aletha mencoba menghubungi Angkasa melalui pesan singkat.
Aletha:
[Angkasa, kamu kenapa tadi? Kok nggak tunggu aku?]
Namun, pesan itu hanya berstatus terkirim tanpa tanda dibaca. Hal ini semakin membuat Aletha resah. Biasanya, Angkasa selalu merespons dengan cepat.
Malam itu, Aletha tak bisa menahan diri. Ia menghubungi Angkasa melalui telepon. Beberapa nada dering berlalu sebelum akhirnya telepon diangkat.
“Halo,” suara Angkasa terdengar datar di seberang.
“Ka, kamu kenapa?” tanya Aletha dengan hati-hati. “Tadi di sekolah kamu kelihatan beda, terus pulang duluan tanpa bilang apa-apa.”
Ada jeda sejenak sebelum Angkasa menjawab, “Aku nggak apa-apa, Tha. Cuma lagi banyak pikiran.”
“Tapi kamu bisa cerita ke aku, kan? Bukannya selama ini kita selalu saling terbuka?” Aletha mencoba menekan kekhawatirannya.
“Aku nggak mau kamu terbebani, Aletha. Ini masalahku, bukan sesuatu yang harus kamu khawatirin,” jawab Angkasa.
Mendengar itu, hati Aletha terasa berat. Ia tahu Angkasa sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga tak ingin memaksa jika Angkasa belum siap untuk bercerita.
“Baiklah,” kata Aletha akhirnya, suaranya pelan. “Tapi kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar, aku selalu ada, ya.”
“Terima kasih, Tha. Kamu baik banget,” kata Angkasa sebelum menutup telepon.
Meski kata-kata Angkasa terdengar tulus, Aletha merasa ada jarak yang mulai tumbuh di antara mereka. Ia mencoba mengusir pikiran negatif dan meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, malam itu, ia sulit untuk tidur.
---
Keesokan harinya, di sekolah, Angkasa tetap bersikap seperti biasa, tapi Aletha bisa merasakan ada ketegangan di balik senyumnya. Saat mereka sedang duduk bersama di bangku kelas, Angkasa tiba-tiba berkata, “Tha, nanti setelah pulang sekolah, aku nggak bisa antar kamu. Ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan.”
“Oh, nggak apa-apa, Ka. Semoga urusannya lancar, ya,” jawab Aletha, meski dalam hati ia merasa aneh. Angkasa jarang sekali membicarakan keluarganya, dan ini pertama kalinya ia menggunakan alasan itu.
Hari itu berlalu dengan lebih banyak pertanyaan di kepala Aletha. Ia mencoba mencari tahu melalui teman-teman Angkasa, tapi mereka juga tidak tahu apa-apa.
Hingga akhirnya, saat pulang sekolah, Aletha melihat Angkasa berbicara dengan seorang gadis di depan gerbang. Gadis itu tampak serius, dan Angkasa terlihat canggung. Aletha berhenti di tempat, mencoba untuk tidak berpikiran buruk. Tapi ketika gadis itu memegang tangan Angkasa dengan lembut, hatinya seperti diremas.
Tanpa sadar, Aletha mundur perlahan, memilih untuk tidak mengganggu momen itu. Namun, bayangan mereka berdua terus terngiang di kepalanya sepanjang perjalanan pulang.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa gadis itu? Dan mengapa Angkasa tidak mengatakan apapun padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Aletha merasa terjebak dalam kekacauan yang ia sendiri tak tahu bagaimana menghadapinya.
****
Malam ini, Aletha duduk di kamar, menatap buku pelajarannya tanpa sungguh-sungguh membaca. Pikirannya masih tertuju pada kejadian tadi siang di depan gerbang sekolah. Matanya memanas saat mengingat senyum ramah Angkasa kepada gadis bernama Keysa itu. Ada rasa aneh yang menyusup di hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—rasa tidak nyaman yang mendalam.
Ia mencoba mengenyahkan pikirannya dengan membaca ulang materi pelajaran, tetapi itu tidak membantu. Aletha akhirnya meraih ponselnya dan mulai mengetik pesan, meski ragu-ragu. Ia ingin menanyakan langsung pada Angkasa, tetapi takut dianggap terlalu cemburu. Setelah beberapa detik kebimbangan, ia mengetik dan mengirim pesan:
Aletha:
[Ka, aku tadi lihat kamu sama cewek di depan gerbang. Siapa dia?]
Pesan itu terkirim, dan Aletha menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit berlalu tanpa ada balasan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasa resah semakin besar.
---
disi lain angkasa duduk di sofa, tatapannya kosong. Di sebelahnya, Keysa, gadis yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun, tengah bercerita dengan suara lirih. Mata Keysa sembab, tangannya gemetar saat memegang cangkir teh yang diberikan Angkasa.
“Aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi, Ka,” kata Keysa dengan suara pelan.
Angkasa mengusap wajahnya, merasa berat. “Kamu yakin nggak bisa cerita ke keluargamu? Masalah ini serius, Keysa. Aku takut kamu nggak bisa handle sendiri.”
Keysa menggeleng pelan, air matanya mulai jatuh lagi. “Aku nggak mau mereka tahu. Aku cuma butuh kamu sekarang, Ka. Tolong…”
Angkasa merasa terjebak. Ia ingin membantu Keysa, tetapi ia juga tahu situasi ini bisa memicu kesalahpahaman dengan Aletha. Ia merogoh saku celananya dan melihat ponsel yang berkedip dengan notifikasi pesan dari Aletha. Ia menatapnya sejenak, lalu memutuskan untuk tidak langsung membalas. “Nanti aku jelasin ke Aletha,” gumamnya pelan.
---
pukul sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Angkasa belum juga membalas pesannya. Aletha mencoba menahan diri untuk tidak mengirim pesan lagi, tetapi rasa cemasnya semakin menjadi. Ia akhirnya memutuskan untuk menelepon.
Setelah beberapa kali nada sambung, suara Angkasa terdengar. “Halo, Tha,” katanya dengan nada lelah.
“Ka, kamu sibuk?” tanya Aletha, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya gelisah.
“Iya, ada urusan sedikit. Maaf ya, aku belum sempat balas pesan kamu,” jawab Angkasa singkat.
Aletha menggigit bibir, berusaha menahan rasa kecewanya. “Aku cuma mau nanya… Tadi siang, cewek yang bareng kamu di gerbang itu siapa?”
Angkasa terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Namanya Keysa. Dia teman lama aku.”
“Teman lama?” ulang Aletha dengan nada tidak percaya. “Kenapa aku nggak pernah dengar tentang dia sebelumnya?”
“Karena aku nggak pernah nyangka bakal ketemu dia lagi. Aku juga baru tahu dia punya masalah sebesar ini,” jawab Angkasa, nadanya terdengar serius.
Aletha mengernyit. “Masalah? Masalah apa, Ka?”
“Tha, aku nggak bisa cerita detail sekarang. Dia cuma butuh tempat buat curhat. Aku janji nggak ada apa-apa di antara kami,” kata Angkasa, suaranya mulai terdengar tegas.
“Tapi kamu kelihatan peduli banget sama dia,” Aletha tak bisa menyembunyikan nada cemburunya.
“Tha, aku cuma bantu dia. Tolong percaya sama aku,” ujar Angkasa dengan nada sedikit frustrasi.
Aletha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku percaya, Ka. Tapi aku nggak suka kalau kamu nggak cerita semuanya ke aku.”
“Aku ngerti,” jawab Angkasa pelan. “Aku bakal jelasin semuanya nanti. Sekarang, aku cuma minta kamu sabar.”
Percakapan itu berakhir dengan perasaan tidak nyaman di kedua belah pihak.
---
Hari ini Aletha berusaha bersikap biasa di depan Angkasa, tetapi rasa curiga terus menghantuinya. Ia mencoba bertanya kepada teman-teman Angkasa tentang Keysa, tetapi tidak banyak yang tahu tentang gadis itu. Sementara itu, Angkasa sibuk membantu Keysa menyelesaikan masalahnya.
Di sekolah, hubungan mereka mulai terasa renggang. Saat jam istirahat, Angkasa sering terlihat sibuk dengan ponselnya, dan Aletha merasa semakin jauh darinya.
“Tha, kamu kenapa belakangan ini?” tanya lala, sahabat Aletha, saat mereka duduk di kantin.
“Enggak apa-apa,” jawab Aletha singkat.
“Jangan bohong. Aku lihat kamu sama Angkasa nggak seperti biasanya,” ujar rere menatapnya dengan penuh perhatian.
Aletha akhirnya menceritakan semuanya. “Aku nggak tahu, Re. Aku percaya sama dia, tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku nggak suka dia deket-deket sama cewek lain.”
“Kamu udah coba ngomong lagi sama dia?” tanya Mora.
Aletha mengangguk. “Udah, tapi dia selalu bilang aku harus sabar.”
“Kalau kamu nggak nyaman, kamu harus jujur sama dia, Tha. Jangan biarin perasaanmu mengendap,” saran Mora.
---
setelah jam pelajaran terakhir, Aletha memutuskan untuk menemui Angkasa. Ia menunggu di depan kelas Angkasa hingga akhirnya ia muncul bersama Keysa. Aletha langsung berdiri dan menatap Angkasa dengan tatapan tajam.
“Angkasa, aku mau ngomong,” katanya dengan nada dingin.
Angkasa menatap Keysa sejenak sebelum berkata, “Keysa, tunggu di sini sebentar.”
Keysa mengangguk dan melangkah menjauh, memberi mereka ruang.
“Ada apa, Tha?” tanya Angkasa.
“Kamu serius nggak mau cerita tentang Keysa? Aku capek nunggu penjelasan dari kamu,” ujar Aletha, suaranya bergetar.
“Tha, aku udah bilang, dia cuma teman lama yang butuh bantuan,” jawab Angkasa.
“Tapi kamu selalu sibuk sama dia! Aku di mana, Ka? Kamu nggak pernah kasih aku waktu buat ngerti apa yang sebenarnya terjadi,” balas Aletha, air matanya mulai mengalir.
Angkasa terdiam, merasa bersalah tetapi juga bingung harus menjelaskan bagaimana.
“Aku sayang sama kamu, Ka,” lanjut Aletha, suaranya bergetar. “Tapi aku nggak tahu berapa lama aku bisa tahan kalau kamu terus begini.”
“Tha, aku juga sayang sama kamu,” kata Angkasa pelan. “Tolong kasih aku waktu. Aku nggak mau kamu salah paham, tapi aku juga nggak bisa ninggalin Keysa sekarang.”
Aletha menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku cuma minta satu hal, Ka. Jangan pernah biarkan aku merasa seperti aku nggak penting buat kamu.”
Angkasa mengangguk pelan. “Aku janji, Tha.”
Namun, janji itu terasa rapuh di tengah perasaan yang semakin rumit di antara mereka.