Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Ombak di Tengah Layar
Pagi itu, Zahra menatap ponselnya yang terus bergetar. Sebuah pesan tak dikenal muncul, memecah konsentrasinya.
"Apakah kamu yakin Zidan setia? Banyak hal yang tidak kamu tahu tentang dia."
Pesan itu membuat dada Zahra berdegup. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa maksudnya? Ia mencoba mengabaikannya, tapi kata-kata itu terus terngiang.
Di sisi lain, Zidan sedang sibuk dengan pekerjaannya di pesantren. Ia memastikan semua program berjalan lancar, terutama dengan acara besar yang akan digelar untuk peringatan Maulid Nabi. Ketika ia mengambil jeda untuk memeriksa ponselnya, ia menemukan beberapa pesan dari Zahra.
"Gus, kita perlu bicara."
Zidan langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Biasanya Zahra tidak mengirim pesan sesingkat itu, apalagi dengan nada seperti ini. Ia pun segera menghubungi Zahra.
“Assalamu'alaikum, Zahra. Ada apa?” tanya Zidan dengan nada khawatir.
Di ujung sana, Zahra terdengar ragu. “Wa'alaikumussalam, Gus. Aku cuma... aku dapat pesan dari seseorang. Pesannya aneh.”
Zidan mengernyit. “Pesan seperti apa? Dari siapa?”
Zahra menghela napas panjang. “Aku tidak tahu siapa pengirimnya. Tapi dia bilang ada hal-hal tentang kamu yang aku tidak tahu.”
Hening sejenak. Zidan berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Zahra, aku tidak tahu siapa yang mengirim itu, tapi aku yakin ini hanya salah satu ujian kita. Jangan biarkan hal seperti ini membuatmu ragu.”
“Tapi Gus, bagaimana kalau...”
“Zahra,” Zidan memotong dengan lembut, “aku bersamamu karena Allah. Kalau ada sesuatu yang harus kamu tahu, aku akan jadi orang pertama yang memberitahumu.”
Perkataan Zidan membuat Zahra merasa sedikit lega, tapi bayangan pesan itu tetap membekas di pikirannya.
Malam harinya, Zahra memutuskan untuk berbicara dengan Aisyah. Sahabatnya itu selalu menjadi tempatnya mencurahkan isi hati, terutama ketika pikirannya mulai berkecamuk.
“Aisyah, menurutmu apa yang harus aku lakukan?” tanya Zahra, sambil memegang cangkir teh hangat di tangannya.
Aisyah menatap Zahra dengan penuh perhatian. “Pesan itu memang mencurigakan. Tapi aku percaya, kalau Gus Zidan benar-benar tulus, kamu tidak perlu khawatir.”
“Tapi bagaimana kalau benar ada sesuatu yang dia sembunyikan?” Zahra bergumam, suaranya dipenuhi kecemasan.
Aisyah tersenyum tipis. “Kalau begitu, tanyakan langsung padanya. Jangan biarkan orang lain mempengaruhi kepercayaanmu. Hubungan itu dibangun dengan komunikasi, bukan prasangka.”
Kata-kata Aisyah membuat Zahra berpikir. Mungkin Aisyah benar. Daripada terjebak dalam ketidakpastian, lebih baik ia mencari kebenarannya langsung dari Zidan.
Namun, tanpa sepengetahuan Zahra, orang yang mengirim pesan itu tidak tinggal diam. Ia semakin gencar mencoba merusak hubungan mereka. Beberapa rumor mulai menyebar di kalangan kenalan mereka, mengatakan bahwa Zidan memiliki hubungan masa lalu yang belum selesai dengannya sebelum dengan Ning Maya dan Zahra.
Rumor itu akhirnya sampai ke telinga Zahra melalui salah satu temannya, Icha.
“Zahra, aku nggak tahu ini benar atau nggak, tapi aku dengar Gus Zidan pernah dekat dengan seseorang sebelum kamu dan Ning Maya. Dan katanya, perempuan itu masih belum bisa move on.”
Kabar itu membuat hati Zahra seperti ditusuk. Ia mencoba mengabaikan, tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Zahra akhirnya memutuskan untuk menemui Gus Zidan secara langsung.
Di sebuah taman yang biasa mereka datangi, Zahra menunggu Gus Zidan dengan perasaan campur aduk. Ketika Zidan tiba, ia langsung menyadari ada yang berbeda pada Zahra.
“Ada apa, Zahra? Kamu terlihat tidak seperti biasanya,” tanya Gus Zidan dengan nada lembut.
Zahra menatap Gus Zidan dengan mata yang penuh pertanyaan. “Gus, aku perlu tahu sesuatu. Apakah kamu pernah punya hubungan dengan seseorang sebelum aku dan Ning Maya?”
Pertanyaan itu membuat Gus Zidan terdiam. Ia tidak menyangka Zahra akan menanyakan hal itu. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan.
“tidak, Zahra. Sebelum aku mengenalmu dan Ning Maya, tidak ada seorangpun yang aku anggap istimewa. Tapi aku tahu , memang ada yang berusaha mengejar ku dari dulu, dan itu sudah lama sekali, dan kami benar-benar tidak punya hubungan Zahra.”
“Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?” Zahra bertanya, suaranya penuh emosi.
“Karena aku pikir itu tidak relevan lagi, Zahra. Aku tidak ingin membawa masa laluku ke dalam hubungan kita. Bagiku, kamu adalah masa depanku.”
Zahra ingin percaya, tapi pikirannya masih dipenuhi keraguan. “Apa dia masih mencoba menghubungi kamu?”
Zidan menghela napas. “Tidak. Setidaknya sampai sekarang. Tapi aku tidak bisa mengontrol apa yang ada di pikirannya atau apa yang mungkin dia lakukan.”
Zahra terdiam. Ia ingin percaya pada Zidan, tapi rasa takut dan cemburu terus menghantuinya.
“Zahra,” Zidan melanjutkan, “kalau kamu merasa aku belum cukup jujur, aku minta maaf. Tapi aku mohon, jangan biarkan hal ini menghancurkan kepercayaan kita.”
Kata-kata Zidan membuat hati Zahra sedikit melunak. Ia tahu Zidan tulus, tapi ia juga sadar bahwa perjalanan mereka tidak akan pernah mudah.
Di tengah kebimbangan Zahra, masalah lain muncul. Keluarga Zidan tiba-tiba menerima kabar bahwa perempuan dari masa lalunya, Siska, datang ke pesantren.
Kiai Idris segera memanggil Zidan. “Nak, ada seorang perempuan yang ingin bertemu denganmu. Dia bilang ini penting.”
Ketika Zidan melihat Siska, ia langsung merasa tidak nyaman. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada tegas.
Siska tersenyum tipis, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang tidak baik. “Gus, aku hanya ingin memastikan kamu tidak lupa siapa aku.”
“Siska, aku sudah memilih jalanku. Apa yang kamu lakukan sekarang hanya akan menyulitkan semua orang, termasuk dirimu sendiri. Dulu kamu sempat berhenti menggangguku, lantas kenapa kini kamu berulah, saat aku akan menikah.”
“Tapi aku mencintaimu, Gus. Aku tidak peduli apa yang mereka katakan. Aku tahu kamu pasti pernah memiliki rasa untukku.”
“Tidak, Siska. Aku tak pernah memiliki perasaan apapun kepada kamu, seperti yang aku katakan dulu. Dan kini Aku hanya mencintai Zahra. Aku mohon, berhentilah mengganggu kami.”
Siska tampak terluka, tetapi ia tidak menyerah. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang akan menang pada akhirnya.”
Zidan segera memberitahu Zahra tentang pertemuannya dengan Siska. Ia tidak ingin ada lagi rahasia di antara mereka.
“Zahra, aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah menegaskan semuanya. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak hubungan kita.”
Zahra mendengarkan dengan seksama, hatinya mulai merasa tenang. “Terima kasih sudah jujur, Gus. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku akan mencoba percaya padamu.”
Mereka tahu badai belum benar-benar berlalu, tetapi mereka juga tahu bahwa kepercayaan adalah fondasi yang harus terus mereka bangun.
Di luar sana, Siska menyusun rencana baru. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Baginya, Zidan adalah segalanya, dan ia tidak akan membiarkan Zahra mengambilnya. Ia memang sempat berhenti mengejar Gus Zidan saat lelaki itu di jodohkan dengan Ning Maya, karena ia juga merasa kalah saing dengan anak kyai yang bernama Ning Maya. Tapi saat tahu Gus Zidan tak melanjutkan perjodohan dan memilih Zahra, santri di salah satu pesantren milik ayah Gus Zidan, ia kembali berulah. Menurutnya Zahra tak pantas bersama Gus Zidan.
“Tunggu saja, Zahra. Aku akan membuatmu menyerah,” gumamnya dengan penuh dendam.
Perjalanan cinta Zahra dan Zidan kembali dihadapkan pada ujian besar. Mampukah mereka melewati semua ini?
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??