Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Suasana yang tadinya serius seketika berubah saat Aldo, yang selalu bisa mencairkan ketegangan, tiba-tiba menyeringai jahil. "Tapi, Dina," katanya, dengan nada menggoda yang khas. "Seandainya, ada laki-laki yang tiba-tiba tertarik menjadikanmu kekasih, apa yang akan kamu katakan?" Matanya melirik sekilas ke arah Ferdi, yang langsung membalasnya dengan tatapan tajam.
Dina terkejut sejenak, menatap Aldo yang tersenyum lebar, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-katanya. Pipinya memerah tipis, sementara Ferdi tampak sedikit canggung, mengalihkan pandangannya dengan pura-pura merapikan berkas di mejanya. "Aldo!" sergah Ferdi dengan tatapan tajam menusuk.
Aldo terkekeh, tampak puas dengan reaksinya. "Aku hanya bercanda Din, jangan terlalu dianggap serius" ujarnya, namun matanya tetap tak bisa berhenti melirik ke arah Ferdi, seolah menikmati situasi canggung yang tercipta di antara mereka.
"Ya, siapa tahu saja ada seseorang yang menarik perhatian. Misalnya, seseorang yang mungkin saja..." Aldo melirik lagi ke Ferdi, namun belum sempat dia melanjutkan kalimatnya, Dina segera menyela.
"Saya tidak berpikir soal itu sekarang pak Aldo," kata Dina cepat, masih merasa canggung dengan arah pembicaraan. "Yang terpenting bagi saya sekarang hanyalah mendapatkan kembali apa yang hilang dari saya"
Setelah percakapan mereka selesai, Dina tersenyum tipis, mencoba menghilangkan rasa canggung yang masih terasa. "Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Pak Ferdi, Pak Aldo," ucapnya sambil berdiri dari kursinya.
Aldo mengangguk pelan, begitu juga Ferdi, kedua matanya menatap Dina sebentar sebelum berkata, "Hati-hati di jalan."
...***...
Setelah Dina keluar, Aldo segera menyandarkan punggungnya ke kursi, dengan senyum jahil yang tak bisa disembunyikan. Dia menatap Ferdi dengan tatapan yang cukup tajam, seolah sedang menunggu reaksi yang lebih dramatis.
"Aduh, Fer, aku rasa kau harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan Dina" kata Aldo dengan nada menggoda, "Kau sepertinya tertarik dengan Dina, bukan sebagai karyawan. Tapi sebagai seorang wanita."
Ferdi menatap Aldo dengan wajah yang datar, mencoba menahan senyum. "Lagi - lagi kau bicara omong kosong Al" jawab Ferdi cepat, mencoba menyangkal dengan nada serius meski dalam hati sedikit gelisah.
Aldo hanya tertawa ringan, masih dengan tatapan penuh arti. "Ya ya, kau bisa berkata seperti itu, tapi aku bisa langsung tahu dari caramu menatap Dina, dan bagaimana kau menekan tim IT untuk menemukan pengunggah itu. Kau tidak pernah sepeduli itu dengan karyawanmu"
Ferdi mengalihkan pandangannya, mengalihkan fokusnya ke layar komputer di depan. "Itu semua hanya asumsimu saja. Tidak ada perasaan apapun antara aku dan dia" kata Ferdi sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk tetap tenang.
Aldo menyeringai, jelas dia menikmati reaksi Ferdi yang mulai sedikit cemas. "Aku hanya menyarankan, kau harus lebih agresif sedikit Fer. Kalau kau benar-benar tertarik dengan dia"
Ferdi menghela napas, matanya tertutup sebentar, seolah mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. "Kau terlalu banyak bicara omong kosong, lebih baik kau pergi saja sekarang. Aku tidak ingin mendengar bualanmu"
Aldo tertawa lagi, menyadari bahwa meskipun Ferdi mencoba mengelak, ada sesuatu yang berbeda di dalam sikapnya. "Oke, oke. Tapi coba kau pikirkan apa yang aku katakan"
Ferdi tetap diam, hatinya entah mengapa terasa sedikit kacau.
...***...
Aldo mendekatkan kursinya sedikit lebih dekat, matanya kini lebih tajam, seolah berbicara bukan sekadar candaan lagi. Suasana di ruang kerja tiba-tiba terasa lebih berat. Aldo memandang Ferdi dengan serius, kali ini tidak ada gurauan di wajahnya.
"Kau tahu kan Fer." Aldo mulai pelan, "Dina itu pernah terluka oleh mantan suaminya. Kau tidak bisa hanya sekadar main-main atau membuat dia berharap lebih. Kalau kau tidak punya niat untuk menjalin hubungan serius dengannya, lebih baik kau menjaga jarak agar tidak terlalu dekat"
Ferdi yang semula sibuk dengan berkas-berkas di mejanya, tiba-tiba terdiam. Kata-kata Aldo menyusup ke dalam pikirannya, membuatnya berhenti sejenak. Dia menatap layar komputer dengan pandangan kosong, mencoba mencerna kata-kata Aldo.
"Kau pikir aku tidak tahu tentang hal seperti itu?" Ferdi akhirnya menjawab, suaranya sedikit lebih rendah, seolah ada ketegangan yang tak terucapkan. "Tapi, Aldo… aku bukan tipe orang yang akan mempermainkan perasaan orang lain."
Aldo mengangguk, dengan wajah yang lebih serius. "Aku paham. Tapi, kau harus tahu juga, kalau Dina sudah cukup terluka. Jangan sampai kau menjadi orang yang akan membuat dia terjatuh lagi." Suara Aldo sekarang terdengar penuh perhatian, walaupun ia tetap berbicara dengan nada yang tetap rileks.
Ferdi menatap Aldo, merasa bahwa kata-kata itu bukan hanya untuk Dina, tapi juga untuk dirinya. Dia menghela napas panjang. "Aku tidak akan membuat Dina terluka. Kalau aku merasa tidak bisa memberikan apa yang dia butuhkan, aku tidak akan pernah memberikan harapan."
...***...
Aldo tertegun sesaat mendengar pernyataan Ferdi. Seolah baru saja menyadari sesuatu yang sebelumnya tak terpikirkan, Aldo mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Ferdi dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kau… Kau benar-benar jatuh cinta sama Dina, ya?" tanya Aldo pelan menampakkan raut wajah berbinar tak percaya, seolah berhasil memancing pengakuan Ferdi yang terus dia tutupi.
Wajah Ferdi langsung memerah. Pertanyaan Aldo yang blak-blakan membuatnya terpojok. Dia tahu jawabannya sudah terselip di antara kata-katanya sebelumnya, tapi dia tak pernah bermaksud untuk mengakuinya, apalagi di depan Aldo.
"Apa?!" Ferdi tergagap, suaranya meninggi, mencoba menyangkal, namun raut wajahnya tak bisa berbohong. "Kau bicara apa, sih? Tidak ada hubungannya!" buru-buru dia bangkit dari kursinya, tangannya menunjuk ke arah pintu. "Sudah sana, keluar! Jangan membuatku tambah pusing!"
Aldo tertawa keras melihat reaksi Ferdi yang terbata-bata. "Wah, kau bener-bener sudah kena jebakan batman Fer!" Dia terus tertawa sambil berdiri, menikmati setiap detik kepanikan Ferdi yang jarang sekali dia lihat.
"Jadi, kau benar - benar punya perasaan sama Dina. Kenapa tidak bilang dari dulu? Jangan-jangan… kau malu denganku?" Aldo menggoda sambil melirik dengan ekspresi menggoda.
"Keluar, Aldo!" Ferdi mengulangi, matanya menyipit dan wajahnya semakin merah. Jelas bahwa dia mencoba menahan rasa malunya. "Ini sama sekali bukan urusanmu."
Aldo menutup mulutnya dengan tangan, berpura-pura terkejut. "Tenang, tenang, aku tidak akan cerita kepada siapapun... kecuali mungkin aku akan cerita ke Tante Rita?" Aldo melontarkan kalimat terakhirnya dengan nada bercanda yang jelas, namun Ferdi tahu dia tidak sepenuhnya main-main.
"Jangan berani-berani, Aldo!" Ferdi menimpali, suaranya setengah serius, setengah putus asa. "Aku serius, keluar dari ruanganku sekarang!" Dia mendorong Aldo ringan, tapi wajahnya masih merah padam.
Aldo tertawa semakin keras sambil berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia menoleh dan mengedipkan mata ke arah Ferdi. "Tenang aja, Fer. Rahasiamu aman di tanganku… untuk sekarang." Lalu dia menutup pintu dengan tawa yang masih menggema di lorong, meninggalkan Ferdi yang berdiri tertegun, menatap ke arah pintu dengan perasaan campur aduk.
Di dalam ruangan yang sekarang sunyi, Ferdi menghela napas panjang, mencoba meredakan panas di wajahnya. Namun kata-kata Aldo terus terngiang di benaknya, tak bisa dia abaikan begitu saja.
...***...
Libur akhir pekan kali ini dimanfaatkan Dina, untuk membeli beberapa perlengkapan bayi untuk Gio.
Dina sedang berdiri di tengah deretan rak yang dipenuhi pakaian bayi berwarna pastel. Tangannya yang ramping perlahan membelai kain lembut sebuah romper kecil berwarna biru muda dengan motif beruang mungil. Matanya yang teduh memancarkan kerinduan dan harapan, meski hatinya tengah diliputi rasa perih. Dia mencoba mengabaikan kenyataan pahit bahwa dirinya hanya bisa menitipkan barang-barang ini melalui Linda, pengasuh Gio yang setia, untuk bayi yang telah direbut darinya.
Hati Dina menghangat sejenak membayangkan bayinya tersenyum mengenakan pakaian lucu yang dipilihnya dengan penuh kasih. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Dari sudut matanya, dia menangkap sosok yang familiar. Tari.
Senyuman palsu tersungging di bibir Tari saat ia melangkah mendekat. Tatapannya tajam, penuh ejekan dan kemenangan. Tanpa menunggu sapaan dari Dina, Tari langsung membuka percakapan dengan nada sinis.
"Hai, Dina," ucap Tari, suaranya terdengar seperti racun yang disamarkan dalam madu. "Sedang apa kau disini? Kau tidak sedang membeli keperluan bayi yang bahkan tidak bisa kau temui lagi kan?"
Dina menegakkan tubuhnya, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. Dia berbalik perlahan, menghadapi Tari.
Tari tertawa kecil, langkahnya semakin mendekat, seperti pemburu yang telah mengunci buruannya. "Ronny bilang Gio baik-baik saja bersamaku. Kamu tahu, Dina, mungkin dia memang lebih berhak mendapatkan sosok ibu yang… sempurna. Bukan seseorang yang bahkan keluarga saja tak punya."
Ucapan itu menampar Dina, namun dia menolak menunjukkan kelemahannya. Matanya menyala, bukan lagi karena air mata, melainkan oleh keberanian yang lama terpendam.
"Dengar, Tari," Dina membuka suara, nadanya dingin tapi penuh kekuatan. "Kamu mungkin berhasil merebut Ronny, tapi itu hanya menunjukkan satu hal—aku terlalu berharga untuk orang seperti dia. Dan Gio? Dia akan tumbuh besar mengenali siapa ibunya yang sebenarnya. Jangan pikir anak kecil tak bisa merasakan cinta ibunya sendiri. Pada akhirnya, kebenaran akan menemukan jalannya."
Tari membelalakkan matanya, terkejut oleh keberanian Dina yang tak ia sangka. Tapi Dina tak berhenti di sana.
"Dan soal kamu," lanjut Dina dengan tajam, "Jika hidupmu hanya dipenuhi iri hati dan keinginan untuk menghancurkan orang lain, maka kamu sebenarnya sudah kalah sejak awal. Ronny mungkin bersamamu sekarang, tapi kebahagiaan sejati tak pernah dibangun di atas penderitaan orang lain. Dan siapa tahu, Ronny akan melakukan hal yang sama padamu, seperti yang dia lakukan padaku sekarang. Saat itu terjadi, aku akan menjadi orang yang bertepuk tangan paling keras, merayakan kehancuranmu."
"Ah satu lagi, aku akan berbaik hati memberikan mantan suamiku untukmu dengan senang hati, selama ini kau selalu menginginkan apa yang jadi milikku. Seperti kau mengambil Ronny dariku."
"Perlu kukatakan padamu Tari, kau tidak mengambil apa - apa dariku, kau hanya mengambil masalah hidupku, dan aku berterima kasih untuk itu" Sinis Dina.
Kata-kata itu mengiris Tari lebih tajam daripada pedang. Tari kehilangan kata-kata, dan senyuman sinisnya memudar.
Dina, dengan anggun, kembali memalingkan perhatian pada pakaian bayi yang tadi dipegangnya. Dia mengambil beberapa potong lainnya dengan tenang, seolah Tari tak lebih dari bayang-bayang di sudut toko.
...****************...
Kenapa Ny Inneke tak segera memberitahu jika dia hanya keponakan pak Johan/ anak sambung? Yang bisa mewarisi harta Pak Johan suatu saat nanti. Aku yakin Pak Johan sudah punya filing dan telah membuat surat wasiat. Untuk ketiga anaknya termasuk Ronny
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina