"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Kemarahan kakak Tertua
Langit yang tadinya cerah mulai berubah warna menjadi gelap, menandakan malam telah tiba. Semua anggota keluarga kini sudah berkumpul di meja makan. Wajah mereka terlihat lelah, sebagian besar menunduk, hanya menunggu kakak tertua mereka yang belum juga keluar dari kamarnya sejak pagi tadi. Kecanggungan terasa jelas di antara mereka.
“Hyung, apa sebaiknya kita panggil Seon Hyung saja?” tanya Jungsoo dengan nada ragu, memecah keheningan.
“Benar, Hyung. Ada baiknya Hyung panggil Seon Hyung untuk makan bersama. Saat makan siang tadi, dia juga tidak turun,” tambah Jihwan, ikut menyoroti absennya kakak tertua mereka yang membuat situasi semakin tegang. Haesung hanya mengangguk setuju.
Yongki menatap mereka dengan ekspresi datar, tak menyangka sudah selama itu Seonho mengurung diri di kamar.
“Benarkah?” tanyanya, baru menyadari situasi setelah dirinya sendiri tak turun sejak tadi siang.
“Hmm…” Jihwan mengangguk lagi, kali ini lebih serius.
“Jadi, Seon Hyung juga tidak pergi ke kantor?” lanjut Yongki, sedikit heran karena Seonho biasanya jarang sekali absen bekerja, apalagi tanpa pemberitahuan seperti ini.
“Sepertinya begitu,” jawab Jihwan, mencoba menebak dari keadaan.
“Biar aku saja yang panggil,” ujar Jungsoo, mengajukan diri dengan sedikit ragu, namun mendapat anggukan dari kakak-kakaknya. Meskipun Jungsoo dikenal sebagai adik kesayangan Seonho, dia tetap merasa berat melangkah setiap kali kakaknya itu sedang marah.
Dengan langkah hati-hati, Jungsoo menaiki tangga menuju lantai dua, di mana kamar Seonho berada. Sesampainya di depan pintu, ia menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum mengetuk pintu beberapa kali.
“Hyung… ini aku, boleh buka pintunya,” panggil Jungsoo dengan suara pelan, mengetuk pintu sekali lagi. Tak ada jawaban.
“Hyung… buka sebentar” ia memanggil lagi, namun suara langkah kaki terdengar dari dalam kamar. Jungsoo berhenti sejenak, menunggu hingga pintu terbuka. Di hadapannya kini berdiri Seonho dengan wajah lesu, matanya sedikit bengkak seperti habis bangun tidur.
" UMM.. " Gumam nya , menjawab ucapan Jungsoo yang sedari tadi tadi memanggil nya .
“Hyung, gwenchana?” tanya Jungsoo, suaranya terdengar khawatir.
(Catatan: gwenchana dalam bahasa Korea berarti “kamu baik-baik saja?” atau “tidak apa-apa?” tolong koreksi kesalahan author )
Seonho tidak langsung menjawab. Alih-alih, ia menghela napas panjang dan memilih mengalihkan perhatian.
“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, seolah mencoba menutupi perasaannya.
“Hyungdeul yang lain sedang menunggu Hyung. Ayo kita makan malam,” jawab Jungsoo, sedikit lega karena akhirnya bisa mengajaknya untuk bergabung bersama di meja makan.
“Baiklah. Kau turun duluan, Hyung akan mencuci muka dulu,” jawab Seonho, suara dan ekspresinya tetap datar. Setelah itu, dia segera menutup pintu kamarnya lagi tanpa banyak kata.
Jungsoo berdiri di depan pintu selama beberapa detik, merasa ada yang aneh dengan tingkah laku kakaknya. Namun, dia memutuskan untuk turun kembali dan menceritakan rasa penasarannya kepada kakak-kakaknya yang lain.
“Di mana Seon Hyung?” tanya Haesung yang melihat adiknya itu datang seorang diri.
“Seon Hyung sedang mencuci wajahnya terlebih dahulu, tapi Hyung, aku melihat ada yang aneh dengan Seon Hyung,” ujar Jungsoo, suara dan ekspresinya menunjukkan keraguan, seperti seseorang yang ingin mengungkapkan rahasia.
“Aneh apa?” tanya Yongki, Haesung, dan Jihwan secara bersamaan, wajah mereka tampak seperti ibu-ibu komplek yang haus akan bahan ghibah, menunggu informasi lebih lanjut dengan antusiasme yang tidak biasa.
“Hyung ingat kan tadi pagi Seon Hyung masuk ke kamarnya bersama Yoora? Dan aku belum melihat dia keluar dari kamar Seon Hyung. Apa lagi saat aku memanggil Seon Hyung, dia sama sekali tidak mau membukakan pintunya dengan lebar. Maksudku, dia hanya melongokkan kepalanya saja,” jelas Jungsoo panjang lebar, menambahkan setiap detail yang ia ingat dengan seksama.
“Kau kan pergi ke kampus, soo-ah. Mungkin saja dia sudah keluar dari kamar Seon Hyung saat kita tidak tahu. Dan untuk pintu itu, mungkin Seon Hyung sedang lelah dan tak mau diganggu terlalu lama,” ujar Yongki dengan nada yang terdengar begitu logis, berusaha menenangkan adiknya.
“Yongki Hyung benar. Lagipula, Seon Hyung tidak suka jika orang lain mengganggu privasinya, apalagi itu kamar pribadinya,” tambah Jihwan, mencoba untuk membenarkan pendapat Yongki.
“Tapi yang Jungsoo katakan ada benarnya juga,” tutur Haesung, yang setuju dengan ucapan Jungsoo.
“Haishhh… Jangan mulai, Hae-ah,” tegur Yongki yang sudah tahu kebiasaan adiknya itu suka mengibah, namun tetap menatap Haesung dengan sedikit geli.
“Tapi Hyung… Seon Hyung tidak biasanya bersikap seperti itu padaku,” ujar Jungsoo, nada suaranya menunjukkan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam.
“Bersikap seperti apa?” tanya Seonho, yang tiba-tiba turun dari tangga, langsung duduk di kursi tempatnya. Wajahnya terlihat lelah dan tidak bersemangat, namun matanya mengamati adik-adiknya dengan tajam.
Jungsoo yang merasa terkejut dengan kehadiran kakaknya hanya bisa terdiam sejenak. Suasana di ruangan itu seakan membeku, semua orang menahan napas sejenak. Jihwan, Yongki, dan Haesung saling bertukar pandang, tidak berani berbicara lebih jauh.
“Hyung, tidak ada yang… hanya… kami hanya khawatir,” ungkap Jihwan, mencoba menyembunyikan apa yang sedang mereka bicarakan.
Seonho hanya mengangguk perlahan, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dia merasa janggal dengan perhatian berlebih yang diberikan adiknya, tetapi ia juga merasakan gelombang ketidaknyamanan yang menghinggapi ruangan itu. Tapi pada akhirnya dia memilih dia dan melanjutkan ucapan nya lagi.
“Kenapa kalian tidak mulai makan saja? Makanan akan dingin, jika menunggu ku ” tambah Seonho, berusaha mengalihkan perhatian dengan kalimat datar, tetapi ada nada dingin di dalamnya.
" Hyung... " Ujar Jihwan.
" Iya ? .. ayo makan " ujar seonho.
" Hyung apa aku boleh bertanya sebelum nya? " Tanya haesung dengan hati - hati .
" Ada apa ? " Tanya seonho sembari menatap lekat sang adik
" Ada apa sebenarnya? Apa yang anak itu lakukan dan di mana dia sekarang " tanya haesung lagi .
" Dia mencuri dan membully teman - teman nya " ujar seonho yang membuat semua orang yang ada di sana terbelalak kaget.
" Serius .. " tanya Jungsoo yang tidak percaya.
Seonho hanya mengangguk mengiyakan semua kebingungan dari keempat adiknya tersebut, dia kembali berucap setelah hening beberapa saat .
" Lalu bagaimana sekarang? " Tanya yongki.
" Tentu saja aku yang menyelesaikan semuanya " ujar seonho dengan nada santai nya .
" Tidak maksud ku , di bagaimana dia sekarang? " Tanya yongki lagi .
" Kenapa ? Kau perduli padanya ? " Tanya seoho yang tentunya langsung di jawab gelengan kepala oleh yongki.
" Ayo makan tidak perlu memikirkan tentang anak itu " ujar seonho.
Ada rasa tidak percaya di hati mereka masing-masing, namun hal itu tidak membuat rasa bencinya pada Yoora berkurang sedikit pun. Semua orang kembali melanjutkan acara makan mereka, terjebak dalam keheningan yang berat, semua makan dengan tenang tanpa ada sepatah katapun.
“Di mana Taehwan dan Namjin?” tanya Seonho akhirnya, suaranya memecah keheningan yang tegang di meja makan.
“Namjin Hyung sedang menghadiri acara seni, dan Taehwan sepertinya sedang ada pekerjaan di luar kota,” jawab Jihwan.
“Hemm... Begitu,” angguk Seonho, ekspresi wajahnya sulit dibaca.
“Hyung, selama beberapa hari lalu, Hyung kemana? Tinggal di apartemen?” tanya Jungsoo, suara penuh rasa ingin tahu yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Iya...” jawab Seonho, nada suaranya datar, seolah-olah tidak ingin membahas hal itu lebih jauh.
“Hyung bahkan meninggalkan ku di sini,” ujar Jungsoo lagi, kalimatnya mengandung kesedihan.
“Jika Hyung tetap di sini, keinginanmu untuk mendapatkan hati Namjin seutuhnya tidak akan berjalan mulus, bukan?” ujar Seonho, suaranya tenang tetapi tajam, membuat Jungsoo terdiam, tidak bisa membantah.
“Hyung tahu dari mana jika Namjin Hyung memenuhi permintaan Jungsoo?” tanya Jihwan, nada skeptis terdengar dalam suaranya, berusaha mencari jawaban di balik semua ini.
“Yang penting Namjin sudah berjanji akan menjaga jarak dari anak itu kan? Itu sudah cukup. Entahlah, apa yang Namjin pikirkan hingga melakukan berbagai hal untuk melindungi anak itu. Padahal dahulu dia sangat membencinya,” ujar Seonho, pernyataan itu terdengar menohok, seakan mengundang pertanyaan lain.
“Terima kasih, Hyung,” ujar Jungsoo, suaranya lembut, hanya bisa mengangguk kepada Seonho.
Mereka semua kembali makan dengan tenang, tidak ada pembahasan lain tentang Yoora atau kehidupan mereka sendiri. Hanya ada suara dentingan sendok yang saling beradu dengan garpu, menemani acara makan malam keempat orang tersebut. Setiap suapan terasa berat, dan tidak ada di antara mereka yang tahu tentang keadaan Yoora kecuali Seokjin yang kini berjuang sendiri.
Setelah mereka selesai makan malam, keempat orang tersebut langsung kembali ke aktivitas masing-masing karena hari pun sudah semakin malam . Satu demi satu mereka pergi tanpa menyadari bahwa malam ini akan menyimpan lebih banyak rahasia dan masalah yang akan terungkap di kemudian hari.
...POV YOORA...
Aku terbangun dari kegelapan yang sudah berapa lama aku jalani, sekujur tubuhku terasa sakit dan nyeri. Badanku terasa seperti remuk redam dan tak bertenaga, seperti baru saja jatuh dari ketinggian. Dengan perlahan, aku membuka mata dan melihat sekeliling. Ruangan ini kosong, tak ada benda apapun yang bisa membantuku, hanya dinding dingin yang menyempitkan rasa takutku.
Di salah satu sudut, ada sebuah tongkat kayu, dan di ujungnya terdapat bercak darah yang sudah mulai mengering. Melihat itu, ingatanku kembali melintas ke kejadian yang menyakitkan saat kakak tertuaku meluapkan semua emosinya padaku. Rasa takut menghantui pikiranku setiap saat, mencengkeram jiwaku dengan ketakutan yang tidak pernah surut. Aku merasa terjebak dalam siklus penderitaan yang tak berujung.
Ada harapan untuk pergi dari dunia ini dan menyusul ayahku yang sudah ada di surga sana, selintas aku ingin menyerah pada keadaan yang selalu tidak berpihak padaku. Kejadian seperti ini selalu terulang dalam hidupku, seperti rutinitas yang harus dijalani setiap orang. Kepalaku terasa berdenyut sakit, seakan-akan di dalamnya ada ribuan jarum yang menusuk.
Aku merasakan cairan hangat mengalir dari dahi, dan aku tahu itu darah, tetapi aku tidak memperdulikan keadaan itu. Kesedihan dan rasa sakit menyelimuti pikiranku, membuatku ingin menutup mata dan menghilang. Dengan harapan, aku ingin ada yang menolongku kali ini, tetapi kurasa itu hanya angan yang terperangkap dalam imajinasiku yang kelam.
Beberapa detik bergelut dengan rasa sakitnya, segalanya seolah buyar saat pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang yang jujur saja tidak berani aku tatap kehadirannya. Suara rendahnya memecah keheningan, seakan menambahkan ketakutan yang menyelimuti ruangan.
..... **POV end**....
...
...Flashback on...
Beberapa detik bergelut dengan rasa sakitnya, segalanya seolah buyar saat pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang yang jujur saja tidak berani yoora tatap kehadirannya. Suara rendahnya memecah keheningan, seakan menambahkan ketakutan yang menyelimuti ruangan.
“Sudah sadar ternyata!!” ucapnya dengan nada yang sulit diartikan apakah itu kebahagiaan atau hanya ejekan?
Yoora menahan napas, hati berdebar. Walau yoora tidak ingin melihat, rasa ingin tahunya membuat Yoora menoleh sedikit. Dalam samar, yoora bisa melihat sosok itu berdiri di ambang pintu, bayangannya menyatu dengan kegelapan.
" Masih mau lanjut?” tanyanya lagi, suaranya penuh dengan kebencian yang sulit disembunyikan.
“Aku mohon... jangan sakiti aku lagi... aku mohon, oppa... Jangan, ” lirih Yoora dengan suara gemetar, tubuhnya merosot ke lantai. Dia menunduk dalam-dalam, memeluk kakinya sendiri, berharap ada sebersit belas kasih yang bisa meluluhkan hati kakaknya.
“Jangan sentuh tubuhku dengan tangan kotormu itu, sialan!” bentaknya dengan nada penuh penghinaan, lalu mendorong Yoora dengan kasar hingga tubuh gadis itu terhuyung mundur.
Pria itu berdiri dengan angkuh di hadapan Yoora, matanya dingin tanpa rasa kasihan. Dengan gerakan pelan namun penuh ancaman, dia mengambil tongkat kayu yang tergeletak di dekatnya. Pandangan Yoora terpaku pada tongkat itu, napasnya tercekat. Ketakutan mulai merayap dalam dirinya kejadian pagi tadi masih terpatri jelas di pikirannya. Setiap hantaman, setiap pukulan yang ia terima terasa kembali di seluruh tubuhnya, membawa gelombang rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang.
“Dahulu aku adalah anak yang sangat beruntung, {ucapnya, suaranya bergetar penuh amarah yang terpendam lama} Lahir di keluarga kaya raya, tampan, dan pintar. Adik-adikku juga begitu tampan, pintar, dan berbakat. Kami bahagia. Aku, Daddy, Mommy, dan adik-adikku hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan.” Sejenak, dia terdiam, namun hanya untuk menarik napas dalam, sebelum emosinya meledak lagi.
“Hingga suatu hari, seorang anak yang tidak diharapkan merusak semuanya! Dia mengambil Daddy dari hidupku! Dan belum cukup sampai di situ, dia juga membuat kami kehilangan kasih sayang seorang ibu! Karena kehadirannya, aku harus kehilangan masa muda untuk mengurus adik-adikku! Karena dia, aku harus merelakan impianku! Karena dia, aku kehilangan orang yang sangat aku cintai! Karena kehadirannya, aku kehilangan segalanya, KAU! Kau lah anak pembawa sial itu! KARENA DIRIMU, hidupku hancur!” Bentakannya meledak, suara pria itu menggelegar di dalam kamar mandi, gema suaranya terdengar seperti palu yang menghantam hati Yoora berulang-ulang.
Yoora menutup matanya rapat-rapat, teriakan itu terus menghujani pikirannya tanpa henti. Seolah memaksa masuk ke dalam benaknya, mencabik-cabik sedikit sisa keberanian yang dia miliki. Ingin rasanya dia berteriak, menjelaskan bahwa dia juga kehilangan banyak hal. Tapi lidahnya terasa kelu, bibirnya beku, tak ada kata-kata yang keluar.
“Aku kehilangan segalanya karena dirimu! Kau tahu itu, kan? Karena DIRIMU!” teriaknya lagi, semakin ganas.
“Mianhae, oppa... aku minta maaf,” lirih Yoora dengan suara hampir tak terdengar, tenggelam dalam rasa bersalah yang selalu membebani dirinya.
“ Maaf?.. { Pria itu tertawa sinis} Apa dengan maaf aku bisa mendapatkan semua yang telah hilang? Apa maafmu bisa menggantikan air mata yang sudah kubuang? Apa maafmu bisa menyembuhkan luka di hatiku? Apa maafmu bisa mengembalikan kebahagiaanku? APA DENGAN MAAF, ORANG TUAKU AKAN KEMBALI? JAWAB AKU, SIALAN!” bentakan seonho terdengar menggelegar di kamar mandi luas tersebut.
Tanpa disadari, satu pukulan keras menghantam tubuh Yoora yang sudah terbaring lemah di lantai. Suara hantaman itu terdengar menggema, dan Yoora hanya bisa meringis pelan, merasakan gelombang rasa sakit yang kembali menyerangnya.
Dengan tatapan sayu, Yoora menatap pria di hadapannya. Matanya yang dulu penuh cinta kini hanya memancarkan kebencian dan kekecewaan yang mendalam, bagaikan jurang tak berujung.
“Oppa... Apa yang harus aku lakukan untuk menggantikan semua yang telah hilang darimu? Jika saja nyawaku bisa aku tukar dengan nyawa orang tua kita, aku akan dengan suka rela menukarnya. Aku juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini, oppa. Aku tidak pernah meminta untuk hadir di antara kebahagiaanmu dan kebahagiaan mereka. Aku sudah pasrah, oppa. Lakukanlah apa pun yang ingin kau lakukan pada wanita kotor sepertiku ini. Lakukan saja... aku lelah membela diriku sendiri,” suara Yoora terdengar putus asa, bibirnya bergetar sementara air mata jatuh tak tertahankan. Pandangannya kosong, menatap wajah kakaknya dengan penuh kesakitan.
Seonho, yang berdiri di hadapannya dengan mata penuh kemarahan, tampak tak tergerak sedikit pun oleh kata-kata adiknya. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat, seperti bara api yang siap meledak kapan saja. Meski tubuh Yoora sudah lemah dan gemetar, dia tak menunjukkan belas kasihan, hanya kebencian yang semakin menyala di matanya.
“Nyawamu? Nyawamu bahkan tidak akan cukup untuk menggantikan semua yang telah hilang dariku! Kau pikir dengan kata-kata maaf ini, semua akan kembali seperti semula? Tidak, Yoora... aku membencimu! Dan kebencian ini akan abadi... selamanya!” teriak Seonho, suaranya menggema di dalam kamar mandi yang sempit itu, memenuhi setiap sudut dengan kebencian yang menyesakkan.
Yoora tersentak, tangisnya semakin menjadi, namun bibirnya tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tahu kakaknya tak akan pernah mendengarnya.
“Aku kehilangan segalanya... karena dirimu!... Karena seseorang seperti dirimu ! ” Seonho kembali berteriak, matanya liar dengan emosi yang tak terbendung. Dalam kemarahannya, dia mengayunkan tangan, memukul Yoora sekali lagi hingga tubuh gadis itu terhuyung ke dinding. Suara hantaman itu menggema, dan Yoora meringis kesakitan, napasnya terputus-putus. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, namun tidak lebih menyakitkan daripada luka di hatinya.
“Oppa... maafkan aku... aku juga tidak ingin semua ini terjadi , aku juga tidak mau kehilangan mereka.....” lirih Yoora di antara isakan tangisnya. Tapi Seonho tidak mendengar, atau mungkin tidak peduli.
“Maaf?... Maafmu tidak akan mengembalikan apa pun! Maafmu tidak akan menghapus air mata yang sudah aku tangisi, tidak akan menyembuhkan luka di hatiku! Apa dengan maafmu, aku akan mendapatkan kebahagiaanku kembali? katakan padaku? Apa dengan maafmu, orang tua ku akan kembali hidup?” Seonho berteriak lagi, wajahnya memerah karena amarah. Satu pukulan lagi menghantam Yoora, kali ini lebih keras, membuat tubuh ringkih nya jatuh ke lantai tanpa daya.
Teriakan Yoora tak mampu menahan rasa sakit yang terus menerpa, namun matanya menatap kosong pada kakaknya yang kini tampak seperti orang asing. Sosok Seonho yang dulu penuh kasih sayang telah hilang, digantikan oleh kebencian yang mengakar dalam.
Seonho berdiri di atasnya, napasnya berat dan tergesa, menatap tubuh Yoora yang lemah di lantai dengan tatapan dingin.
“Aku memperingatkan mu... jauhi adik-adikku. Berhentilah membuat masalah. Kau tahu, aku tidak akan segan-segan membuatmu kehilangan segalanya kalau kau berani melakukan yang membuat ku kerepotan lagi , Kau paham? " Bentak seonho, yang membuat Yoora yang tidak berdaya dalam posisi nya hanya bisa mengangguk mengiyakan apa yang di ucapkan sang kakak.
Dengan kata-kata terakhirnya yang penuh ancaman, Seonho meninggalkan Yoora di sana, pintu kamar mandi kini terbuka lebar, seolah memberikan Yoora kesempatan untuk keluar dari neraka ini. Tapi tubuh Yoora terlalu lemah, hatinya terlalu hancur untuk segera bergerak.
“Aku tidak melakukannya... aku bukan orang seperti itu...” Yoora berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara tangisannya.
Setelah beberapa saat terdiam, dengan sisa tenaga yang dia miliki, Yoora akhirnya memaksa dirinya bangkit, tertatih-tatih keluar dari kamar mandi itu. Setiap langkah terasa menyakitkan, tetapi lebih dari rasa sakit fisik, luka di hatinya terasa jauh lebih menyiksa.
...Flashback off...