Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arman Tugas Keluar Kota Meninggalkan Maya Sendiri
Arman Tugas Keluar Kota Meninggalkan Maya Sendiri
Beberapa minggu setelah kehamilan Maya semakin terlihat, Arman mendapat tugas mendadak yang mengharuskannya keluar kota. Proyek besar yang sedang dikerjakannya membutuhkan perhatian ekstra, dan bosnya menugaskannya untuk memimpin presentasi di luar kota. Tugas itu penting, dan Arman tahu ia tidak bisa menolaknya meskipun hatinya berat meninggalkan Maya yang sedang hamil.
Saat malam tiba sebelum keberangkatannya, Arman duduk di samping Maya yang sedang merapikan pakaian untuknya. Di mata Maya, ada keheningan yang berbeda, seolah ada kekhawatiran yang tak terucapkan.
“Maya, kamu pasti bisa menghadapinya selama aku pergi, kan? Aku cuma beberapa hari saja, tapi aku tahu kamu kuat,” kata Arman, mencoba menenangkan Maya yang tampak cemas.
Maya tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya ada kekhawatiran yang mendalam. “Aku tahu, Arman. Aku cuma… aku cuma merasa takut kalau aku sendirian lagi. Sudah lama kita bersama, dan tiba-tiba kamu harus pergi jauh. Aku khawatir dengan keadaan kita, terutama aku yang sedang hamil.”
Arman menggenggam tangan Maya dengan lembut, mengusap punggung tangannya seolah memberikan kekuatan. “Jangan khawatir, Mama. Kamu gak sendirian. Aku akan selalu menghubungimu. Setiap waktu aku punya kesempatan, aku akan meneleponmu. Dan kalau ada apa-apa, kamu bisa telepon aku kapan saja. Aku janji akan segera kembali.”
Maya hanya mengangguk, meskipun kecemasan masih merayap di dadanya. Ia tahu Arman tak bisa meninggalkan pekerjaannya, namun perasaan cemas akan kesehatannya dan bayinya yang semakin besar membuatnya merasa takut.
Pagi harinya, sebelum Arman berangkat, mereka saling berpelukan erat. “Jaga diri baik-baik, Arman. Jangan terlalu capek, dan hati-hati di jalan,” kata Maya dengan suara bergetar.
“Aku akan jaga diri, Mama. Dan kamu juga. Aku percaya kamu bisa melewati ini,” jawab Arman, mencium kening Maya. “Aku akan cepat kembali. Jangan lupa makan dengan teratur dan istirahat yang cukup. Aku sayang kamu.”
Setelah Arman pergi, Maya merasa kesepian. Keadaan rumah yang sebelumnya ramai dengan tawa dan kebersamaan kini terasa begitu hening. Meski beberapa teman dan tetangga sering datang, tak ada yang bisa menggantikan kehadiran Arman di sampingnya. Maya berusaha untuk tetap sibuk, namun rasa hampa tetap saja menyelip di hatinya.
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi rasa rindu pada Arman semakin dalam. Setiap pagi, Maya menunggu dengan sabar kabar darinya, dan setiap malam ia merasa cemas jika tak mendapat kabar. Meski telepon dan pesan singkat dari Arman selalu menghibur hatinya, tetap saja rasanya tidak sama dengan kehadirannya yang nyata di rumah.
Suatu malam, saat Maya terbangun dari tiduran singkat, ia merasa mual. Perutnya terasa tidak nyaman, dan ia segera berlari menuju kamar mandi. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, dan seketika itu juga perasaan panik menyelimutinya. Ia memegang perutnya dengan cemas, berharap tidak ada yang salah dengan bayi yang dikandungnya.
“Maya, kamu oke?” suara telepon dari Arman tiba-tiba terdengar, mengagetkannya. Maya tersadar bahwa selama ini, Arman tidak pernah melewatkan waktu untuk mengecek kondisinya, meski tengah sibuk dengan tugasnya.
Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab. “Aku baik-baik saja, Arman. Cuma merasa sedikit mual. Mungkin karena aku kurang istirahat.”
“Jangan terlalu banyak bekerja, ya,” Arman berkata dengan nada khawatir. “Kalau ada apa-apa, segera bilang aku. Aku akan pulang kalau kamu butuh.”
“Jangan khawatirkan aku,” jawab Maya, meskipun hatinya tetap tak tenang. “Aku bisa menghadapinya sendiri. Kamu fokus saja di sana. Jangan pulang hanya karena aku. Anak kita butuh masa depan, dan aku tahu ini penting untuk pekerjaanmu.”
Maya merasa sedikit bersalah, karena ia tahu betapa beratnya tugas Arman di luar kota. Tetapi di saat yang sama, ia merasa sangat membutuhkan kehadiran Arman. Kehamilannya yang semakin berat membuatnya merasakan banyak perubahan fisik dan emosional yang sulit dihadapi sendirian. Namun, ia juga tahu, ia harus kuat. Untuk Arman, untuk anak mereka yang ada dalam kandungan, dan untuk dirinya sendiri.
Keheningan kembali menyelimuti rumah Maya setelah percakapan itu. Meskipun ia masih merasa takut dan cemas, ia berusaha untuk tetap positif. Teman-temannya sering menanyakan keadaannya, dan ia mencoba untuk tidak mengungkapkan kekhawatirannya. Ia tahu bahwa selama Arman bekerja keras, dia harus bisa menghadapinya sendiri. Namun, setiap kali malam tiba dan ia duduk sendirian, perasaan rindu itu datang kembali—mengingat betapa banyaknya waktu yang harus dijalani tanpa Arman di sisi.
Maya seringkali berjalan mengelilingi rumah, mengamati setiap sudut, dan merasakan kekosongan yang begitu dalam. Meskipun ia bisa beradaptasi dengan keseharian baru, tak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar suara Arman di rumah, merasakan kehadirannya yang penuh perhatian.
Hari-hari berlalu, dan akhirnya Arman mengirim pesan yang sangat ditunggu-tunggu. "Aku akan segera pulang, Mama. Hanya beberapa hari lagi. Aku kangen banget."
Maya tersenyum lega membaca pesan itu. Meskipun perasaan kesepian itu masih menghantui, ia tahu bahwa kehadiran Arman akan segera kembali mengisi kekosongan yang ada. Mereka masih punya banyak waktu untuk merencanakan masa depan mereka bersama, dan selama itu, Maya akan tetap berusaha untuk kuat, meskipun kadang rindu itu terasa berat.