Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Kurang lebih satu jam Almira menunggu di tempat pemakaman yang diberitahu papa Steven, tepatnya di area tersembunyi. Air mata Almira seketika tumpah tanpa diminta seiring terdengar nya suara sirine ambulan yang memenuhi indra pendengarannya.
Terlihat dari kejauhan beberapa orang mengeluarkan sebuah peti mati dari dalam ambulan tersebut dan menggotongnya secara bersamaan menuju tempat pemakaman. Melihat itu membuat dada Almira semakin sesak saja. Ingin rasanya Almira berteriak dan berlari menuju peti mati tersebut, namun sekuat tenaga Almira menahannya.
Dari kejauhan Almira melihat berbagai macam proses yang dilakukan sebelum akhirnya tanah yang tadinya berbentuk sebuah lubang kini telah berubah menjadi sebuah gundukan, yang di dalamnya tersimpan seseorang yang Almira rindukan sosok kehadirannya.
Pandangan Almira dibuat memicing kala melihat kedua mertuanya langsung pergi meninggalkan tempat tersebut ketika proses pemakaman baru saja selesai, bahkan sebelum beberapa orang yang ikut serta menggiring jenazah itu bubar. Almira berpikir.. Mungkin itu papa Steven yang berinisiatif, agar dirinya bisa kesana sebelum semua orang pergi.
"Papa, terima kasih," gumamnya dan langsung berjalan mendekat ke arah makam yang masih dikelilingi oleh beberapa orang, ada juga yang berpaling dan pergi.
"Kak Tian, aku datang.."
***
"Kita harus memberitahunya."
"Jika kau berani, maka kau tak akan pernah menduga apa yang bisa aku lakukan!!"
***
Entah sudah berapa lama Almira berada di tempat pemakaman, disamping gundukkan tanah yang diatasnya terletak batu nisan yang bertuliskan nama orang terkasihnya. Hingga hujan deras datang mengguyur pun, Almira tetap bergeming. Hanya Almira sendirian di sana, karena tak terlihat satu orang pun kecuali Almira seorang yang terlihat.
Dari kejauhan, terlihat sepasang mata memperhatikan nya dengan tatapan yang sulit diartikan juga tangan yang terlihat mengepal.
Cuaca kelabu seolah merasakan betapa pilunya perasaan Almira saat ini, serta hujan deras seolah memeluk dan menyelimuti Almira, membantu Almira dalam menyembunyikan air matanya yang kian deras sederas air hujan itu sendiri. Gemuruh yang sesekali disertai petir menyambar seolah menyembunyikan isakan dan teriakan Almira yang sesekali terdengar meneriakkan satu nama 'Sebastian', hanya satu nama itu yang dipanggil Almira, berharap sosok pemilik nama akan mendengar dan datang untuk menjemputnya.
"Kak Tian," lirihnya, kala merasa ada yang memayunginya. Wajah yang semula tertunduk, seketika mendongak, berharap apa yang diharapkan jadi kenyataan. "Ditto? Kenapa kau kemari?" ucapnya lesu, karena yang datang bukanlah yang diharapkan.
"Ayo kembali!!" ajak Ditto sedikit berteriak akibat hujan deras.
"Tidak, aku masih ingin di sini," tolak Almira cepat.
Mendengar itu, Ditto yang tadinya berdiri kini berjongkok mensejajarkan diri dengan Almira.
"Al, aku tahu kau sedih dan merasa kehilangan.. Tapi jangan hanya karena itu, kau jadi mengabaikan bayi yang ada dalam perutmu! Jangan hanya karena ego mu, kau justru akan membahayakan bayimu juga dirimu sendiri!" ujar Ditto. "Ayo, kita kembali sekarang. Suamimu pasti akan juga merasa sedih dengan melihatmu seperti ini, di sana!" sambungnya. "Kita kembali, ya. Kasihan bayimu, dia pasti juga merasakan apa yang saat ini kau rasakan," bujuknya.
Setelah terdiam beberapa saat untuk mencerna apa yang baru saja Ditto ucapkan, akhirnya Almira menyetujui ajakan Ditto untuk pulang.
"Al pulang dulu ya, Kak.." ucapnya.
Almira segera bangkit dibantu oleh Ditto dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Sesekali Almira masih saja melihat kebelakang seraya menghela nafas panjang.
***