Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERJALANAN PULANG
Andi terkejut ketika Raka tiba-tiba menepuk bahunya. "Woi, melamun aja lo."
Dia hanya mengalihkan pandangan sekilas, lalu kembali menatap layar komputernya. Layar itu penuh dengan file kerja, tetapi tangannya hanya menggeser mouse naik turun tanpa fokus.
Raka duduk di sebelahnya, menyilangkan tangan sambil tersenyum penuh rasa ingin tahu. "Gue ngeliat lo melamun begini sejak tadi. Ada apa sih? Biasanya lo nggak pernah kayak gini."
Andi menghela napas, mencoba mengabaikannya. "Nggak ada apa-apa, Rak. Cuma... capek kerja aja."
Raka mendengus, tidak percaya. "Lo mau ngebohongin siapa, Andi? Gue tau lo. Kalau lo melamun kayak gini, pasti ada yang berat di pikiran lo. Ayolah, cerita."
Andi terdiam, menutup laptopnya, dan bersandar di kursi dengan tatapan kosong. Dia menunduk, seakan menimbang sesuatu, sebelum akhirnya membuka mulutnya. "Gue... gue nggak tau, Rak. Gue capek."
Raka mengangguk, menunggu Andi melanjutkan. "Capek kenapa?"
Andi terdiam lagi, mencoba mencari kata yang tepat. "Gue... lagi mikirin seseorang."
Raka langsung tersenyum lebar, antusias. "Hah? Serius lo? Jangan bilang lo lagi suka sama cewek. Siapa? Gue kenal?"
Andi menggeleng pelan, seolah menyesali perasaannya sendiri. "Lo kenal... tapi nggak seharusnya gue suka sama dia, Rak."
Wajah Raka berubah penasaran dan khawatir. "Kenapa nggak seharusnya? Siapa sih orangnya? Jangan bilang? Lo serius?"
Andi menatap Raka dalam-dalam, seolah mencari pengertian di sana. "Annisa."
Raka tercengang, matanya melebar. "Benaran Annisa? Maksud lo… Annisa, istrinya Damian? Lo benar-benar serius? Bukan cuma rasa penasaran aja?"
Andi hanya mengangguk pelan, raut wajahnya terlihat kusut. "Gue tau itu salah. Gue nggak seharusnya punya perasaan ini, tapi... gue nggak bisa bohong sama diri gue sendiri, Rak. Pertama kali gue ketemu dia, gue ngerasa ada yang spesial. Dia bukan cuma cantik, tapi… dia baik, cerdas, tulus. Gue nggak pernah ngerasain ini sebelumnya."
Raka menghela napas panjang, masih memproses pengakuan sahabatnya itu. Dia sudah memperhatikan Andi sejak awal. Bagaimana tatapan sahabatnya itu pada Annisa. Tapi Raka tidak menebak jika perasaan Andi seserius itu. "Gue nggak nyangka lo bisa ngerasa kayak gini. Tapi... lo sadar kan, ini Annisa, istri Damian. Lo tau konsekuensinya?"
Andi mengangguk, menatap meja di depannya. "Gue sadar, Rak. Tapi perasaan ini nggak bisa gue matiin begitu aja. Gue cuma... bingung."
Raka menepuk bahunya dengan lembut. "Dengar, Andi. Gue ngerti lo, tapi lo juga harus ngerti batasannya. Lo nggak mau kan kalau perasaan lo ini malah bikin ribet dan merusak semuanya? Terutama buat Annisa sendiri."
Andi terdiam lama, menyadari beratnya konsekuensi perasaannya. "Iya, gue tau. Makanya gue nggak mau melangkah lebih jauh. Gue cuma butuh waktu buat... ngelupain ini."
Raka mengangguk, memberikan dukungan. "Yaudah, kalau itu keputusan lo, gue bakal ada di sini buat lo. Kalau lo butuh tempat buat cerita atau sekadar ngelampiasin pikiran lo, gue siap dengerin."
Andi tersenyum tipis, merasa sedikit lega. "Makasih, Ra. Gue nggak tau apa jadinya kalau gue nggak punya lo."
Raka mengangguk, mencoba memahami perasaan Andi, tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya mengerutkan dahi. "Eh, ngomong-ngomong soal Annisa, lo tau nggak kalau Damian udah beli perusahaan tempat dia kerja?"
Andi menatap Raka dengan terkejut. "Apa? Damian beli perusahaan Annisa? Sejak kapan?"
Damian memang tidak memberitahukan rencananya itu pada sahabat-sahabatnya.
"Baru aja," jawab Raka, mencondongkan tubuhnya ke arah Andi dengan nada serius. "Gue denger-denger, Damian belum ngasih tahu orang-orang di sana. Dia mau kasih kejutan. Kayaknya Annisa juga belum tahu kalau suaminya sekarang bos barunya." Tebak Raka.
Andi menghela napas panjang, ekspresinya mendung. "Kenapa harus sampai segitunya, ya? Kalau gue jadi Annisa, gue bakal merasa... terperangkap. Dia udah ngelakuin segalanya buat Annisa, tapi bukan dengan cara yang benar."
Raka mengangguk, seolah memahami kegundahan sahabatnya. "Gue nggak bisa bayangin posisi Annisa sekarang. Jadi istri dari pria yang masih terjebak masa lalunya, apalagi dengan bayang-bayang kakaknya sendiri yang sudah meninggal. Itu pasti berat banget."
Andi menggigit bibirnya, tatapannya kembali kosong. "Itu dia yang bikin gue kasihan sama Annisa. Dia begitu sabar dan tulus, tapi nggak dapet balasan yang layak. Gue bahkan nggak yakin Damian bener-bener peduli sama dia."
Raka menepuk bahu Andi, berusaha menenangkannya. "Gue ngerti, Di. Tapi ingat, lo juga harus bijak sama perasaan lo. Kasihan atau nggak, Annisa tetep istri Damian."
Andi mengangguk pelan, meski terlihat jelas beban berat di hatinya. "Iya, Rak. Gue bakal coba ngejaga jarak... demi kebaikan semuanya."
Raka tersenyum samar, berharap sahabatnya bisa benar-benar memegang kata-katanya. "Itu yang terbaik, Di. Lo laki-laki baik, dan gue tau lo bisa ngelewatin ini."
•••
Di dalam bus yang melaju pelan di tengah jalanan sore, Clara duduk di antara Annisa dan Damian. Matanya tampak sedikit berat, tetapi ia masih semangat bercerita.
"Tan, Dad, hari ini seru banget! Kita lihat hewan-hewan di kebun binatang. Ada gajah yang gede banget, terus aku juga liat singa beneran!" Clara bercerita dengan mata berbinar meski kantuk mulai terlihat di wajahnya.
Annisa tersenyum lembut, menyibakkan rambut Clara yang terurai ke depan. "Wah, seru ya, Sayang. Gajahnya besar sekali? Kapan-kapan kita pergi lagi ya?"
Clara mengangguk dengan antusias. "Bener? Asik! Iya, besar banget! Terus, aku juga liat jerapah yang lehernya panjang banget. Kata Ibu Guru, lehernya lebih tinggi dari pohon."
Damian yang sedari tadi mendengarkan dengan senyum tipis ikut menanggapi, "Berani nggak, Clara, kalau diajak lebih dekat ke singa?"
Clara memutar bola matanya, mengingat-ingat, lalu tertawa kecil. "Enggak, Dad! Singanya kan galak. Aku lihat dari jauh aja, takut nanti dimakan."
Annisa tertawa mendengar jawaban Clara, sambil mengusap pipi gadis kecil itu. "Tapi kan, Daddy ada di sini buat jaga Clara. Dad pasti nggak akan biarin Clara kenapa-kenapa, kan?"
Damian mengangguk, menatap Clara dengan hangat. "Tentu saja. Daddy selalu jaga Clara."
Clara mengangguk, lalu menguap kecil, semakin terlihat mengantuk. "Aku capek, Tan, Dad... tapi hari ini senang banget!"
Annisa menepuk lembut tangan Clara yang mulai terkulai lemas di pangkuannya. "Kalau capek, Clara tidur aja, ya. Nanti sampai rumah, Tante bangunin."
Damian tersenyum, ikut menepuk pundak Clara pelan. "Iya, istirahat aja. Daddy sama Tante Annisa ada di sini."
Clara akhirnya menutup matanya, bersandar di bahu Annisa, senyumnya masih tersisa saat dia terlelap. Damian dan Annisa saling bertukar pandang, lalu tersenyum samar, menikmati momen tenang bersama di perjalanan pulang.
mudah banget ya jenny menyebarkan fitnahan.
Cobaan, cacian, bahkan sakit hati membuat annisa semakin terpuruk. Dia merasa tak dianggap, yang padahal sudah memberikan yang terbaik buat anak Damian, tapi usahanya itu tidak dihargai sama sekali. Damian menganggap annisa belum pantas mengantikan sosok arum. Annisa wanita kuat dan tabah. sudah dicaci maki tetap saja berharap damian bisa menerima status sebagai istri sah
Annisa terlalu cantik, sehingga teman damian saja jatuh hati padanya. Namanya perasaan tidak bisa dipungkiri, namun masih bisa menjaga pertemanan dan bisnis agar tidak putus.
dalam diam dan tangisan, akhirnya damian sedikit ada perubahan sikap. Buah kesabaran mulai membuahkan hasil, walau harus lewat kumpul keluarga. Semoga semua dipermudah dan annisa bisa menjadi bagian hidup damian selamanya. intinya bersabar dalam tiap cobaan, semua akan ada hasilnya.