"Mulai sekarang kamu harus putus sekolah."
"Apa, Yah?"Rachel langsung berdiri dari tempat duduk nya setelah mendapat keputusan sepihak dari ayahnya.
"Keluarga kita tiba-tiba terjerat hutang Dan ayah sama sekali nggak bisa membayarnya. Jadi ayah dan ibu kamu sudah sepakat kalau kita berdua akan menjodohkan kamu dengan anak Presdir keluarga Reynard agar kami mendapatkan uang. Ayah dengar kalau keluarga Reynard akan bayar wanita yang mau menikahi anaknya karena anaknya cacat"
Rachel menggertakkan giginya marah.
"Ayah gak bisa main sepihak gitu dong! Masalahnya Rachel tinggal 2 bulan lagi bakalan lulus sekolah! 2 bulan lagi lho, yah! 2 bulan! Terus tega-teganya ayah mau jadiin Rachel istri orang gitu? Mana yang cacat lagi!" Protes Rachel.
"Dengerin ayah dulu. Ini semua demi keluarga kita. Kamu mau kalau rumah kita tiba-tiba disita?" Sahut Ridwan, Ayah Rachel.
"Tapi kenapa harus Rachel, pa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
Andrew duduk di kursi di seberang tempat tidur, menatap Rachel dengan penuh perhatian.
"Rachel, kamu harus beristirahat. Reagan akan kembali secepatnya. Saya akan tetap disini untuk memastikan kamu aman."
Rachel mengangguk pelan, meletakkan cangkir teh di meja samping tempat tidur.
"Terimakasih, Andrew. Aku akan coba beristirahat."
Andrew tersenyum menenangkan. "Bagus. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Rachel berbaring kembali ditempat tidur, mencoba memejamkan mata.
namun pikirannya terus melayang-layang, memikirkan Reagan yang sedang menghadapi bahaya di luar sana.
Dia tahu betapa bahayanya dunia yang Reagan hadapi, dan dia tidak bisa menghilangkan rasa takutnya.
Sementara itu, Reagan keluar dari rumah temennya dengan cepat.
Dia menuju tempat parkir di mana mobilnya menunggu.
Di pikirannya hanya ada satu tujuan: menyelesaikan urusan dengan orang-orang yang telah mengancam keselamatan Rachel.
Setelah sampai di mobil Reagan mengambil ponselnya dan menghubungi anak buahnya.
"Kumpulan semua orang yang terlibat. Kita akan memastikan dua manusia dan teman-temannya itu tidak akan pernah mengganggu lagi."
Reagan mengakhiri panggilan dan menghidupkan mesin mobilnya.
Dengan kecepatan tinggi, dia melaju menuju lokasi yang telah disepakati, pikirannya penuh dengan rencana untuk mengakhiri ancaman ini sekali dan untuk selamanya.
Sesampainya ditempat tujuan, Reagan disambut oleh sekelompok pria berpakaian serba hitam, anak buahnya yang paling loyal.
Mereka berdiri siap dengan ekspresi tegas. "Bagaimana situasinya?" tanya Reagan tanpa basa-basi.
"Target terlihat di gudang tua di pinggiran kota, tuan. Kami sudah mengepung tempat itu," jawab salah satu bodyguardnya.
Reagan mengangguk. "Baik. Kita serang sekarang pastikan tidak ada yang lolos," katanya dingin.
Dengan perintah itu, tim Reagan bergerak cepat.
Mereka menyusup ke dalam gudang tua, senjata siap ditangan.
Di dalam, dua pria yang telah menembak Rachel terlihat sedang merencanakan langkah berikutnya, tidak menyadari bahaya yang mengintai.
Reagan memberi isyarat kepada anak buahnya.
Dalam hitungan 3, mereka menyerbu masuk.
Tembakan meledak, bergema di dalam gudang yang sunyi.
Dua pria itu terkejut, tapi tak punya waktu untuk bereaksi.
Dalam hitungan detik, mereka sudah tergeletak di lantai, tak berdaya.
Reagan mendekati salah satu pria yang masih bernapas, menatapnya dengan dingin.
"Kamu pikir bisa menyakiti Rachel dan lolos begitu saja?"
Pria itu terbatuk, darah mengalir dari mulutnya.
"Ini belum berakhir, Reagan. Ada yang lebih besar dari kami yang akan datang untuk kamu."
Reagan mengerutkan kening, tapi tetap tenang. "Biarkan mereka datang. Saya akan siap."
Dengan itu, Reagan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa pria itu pergi.
Namun belum hitungan satu, dua, dan tiga tiba-tiba terdengar tembakan dari beberapa daerah.
Reagan beruntunt cepat menghindar ia kemudian menembakan kembali orang yang hampir menembaknya.
"Sial, hampir lengah," lirih Reagan.
Ia kemudian menutup pelatuknya lalu dia bertanya pada bodyguardnya.
"Apa ada rekan yang lainnya?"
"Seperti tidak ada, tuan."
Reagan mengangguk. Kemudian dia mendekati salah satu diantara mereka yang terkena tembakannya.
"Jawab! Siapa sebenarnya kalian?" tanya Reagan dengan nada dingin.
Meskipun mereka terkena peluru, mereka hanya terkekeh, seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali.
Salah satu dari mereka, meskipun dengan darah mengalir dari mulutnya, berkata dengan suara serak.
"Kamu tidak akan pernah tahu, Reagan. Kami hanya bidak kecil dalam permainan yang lebih besar."
Reagan mengerutkan kening, merasa frustasi dengan jawaban itu.
"Siapa yang mengirim kalian? Apa tujuan kalian sebenarnya?"
Pria itu tertawa lagi, batuk darah. "Kamu akan tahu pada waktunya. Tapi saat itu, mungkin sudah terlambat."
Reagan mengepalkan tangan, menahan amarahnya.
"Bawa mereka keluar. Kita butuh informasi lebih banyak dari mereka."
Anak buahnya mengangguk dan dengan cepat menyeret semua pria itu keluar dari gudang.
Reagan mengikuti dari belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Dia tahu ini bukan sekedar serangan acak; ada sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya yang sedang terjadi.
Diluar, Reagan memberikan instruksi kepada anak buahnya.
"Bawa mereka ke lokasi aman dan interogasi mereka lebih lanjut. Saya ingin tahu siapa yang berada dibalik semua ini."
Setalah memberikan perintah, Reagan masuk ke mobilnya dan melaju kembali ke rumah temannya.
Dia tahu bahwa Rachel mungkin masih cemas dan dia perlu memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Sementara itu, Rachel berbaring ditempat tidur, pikirannya terus memikirkan Reagan dan apa yang sedang dia hadapi diluar sana.
Ketika pintu kamar terbuka dan Reagan masuk, dia merasakan kelegaan yang luar biasa.
"Mas, kamu kembali," kata Rachel dengan suara lembut.
Reagan mendekati tempat tidurnya dan menggenggam tangannya erat.