"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
"Dani! Stop! Ibu udah nungguin aku di rumah sakit!" teriakku pada pria yang terus menghalangiku untuk ke luar rumah di pagi ini.
"Ga! Kamu ga boleh nemuin Arzio lagi! Aku ga rela kamu sama dia!" bantah Dani.
"Apa-apaan sih?! Arzio itu calon suami aku! Seharusnya kamu sadar posisi! Dia ga pernah bertingkah kayak gini ke aku! Dia malahan dukung aku buat nungguin kamu! Waktu HP aku rusak, dia rela minjemin HP cuma buat aku ngehubungin kamu! Dia ga pernah maksa aku untuk sesuatu! Bahkan dia ga pernah nahan aku kayak gini di depan pintu!" omelku.
"Aaarghhhhhhh!!" teriak Dani membuatku terkejut sekaligus takut. Dia memegangi menjambak kepalanya dengan kuat. "Aku sayang sama kamu, Arlita," ucapnya dengan lembut.
"Maaf, aku ga bisa, Dani," jawabku dan meninggalkannya. Meski dia terus memanggil, aku tetap melangkah dan memasuki mobil grab.
***
Sesampainya di rumah sakit, aku menceritakan hal tersebut kepada Arzio. Dia tak memberikan respon apapun.
"Aneh! Padahal udah aku jelasin baik-baik, kalo aku ga mau berurusan lagi sama dia. Aku udah mau nikah sama kamu, tapi dia masih aja maksa kayak gitu. Semalem aja jam 2an dia ke rumah, ngetok-ngetok jendela kamar aku. Udah berasa diteror," ocehku lagi sembari mengelap telapak kaki Arzio yang kian pucat.
Setelah selesai, kutatap wajah Arzio dengan dekat. Dia juga melirik mataku bergantian dari kiri ke kanan dan sebaliknya.
~Cup!
Kukecup bibir Arzio dan membuatnya tersenyum. "Cepat sembuh ya," ucapku.
Saat aku hendak beranjak, tiba-tiba Arzio memelukku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Mau peluk aja," jawabnya yang langsung kubalas pelukan itu dengan hangat.
"Maaf ya, kalau aku ga bisa berbuat banyak buat kamu. Aku cuma bisanya nyusahin kamu aja, he he," ucapku.
"Kalo semisalnya aku udah ga ada, kamu boleh kok nikah sama Dani."
~Aw!
Dadaku mendadak sakit setelah mendengar kalimat yang Arzio ucapkan.
Kulepas pelukan tersebut dengan kasar sampai Arzio meringis sebab tangannya terasa sakit.
"Kenapa ngomong kayak gitu?!" marahku.
"Biar kamu ga bingung kalo semisalnya aku ga ada. Kamu ga perlu nyari tujuan baru, kamu boleh kok nikah sama Dani," jelasnya.
"Kalo kamu ga ada, aku juga ga ada!" tegasku.
"Jangan kayak gitu. Kesian ibu. Ibu sama siapa kalo kamu ga ada?" tanyanya.
"Kalo gitu, kamu juga harus kesian sama nenek! Nenek cuma punya kamu di dunia ini! Kalo kamu ga ada, nenek sama siapa?!" balasku.
"Intinya, kalo aku ga ada, kamu boleh sama siapa aja."
Kutatap wajah Arzio lebih dalam. Entahlah. Tiba-tiba saja aku ingin menangis.
Kembali kupeluk dia. Air mataku benar-benar mengalir. "Jangan ngomong kayak gitu," ucapku tersedu-sedu.
"Dan nanti kalo aku ga ada, kamu jangan keseringan nangis ya? Soalnya aku ga bisa peluk kamu lagi," lanjut Arzio membuatku semakin meraung.
"Jangan ngomong kayak gituuu!" ocehku sembari menangis.
"Jangan jalan-jalan ke jauh. Kalo kamu nyasar, aku ga bisa jemput lagi." Dia terus memberi amanat selepas dia tiada di dunia lagi. Aku semakin membenci tingkah Arzio yang satu ini.
"Maaf aku belum bisa bahagiain kamu. Aku cuma bisa ngasih apa yang aku punya ...." Kalimat Arzio terhenti sebab kucium dia lebih lama.
Arzio yang tadinya menopang tubuh untuk setengah berbaring. Tiba-tiba terbaring di bed dan memegang rahangku. Dia yang lebih dulu mengulum bibir-bibirku. Padahal niatku adalah agar dia tidak mengoceh lagi. Aku semakin terbuai olehnya.
"Ekhem! Ekheeeeeem!" Suara deheman tersebut mengejutkan kami dan mengatur posisi masing-masing. Aku menghapus air mata yang sudah membasahi pipiku.
Rupanya suara itu berasal dari Bang Dio yang datang sendirian.
"Bisa-bisanya, bisa-bisanya," ejek Bang Dio membuatku tertunduk malu.
Arzio berdecak kesal setelah melihat Bang Dio mendekat.
"Pagi-pagi sarapan bubur!" Dia menaruh satu bungkus bubur ayam di atas meja. "Malah sarapan bibir," ejeknya lagi.
"Mau ngapain lo ke sini?!" ketus Arzio pada abangnya tersebut.
"Disuruh mama anterin bubur buat Lita sarapan," jawab Bang Dio.
"Udah nganterinnya?" tanya Arzio dengan malas.
"Ya itu di meja!"
"Ya udah! Ke luar sana! Ganggu aja!" omel Arzio.
Aku yang berada di posisi antara mereka berdua jadi merasa tidak nyaman.
"Tadinya gue mau langsung balik, tapi kayaknya ...." Bang Dio menatap ke arahku dengan refleks aku menoleh ke arah lain.
Aku beralih untuk mengambil bubur ayam, namun Bang Dio malah menghampiriku dengan posisi yang sangat dekat. Sialnya Arzio tidak bisa melihat ke tempat ini sebab ruangannya yang berbentuk L.
Aku tertegun sebab Bang Dio sangat dekat.
"Lain kali, kalo mau ciuman, pintunya dikunci!" tegasnya dan menghampiri Arzio.
"Mending lo balik aja! Serah gue lah mau ciuman kek mau ngapain kek, pacar pacar gue. Kecuali kalo gue nyium pacar lo, lo boleh ngamuk!" omel Arzio pada abangnya tersebut.
Tiba-tiba Bang Dio mendapat telepon dari mamanya yang meminta untuk mengambil paket kiriman di ekspedisi.
"Sekarang?" tanya Bang Dio.
"Iyaa. Soalnya kalo udah siang, antriannya lama banget. Orang lain juga ada yang beli paket loh Dio, bukan Mama doang."
Dengan sangat terpaksa, Bang Dio pergi meninggalkan kami berdua.
"Hummm!" Aku rasanya ingin menangis. "Kalo Bang Dio cerita ke mama atau ke ibu atau ke nenek gimana?" tanyaku.
"Ya biarin aja," jawab Arzio.
***
Hari ini lagi-lagi Dani datang ke rumahku. Dia masih memaksaku untuk tidak menemui Arzio.
"Udahlah, Dani. Emangnya kamu ga capek kayak gini?" tanyaku.
"Ga! Aku ga bakalan capek buat kamu!" jawabnya.
"Aku juga mau punya kehidupan yang lain. Ga cuma tentang kamu terus. Kita udah sedewasa ini, seharusnya kamu ngerti," ucapku.
"Aku ga mau kamu sama orang lain, Ta. Seharusnya kamu ngerti itu," balasnya.
Sebuah mobil lain berwarna putih terparkir di depan rumahku.
"Ramadhani!" teriakan itu beriringan dengan keluarnya sang pengemudi perempuan. Wajahnya tak asing lagi. "Ga habis-habisnya ya? Mau lo apa sih?!" omelnya padaku.
"Apa? Gue ada masalah apa sama lo? Lo siapa? Kenapa lo ke rumah gue? Ada perlu apa?!" balasku.
~Plak! Tiba-tiba dia menamparku.
~Plak! Dani membalas menamparnya.
"Aw!" pekik gadis itu.
"Sekali lagi lo nyentuh, Lita. Gue pastiin lo mati!" tegas Dani.
"Dani! Aku ke sini buat jemput kamu! Cewek murahan ini ga pantes buat kamu!" jelasnya sembari memegangi pipi kanan.
"Lo yang murahan! Gue udah nolak lo berkali-kali, tapi lo masih aja ngejar-ngejar gue! Mendingan lo pergi sekarang, sebelum gue tampar lebih banyak!" balas Dani.
"Dani!" tegasku agar dia menghentikan kata-kata kasarnya itu. Sudah cukup! Aku tidak mau disalahkan lagi atas apa yang dia lakukan pada semua orang.
"Aku sayang sama kamu, Lita!" ucapnya lemah lembut.
"Tapi dia ga sayang sama lo, Dan! Lo harus ...."
"DIAM!" teriak Dani pada wanita di sebelahnya tersebut.