Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu Buta?
Setelah keluar dari Rumah Sakit tadi, Mumu langsung pulang ke rumah di Selat Panjang.
Ia masih mengkhawatirkan kondisi istrinya yang belum sepenuhnya kembali fit.
Sebelumnya, ia sudah berbicara dengan penjaga kantor istrinya waktu itu.
Masih segar diingatan Mumu tentang percakapan singkat waktu itu.
"Pak, tadi malam ada orang yang datang ke kantor?" Tanya Mumu dengan nada hati-hati.
Penjaga kantor, seorang pria berusia sekitar lima puluhan, menggeleng cepat.
"Tidak ada, Pak. Saya jaga di sini semalaman. Tidak ada siapa-siapa yang masuk, dan pintu maupun jendela semua dalam keadaan baik, tidak ada yang dirusak."
Mumu mengerutkan kening, merasa tidak puas dengan jawaban itu.
"Tapi kembang-kembang ini? Bagai mana bisa ada di depan pintu kalau tidak ada orang yang masuk?"
Penjaga itu hanya mengangkat bahu, tampak bingung juga.
"Saya tidak tahu, Pak. Semalam sepi, saya tidak dengar suara apa-apa. Mungkin ada yang menaruhnya waktu saya lagi keliling."
Mumu mendesah, mengusap wajahnya dengan tangan.
"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Pak."
Sambil bicara, Mumu diam-diam mengetrapkan kekuatan spiritualnya untuk memastikan bahwa penjaga itu tidak sedang berbohong.
Selain bertanya, waktu itu Mumu juga mencoba menyelidiki tapi tak ada bukti yang ia dapatkan.
Mumu menghela nafas panjang.
Saat ini ia sedang duduk di tepi pembaringan Erna, mencoba mengabaikan kecemasan yang semakin terasa berat akhir-akhir ini.
Ketika tangannya hendak meraih buku di meja, ponselnya berdering, mengisi keheningan kamar dengan nada yang mendesing.
Mumu mengernyit melihat nama di layar.
'Buk Imelda?' Gumamnya, lalu menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan.
"Halo, Buk. Ada yang bisa saya bantu?"
"Mumu, kamu di mana sekarang? Bisa kah kita bertemu sebentar?"
"Saya di Selat Panjang, Buk. Maaf kalau sekarang belum bisa, Buk. Ada apa ya, Buk?"
"Ah, tidak ada apa-apa, hanya ingin bertemu saja." Jawab Imelda singkat.
"Kalau begitu, baiklah. Lain kali saja."
Sebelum Mumu sempat merespons lebih lanjut, panggilan itu terputus begitu saja.
Erna, yang sejak tadi diam di tempat tidurnya seakan-akan sedang tidur, tiba-tiba mengerling ke arah suaminya dengan tatapan lelah namun penuh rasa penasaran. Suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik,
"Siapa, Yah?"
Mumu berbalik dan menatap istrinya, senyumnya sedikit pudar saat ia menyadari arah pembicaraan yang mungkin akan terjadi.
"Buk Imelda, Nda. Dia yang kerja bagian administrasi waktu di kampus dulu."
"Oh..." Jawab Erna pendek. Matanya tak lepas dari Mumu, lalu dia melanjutkan,
"Kenapa dia nelpon, Yah. Ayah kan sudah tidak ada urusan di kampus lagi seharusnya kan tidak ada komunikasi?"
Mumu mengangkat bahu ringan.
"Ayah juga tidak tahu. Katanya mau bertemu, tapi dia tak cakap apa perlunya."
Hening sesaat, sebelum Erna kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tajam,
"Dia cantik, ya?"
Pertanyaan itu menghantam Mumu seperti batu besar.
Ia mengerutkan alisnya, sedikit terkejut oleh arah pertanyaan istrinya.
Jika salah jawab bakalan meledak bom waktu.
"Ya... lumayan..." Jawabnya hati-hati, tak ingin memperpanjang masalah yang tak perlu.
Erna menundukkan kepala sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu berkata,
"Apakah dia sudah menikah, Yah?"
"Kalau dulu belum, Nda. Tapi tak tahu pula sekarang." Jawab Mumu tanpa berpikir panjang.
Setelah itu, ia menyadari kesalahannya, jawabannya bisa menimbulkan kesan yang salah.
"Bunda rasa dia belum menikah, Yah..."
Erna menghela napas pelan, tatapannya beralih ke langit-langit kamar.
"Jadi... Ayah suka sama dia?"
Mumu menghela napas, berusaha menenangkan perasaan yang mulai kacau.
"Mengapa Bunda bilang begitu?"
"Bukan apa-apa. Hanya saja... Ayah kelihatan lebih bahagia saat bicara dengannya tadi." Jawab Erna dengan nada lembut namun terdengar sedikit getir.
"Bunda jangan berpikir yang tidak-tidak. Nanti bisa mempengaruhi kesehatan Bunda."
"Bunda tidak berpikir yang tidak-tidak. Apa yang Bunda katakan berdasarkan pengamatan Bunda barusan."
"Tak boleh cemburu buta, Nda."
Erna terdiam, matanya sedikit berkaca-kaca. Meski begitu, dia mencoba untuk menahan air matanya.
"Bunda tidak cemburu, Yah."
Mumu meraih tangan istrinya dengan lembut, mengusap punggung tangannya pelan.
"Bunda, jangan berpikir yang aneh-aneh. Tidak ada apa-apa antara Ayah dan Buk Imelda. Dia cuma rekan kerja lama, tidak lebih."
Erna menatap suaminya sejenak, mencoba mencari kejujuran dalam tatapannya.
"Ayah tidak pernah cerita banyak soal teman-teman Ayah dulu."
Mumu mengangguk.
"Ya, mungkin karena tidak terlalu penting atau bisa jadi karena tidak ada kebutuhan untuk itu. Masa lalu itu sudah lama lewat, sekarang Ayah cuma fokus sama Bunda dan keluarga kita."
"Tapi kenapa dia tiba-tiba nelpon?" Erna tampak ragu-ragu, antara percaya dan tidak. "Apa kalian sering komunikasi?"
Mumu menghela nafas, ternyata kembali lagi ke topik utama.
Mumu menggeleng cepat,
"Tidak, Nda."
Erna akhirnya mengalihkan pandangannya, matanya terpejam sejenak seolah menenangkan diri.
"Kadang, Bunda merasa Ayah tidak sepenuhnya terbuka soal hal-hal begini. Bunda takut, takut kalau ada yang Bunda tidak tahu."
Mumu tertegun mendengar itu. Ia menunduk sejenak, mencoba mencerna perasaan istrinya.
"Maaf, Nda. Mungkin Ayah tidak terbuka soal hal-hal kecil. Tapi Ayah janji, tidak ada apa-apa di luar keluarga kita. Ayah tidak akan pernah menyakiti Bunda."
Erna menarik napas panjang, seolah berusaha percaya.
"Bunda percaya... tapi kadang-kadang rasa takut itu muncul tanpa alasan."
Mumu mengangguk.
"Ayah mengerti. Mulai sekarang Ayah akan lebih hati-hati, apalagi soal yang begini. Ayah tidak mau Bunda merasa khawatir atau cemas."
Hening sejenak melingkupi mereka. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di antara percakapan yang mulai mereda.
Erna akhirnya tersenyum tipis, meski masih tersisa kekhawatiran di matanya.
"Mungkin Bunda terlalu mikir berlebihan. Maaf kalau Bunda jadi ribet soal ini."
"Tidak apa-apa, Nda."
"Nda..."
"Hmm, ada apa, Yah?"
Mumu menarik napas dalam, mencoba merangkai kata-kata di kepalanya sebelum akhirnya berkata,
"Sebenarnya da sesuatu yang ingin Ayah sampaikan."
"Apa itu, Yah?" Tanya Erna penuh rasa penasaran.
Mumu menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap mata Erna dengan tenang.
"Ayah... sudah berhenti kerja."
Erna menatap suaminya dengan kaget. Namun, ekspresi kagetnya tak bertahan lama.
Wajahnya tiba-tiba berbinar, matanya tampak bersinar cerah.
"Benarkah?" Tanya Erna dengan penuh semangat.
Melihat reaksi itu, Mumu mengerutkan keningnya sedikit.
"Iya, benar, tapi kenapa Bunda sepertinya gembira?" Tanya Mumu sedikit bingung.
"Bunda tidak merasa sedih atau kecewa?"
Erna tersenyum, senyum yang hangat dan menenangkan.
"Sejujurnya... Bunda lebih suka kalau Ayah tidak kerja." Jawabnya dengan jujur.
"Bunda ingin Ayah bisa lebih banyak menemani Bunda di rumah atau di kantor. Kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama."
Mumu terdiam, tidak menyangka jawaban itu. Ia pikir Erna mungkin akan merasa kecewa atau khawatir tentang situasi mereka setelah ia berhenti bekerja.
"Bunda tidak khawatir soal keuangan atau hal lain?" Tanya Mumu, masih dengan nada hati-hati.
"Ayah selalu bisa diandalkan, dan Bunda tahu, apapun yang Ayah lakukan, Ayah pasti sudah memikirkannya matang-matang. Lagipula, kita tidak butuh banyak hal. Yang paling penting buat Bunda adalah kebersamaan kita."
Mumu merasa hangat di dalam hatinya mendengar itu.
"Ayah pikir Bunda akan merasa terbebani kalau Ayah berhenti kerja."
"Tidak, Yah. Sama sekali tidak."
Erna tersenyum lembut namun tiba-tiba dia meringis.
"Ada apa, Nda?"
"Dada..dada Bunda tiba-tiba sangat sakit, Yah..."
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...