Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga satu
Malam sudah beranjak larut saat mobil Abraham berhenti di depan mansion megah yang berkilauan oleh pantulan cahaya lampu. Bangunan itu berdiri menjulang, dengan arsitektur yang mencerminkan kekuasaan dan kemewahan pemiliknya. Di depan pintu utama, puluhan pelayan dan pengawal berjajar rapi dalam barisan sempurna, menundukkan kepala mereka sebagai tanda penghormatan.
Pintu mobil terbuka, dan Abraham turun dengan langkah mantap. Tatapan dinginnya menyapu seluruh barisan, membuat setiap orang menahan napas. Tak ada yang berani mengangkat wajah terlalu tinggi.
“Selamat malam, Tuan.” Suara serempak menyambutnya.
Abraham tidak menjawab, hanya sedikit menganggukkan kepala. Gerakannya kecil, tapi cukup untuk menunjukkan kekuasaannya. Dengan anggun, ia mengulurkan tangan ke arah Firda yang masih duduk ragu-ragu di dalam mobil.
Firda menatap tangan itu dengan gugup, jantungnya berdebar keras. Selama perjalanan, ia sudah berusaha menenangkan diri, tapi berada di tengah-tengah sambutan semegah ini hanya membuatnya semakin cemas. Tangannya gemetar saat ia menyambut uluran tangan Abraham.
Ketika mereka berjalan menuju pintu utama, Firda merasakan tatapan para pelayan yang diam-diam melirik ke arahnya. Ia tahu ini bukan tatapan penghinaan seperti yang biasa ia dapatkan di rumah pamannya, tapi tetap saja ia merasa tak nyaman. Berada di sisi Abraham seperti ini seolah membuat dirinya terlihat begitu kecil—seperti seekor burung pipit yang berjalan di samping seekor singa.
Abraham menggenggam tangan Firda dengan kokoh, membuat gadis itu sedikit tersentak. Sentuhan itu tak terlalu erat hingga menyakitkan, tapi cukup untuk mengingatkannya bahwa ia tak punya pilihan selain mengikuti pria ini. Saat mereka melangkah masuk ke dalam mansion, Firda tak bisa menahan diri untuk tidak berhenti terkagum-kagum pada interior yang bahkan lebih megah daripada bagian luarnya. Meskipun... Ini bukanlah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tempat bak istana ini.
Namun, rasa kagum itu segera berganti cemas ketika ia menyadari ke mana langkah ini akan membawanya.
Setelah melewati beberapa lorong, mereka tiba di depan pintu kamar utama. Firda mengerjapkan matanya, bingung.
“Tuan… kamarku—”
Belum sempat Firda menyelesaikan kalimatnya, Abraham berbalik dan menatapnya dengan dingin. Hanya dengan satu tatapan itu, Firda langsung terdiam. Ia tahu, protes sekecil apa pun tidak akan berguna. Namun, tetap saja ia merasa panik saat Abraham membuka pintu dan melangkah masuk, sambil menarik tangannya agar ikut masuk bersamanya.
“Kamu tidur di sini,” ucap Abraham singkat, suaranya rendah tapi mengandung nada tak terbantahkan.
“T-tapi…” Firda mencoba memberanikan diri untuk berbicara, meskipun suaranya hampir tak terdengar.
Abraham menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Firda, dan menatapnya tajam. “Apa bagian dari pernikahan yang tidak kamu mengerti, Firda?” tanyanya, nada suaranya tenang tapi menusuk seperti bilah pisau. “Istri tidur di kamar suami. Itu sudah menjadi aturan. Jangan buat aku mengulanginya lagi.”
Firda menelan ludah, tubuhnya menegang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya seolah terkunci. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan, meskipun jantungnya terus berdetak tak karuan.
Dengan satu tarikan lembut namun tegas, Abraham menuntunnya ke tempat tidur besar yang terletak di tengah ruangan. Firda hampir tersandung karena kakinya yang gemetar, tapi Abraham dengan sigap menangkapnya, membuat gadis itu merasa semakin gugup. Sentuhan tangannya terasa panas di kulit Firda, meskipun wajah pria itu tetap sedingin es.
“Tidurlah,” ujar Abraham sambil menatapnya. Nada suaranya tak memungkinkan adanya bantahan.
Firda mengangguk pelan, lalu dengan langkah ragu ia duduk di pinggir tempat tidur. Abraham berjalan ke sisi lain ruangan untuk mengganti pakaiannya, memberikan sedikit ruang bagi Firda untuk mengatur napas. Gadis itu meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang membuatnya semakin cemas.
Ketika Abraham kembali, mengenakan pakaian tidur yang sederhana namun tetap terlihat mahal, Firda merasa jantungnya berhenti sejenak. Pria itu terlihat begitu santai, seolah kehadirannya di ruangan ini adalah hal yang biasa. Namun bagi Firda, keberadaan pria itu terasa seperti badai yang membuat segala sesuatunya menjadi kacau.
Abraham mendekatinya, menatapnya dengan intensitas yang membuat Firda ingin menghindar, tapi tak bisa. “Tidurlah di sebelahku,” perintahnya.
Firda merasa seolah tubuhnya tak bisa digerakkan. Dengan perlahan, ia naik ke atas tempat tidur, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari Abraham. Ia merasa pipinya memanas saat menyadari betapa besar tempat tidur ini, tapi betapa kecil ruang yang terasa ketika pria itu berada di sisinya.
Abraham mematikan lampu utama, menyisakan cahaya lembut dari lampu tidur di sudut ruangan. Firda berbaring dengan tubuh kaku, punggungnya menghadap Abraham. Ia bisa merasakan napasnya sendiri yang berat, seolah setiap helaan napas akan menarik perhatian pria itu.
Namun, alih-alih merasa nyaman, ia justru semakin gugup saat mendengar suara Abraham dari belakangnya, lembut namun tetap tegas. “Firda.”
“I-iya, Tuan?” jawab Firda dengan suara gemetar.
“Tidurlah. Aku tidak akan menyentuhmu,” ujar Abraham datar, namun ada nada yang membuat Firda merasa seolah ia tidak perlu meragukan kata-kata itu.
Meskipun ucapan itu seharusnya membuatnya lega, entah mengapa perasaan Firda tetap campur aduk. Rasa cemas, takut, dan malu bercampur menjadi satu, membuat malam itu menjadi malam yang paling mendebarkan dalam hidupnya.
"T-tuan..." panggil Firda dengan sangat gugup.
"Hm." Pria itu hanya menyahutnya dengan suara deheman yang terdengar berat dan serak. Membuat sekujur tubuh Firda merinding seketika. Ia sungguh tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri selama ada tuan Abraham di sisinya.
"A-apakah aku boleh menggunakan kamar mandimu sebentar, tuan? A-aku... aku juga ingin membersihkan diri. Aku merasa kotor setelah perjalanan tadi."
Untuk mengatakan dua patah kalimat itu saja, Firda harus mengumpulkan keberaniannya lebih dulu. Dan itu tidaklah mudah baginya.
Karena sebenarnya alasan utama inginnya ke kamar mandi adalah untuk melarikan diri dari pria buas di sampingnya!!
Namun, kepanikan segera menjalar dalam diri Firda kala merasakan keheningan yang anak nyata di ruangan besar ini karena Tuan Abraham tidak langsung menjawab pertanyaannya.
"Boleh." Setelah menunggu dalam keheningan yang detik demi detiknya terasa begitu lama bagi Firda, akhirnya pria itu mengeluarkan suara beratnya, memberikan jawaban. "Kalau kamu juga ingin berganti baju, bukalah lemariku di pintu sebelah kiri rak paling bawah," katanya lagi menambahkan.
Seketika Firda merasa benar-benar lega setelah mendengarnya. Buru-buru ia bangkit dari kasur dan beranjak turun. "T-tuan terima kasih, Tuan," katanya dengan suara pelan. Dengan rasa gugup dan malu yang bercampur menjadi satu, bergegas Firda melarikan diri dari pria itu!
Sementara itu, Abraham menutup matanya dengan tenang. Meski tidak menunjukkan apa pun, ia menyadari kegugupan Firda, dan entah kenapa hal itu membuatnya merasa puas. Dia tahu, dia sudah membuat gadis itu sepenuhnya sadar akan posisinya—dan itu cukup untuk malam ini.